Jumat, 10 Februari 2012

Gang Paradise

Angin masih saja berbisik, mengabarkan keramaian di luar sana. Sementara aku sendiri di sudut gelapku, menikmati kesenyapan yang terlalu anyir. Segalanya mendebu, wajah-wajah mereka, senyuman mereka, aku saksikan dalam kesibukannya masing-masing. Semuanya bersijingkat di sekitarku. Aku benar-benar tak tahu, karena hati ini sudah semakin kelam. Setelah beritaku terbit di media kampus, banyak pihak yang merespon. Begitu juga dengan birokrasi kampus yang tidak terima dengan pemberitaanku.
“Tulisan macam apa ini? Kau membuka aib kampusmu sendiri,” begitu ocehan yang langsung dilontarkan rektor padaku di ruang ber-AC dengan cahaya yang cukup terang ini.
 Hampir semua lembaga di kampus merespon tulisanku. Aku menulis tentang mahalnya biaya pendidikan di kampus, sehingga berakibat mahasiswa harus mencari uang tambahan untuk menyokong biaya hidup dan perkuliahannya. Mereka menyimak setiap kalimat yang aku tulis, termasuk pekerjaan sambilan mahasiswa di Gang Paradise setiap malam. Mereka mengeluh dengan nasib hidup diperantauan. Juga tentang segenap kebijakan birokrasi kampus yang menjadikan mereka terpaksa bekerja hingga pagi hari. Kondisi seperti itu yang menginspirasiku menulis berita ini. Menarik sekali, mendengar kisah-kisah tentang kejamnya kehidupan bagi sebagian mahasiswa.
Aku dicecar habis-habisan di ruang rektor. Akhirnya meskipun cahaya terang menerobos melalui jendela, aku merasa seolah-olah telah memasuki sebuah dunia berselimut bayangan. Ruang-ruang yang aku pandangi seolah begitu gelap sehingga aku tak mampu melihat bentuk-bentuk perabot yang dinikmati pak rektor di ruangannya. Ketika melihat udara di luar, mataku seolah-olah buta. Seakan-akan sehelai tirai terbentang didepan mata. Diriku seakan memasuki keheningan salju. Aku ingin melarikan diri dari cerita-cerita tentang mereka. Dalam dunia jurnalistik ada kode etik yang memperbolehkan seorang narasumber atau yang bersangkutan menyampaikan hak jawab. Dengan senang hati aku menerima hak jawab tersebut. Dengan berbekal fakta dan data yang aku bawa pertarungan sengit itu berlangsung di ruang yang menurutku satu-satunya paling mewah di kampus ini, ruang rektor. Dan pada akhirnya aku memenangkan pertarungan ini.
Enam tahun aku menyandang bandrol mahasiswa. Kini ketika aku berusaha menyelesaikan kuliah, aku kembali dikejutkan dengan masalah klasik dengan birokrasi kampus. Sudah menjadi langganan bagiku mendapat peringatan Drop Out (DO) dari kampus karena beberapa tulisanku yang sangat kontroversial. Tapi kali ini agak berbeda, aku benar-benar terancam. Ancaman DO kali ini sungguh aku rasakan begitu menakutkan. Entah mengapa. Mungkin karena Universitas punya banyak alasan untuk mengeluarkanku dari kampus.
Terbesit wajah-wajah keluargaku di kampung halaman. Betapa aku kasihan kepada mereka apabila mendengar nasibku sekarang ini. Ah, aku tidak tega rasanya. Namun pada akhirnya aku benar-benar mendapat ilham untuk segera melangsungkan pendadaran. Dekanku mempermudah kelulusanku. Mungkin agar aku cepat-cepat meninggalkan kampus ini sehingga tidak menambah ulah lagi di kampus. Memang sia-sia belaka menunggu gelar sarjana selama enam tahun masa penantian apabila aku menyerah. Tapi ada kepuasan tersendiri kawan. Aku dapat menapaki sejarah, betapa kebenaran dapat aku tegakkan di kampus yang pada awalnya aku cintai ini.
