Selasa, 16 Juli 2013

Suatu Sore Bersama Penghuni Panti


NUANSA Ramadhan sore itu terasa begitu nyaring, Selasa (16/7). Aku jumpai orang-orang yang mencari sore di sepanjang perjalananku menunju Panti Asuhan Harapan Mulia. Mereka menamainya dengan istilah ngabuburit sambil nunggu maghrib tiba.

Sesampai di panti pengajian sudah dimulai beberapa menit yang lalu. Kulihat wajah-wajah lugu penghuni panti dengan serius mendengarkan ceramah Ustadz Mahfulyono. Ustadz yang sekaligus mengurus panti di bawah naungan Yayasan Al Kahfi.

Ah, anak-anak ini begitu belia untuk hidup mandiri di panti. Harusnya mereka masih bisa bermanja dengan kedua orangtuanya atau sekedar berkumpul bersama keluarga. Meski tidak semuanya yatim piatu namun tetap saja ada sepenggal rasa haru melihat kemandirian mereka. Karena  panti yang berlokasi di Mersi, Purwokerto ini tidak hanya menampung anak yatim piatu, namun sebagian berasal dari kalangan yang kurang mampu. Orangtuanya menitipkan ke panti ini untuk dilatih mandiri dan mendapat pendidikan baik itu pengetahuan soal agama maupun umum.

Kehidupan di sini bergantung dari donatur dan usaha bersama yang dilakukan anak-anak panti. Selain belajar agama, mereka ada yang beternak, berkebun, atau bahkan berjualan makanan sepulang sekolah. Kemudian sebagian hasilnya ditabung yang dikelola oleh pengasuh di yayasan ini. Dalam kurun waktu tertentu anak-anak tak boleh mengambil tabungannya, dengan tujuan untuk melatih kedisplinan dan tentunya sebagai bekal mereka setelah keluar dari panti.

Melihat semangat mereka, hidup apa adanya, tak pernah mengeluh, rasanya hidup ini sangat bersahabat. Tak pantas rasanya aku mengeluh dengan nikmat yang telah kudapat selama ini. Hanya rasa syukur yang seharusnya yang kupanjatkan kepada Tuhanku Yang Maha Kuasa. Tentang kepuasan rizki, memang manusia akan selalu merasa kurang.

Pada hakikatnya hidup tidak hanya untuk mencari rizki saja, tapi bagaimana menggapai rahmat Allah yang telah melimpahkan kenikmatan kepada manusia. Mungkin itu lebih tepatnya. Seperti yang disampaikan Ustadz Mahfulyono dalam ceramahnya sore itu menjelang maghrib.

Meski datang sedikit terlambat, tapi setidaknya aku bisa mengambil sekelumit isi ceramah yang disampaikan. Bahwa ada lima hal yang dapat dilakukan untuk menggapai rahmat Allah, terutama di Bulan Ramadhan ini.

Dikatakan sang ustadz bahwa yang pertama adalah semangat beribadah. Ibadah bukan berarti hanya menjalankan kewajiban sebagai umat muslim, namun amalan lain yang bersifat sosial atau hubungannya dengan manusia. Kemudian yang kedua adalah dengan menggunakan waktu sebaik-baiknya. Berpuasa bukan berarti bermalas-malasan. Kuakui rasa malas memang menjadi kendala besar untuk melakukan banyak aktivitas. Dengan sedikit pencerahan ini semoga ada perbaikan untuk mengurangi rasa malas. Karena betapa berharganya waktu yang tidak akan pernah kembali, sehingga apabila tidak digunakan dengan baik akan sia-sia dan terlewat begitu