***
Angin berhembus sepanjang pagi, ketika aku berkeliaran di fakultas untuk memainkan peranku sebagai wartawan kampus. Dengan sigap singgah digedung rektorat yang saat itu dijejali mahasiswa yang setia mengantri untuk membayar semesteran. Aku mencatat berbagai macam hal dan kejadian. Kemudian langkahku menyusuri tangga yang keramiknya mengkilap menuju lantai dua tempat singgasana para birokrat kampus. Tetapi, kenangan tidak lagi melayang menuju jalanan terang seperti khayalanku di masa kecil. Bayanganku tidak lagi terbang layaknya burung gereja yang berkicau di pagi hari. Ingatanku terurai panjang, namun tidak terlontar lagi bayangan dimana aku dapat menikmati kehidupan kelas menengah yang teramat aku rindukan, bahkan dalam mimpi-mimpiku. Saat ini angin hanya mengabarkan ihwal keputusan dan penderitaan.

Seharusnya menyenangkan, menikmati pagi di kampus tercinta. Kampus yang kata orang semakin hari semakin maju pesat. Di sana berdiri gedung-gedung percakar langit untuk perkuliahan yang dikelilingi pohon mahoni yang rindang, lahan parkir yang luas dihiasi lampu temaram seperti di taman kota. Tidak lupa tersedia beberapa fasilitas perkuliahan di setiap sudutnya, dan wajah-wajah muda yang kata orang sebagai generasi revolusi, pembawa perubahan. Entah apa yang akan dirubah oleh mereka. Aku sendiri tidak mengerti arah perjuangan mereka setelah masa orde baru itu.
Pada pagi buta, sebelum kampus terbangun dan sebelum angin berhasil menaklukannya, aku sempat berjalan melewati wilayah kumuh dekat perempatan menuju kampus. Wilayah termiskin di kota ini. Aku menyebutnya bagian termiskin di kota ini, karena para pekerjanya rela menjual apa saja yang mereka punya, termasuk menjual diri mereka sendiri. Mobilku bergegas menyusuri jalan di bawah pohon mahoni yang terhembus angin pagi. Hingga akhirnya aku tiba di sebuah sudut kota yang dikenal dengan Gang Paradise. Hotel-hotel tua masih ramai oleh para hidung belang yang menyalaki sekawanan wanita malam di pinggiran jalan. Terlihat pria gagah berjalan kaki dari arah jembatan batu yang berumur lima puluh tahun. Sementara angin bertiup menimpa air sungai yang jernih di bawahnya. Semburat kabut tipis mengepul di atap hotel cendrawasih yang tampak menambah mesra para pecinta Paradise. Dibalik kemesraan selimut angin pagi, ia mendatangkan kesedihan yang membuat mataku merebak.
Di seberang jembatan terlihat wanita gemulai dengan tubuh tinggi semampai, mengenakan rok mini dan kaos warna putih tertutup jaket jeansnya. Mengenakan sepatu high hill sehingga kaki hingga pahanya terlihat lebih panjang. Rambutnya terurai panjang terhembus angin. Sela-sela jari telunjuk dan jari tengahnya yang gemulai mengapit sebatang rokok dengan kepulan asap sembari dihembuskan di depan pria berjaket kulit yang menemaninya. Memandang sejoli itu yang sedang bercumbu dengan riang gembira, saling berebut kemesraan, lalu berpeluk mesra, bahkan berciuman. Mereka larut dalam nafsu di pagi hari. Aku mengenali wanita itu.  
Senyumanku merekah sedikit. Namun bukan karena ikut berbahagia menyaksikan kemesraan insan yang sedang dimabuk cinta itu. Adalah kemiskinan di kota ini yang membuat hatiku terasa miris di tempat ini. Paradise masih tertutup embun pagi. Pemandangan diseberang jembatan mengisahkan rasa sedih yang aneh dan kuat bagiku. Aku merasa seolah-olah berada di suatu tempat yang telah dilupakan oleh dunia, seolah salju turun di ujung dunia.
Keberuntungan berpihak padaku sepanjang pagi itu. Ketika beberapa pria hidung belang mengajakku berkencan dengan bayaran yang cukup mahal. Setidaknya cukup untuk membayar kuliah semester ini. Setelah seorang pria berambut ikal dengan syal warna biru mengikat lehernya, mendekat kemudian menjabat tanganku dan melontarkan informasi seputar jati dirinya. Tubuhnya yang tegap mengenakan kaos dagadu berwarna abu-abu, membuatnya terlihat seperti pria baik-baik. Usianya baru 23 tahun. Masih terlalu muda untuk ukuran pria ideal yang mengunjungi Gang Paradise. Aku dibawanya berjalan di pinggiran paradise. Ia memperlakukan aku tidak selayaknya wanita-wanita di tempat itu, setelah kami saling mengetahui tujuan kami masing-masing. Namanya Roni, seorang jurnalis dari media umum di kota ini. Aku juga seorang jurnalis, namun jurnalis di pers kampus.
“Kenapa kau datang kemari?” tanyaku memperpanjang pembicaraan kami.
 “Aku bosan di kantor, setelah mendengar ocehan jurnalis uzur meributkan tulisanku yang katanya kekurangan data,”  jawabnya menjelaskan padaku.
Kami berjalan menembus badai. Melintasi kedai-kedai teh tempat berkencan para wanita bayaran dan pria hidung belang. Melewati toko cinderamata dengan etalase yang memamerkan kemegahan toko itu. Kami membutuhkan waktu sepuluh menit untuk memotong jalan secara diagonal. Di Jalan Gatot Subroto Roni berhenti sejenak untuk menunjukkan padaku tempat para mahasiswa menghabiskan malam mereka. Karaoke, berkencan dengan om-om hidung belang sehingga dapat menambah uang jajan mereka. Bahkan untuk membayar kuliah mereka. Polisi pernah merazia tempat itu, namun hanya sesekali saja dalam setahun karena balkon itu dibangun secara ilegal untuk menambah pajak daerah.
“Polisi seharusnya tidak perlu merazia. Kasihan mahasiswa yang rela bekerja hingga pagi ditempat itu, entah apapun pekerjaannya,” begitu ucapku menyesali keadaan.
“Hmmm…” Roni hanya tersenyum mengindahkan ucapanku.
Kesederhanaan mahasiswa di kampus pada siang hari sungguh mengecewakan. Berpakaian rapi, tertutup, dan sopan. Namun pada malam hari semua atribut mereka lepaskan.
“Ganti kostum,” ucapnya singkat.
Kota ini adalah tempat yang damai. Prostitusipun dibebaskan karena dapat menambah pemasukan daerah. Sebagian orang merekomendasikan perlindungan untuk para pekerja malam di tempat ini, hanya untuk berjaga-jaga. Pembicaraan kami terus berlanjut.
“Jika Paradise memang tempat yang damai, maka mereka tidak membutuhkan perlindungan,” kami sepakat dengan pembicaraan ini. Perjalanan kami menuju arah utara tempat kami memarkir mobil masing-masing. Bersama angin yang tak henti-hentinya berhembus, akhirnya pertemuan kami cukup sampai disini.
“Ternyata sudah pagi,”
“Untuk melanjutkan diskusi, bolehkah aku simpan nomor ponselmu?” Begitu kata Roni berbasa-basi meminta nomor ponselku.
“Ok,” jawabku sambil menyodorkan kartu nama yang aku keluarkan dari dompet kecil berwarna jingga, warna favoritku.
“Ooo… Namamu Lena?”
Aku hanya tersenyum kecut. Sebenarnya aku enggan memberikan kartu nama kepada pria yang baru aku kenal beberapa jam yang lalu. Tapi, tak apalah. Profesi kami hampir sama, dalam dunia jurnalistik.
***
Rasaku padamu sesederhana rinduku pada rintik hujan. Sesahaja cintaku pada kedamaian,  sepolos rasaku pada puisi, tapi entahlah terlalu samar di sekujur sepi. Bila suatu saat nanti bayangku sepenuh rindu, akan kutafsirkan sajak-sajak penyair yang getir. Percayalah, di hening angin ada kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat, senyap akan terbang. Sementara senja akan telanjang membasahi waktu. Angin pun mendera sekujur tubuhku, mengabadikan geraian rambut panjangku. Di setiap pucuknya, ia menyentuh keterasingan. Serupa kekelaman, musim semi mengabur dalam samar. Entahlah, aku harus menapaki detik. Aku seperti menziarahi kuburku sendiri, menahan sakit yang teramat. Kawan, kau tahu? Jiwaku lebur kerontang.
Sebatang beringin tua yang rindang meneduhiku. Seekor burung gereja yang hidup di daerah tropis terlihat menawan, berwarna hitam mengunjungi pucuk beringin. Kehadirannya dengan kicauan yang merdu kian mempercantik pemandangan pagi ini. Melayang-layang, hinggap tanpa ada beban duka sedikitpun. Tidak lama kemudian seperti tumpah dari langit, ikut bergabung pasukan burung gereja yang lain memecah kesunyian. Selain menyelimuti pagi, angin senantiasa bercerita tentang kemurnian padaku. Namun setelah hari pertama menyandang gelar sarjana, angin tidak lagi menjanjikan kepolosan. Udara yang bergerak di tempat ini begitu menjemukan, mengusik, dan mengancam. Inilah dermagaku, kawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar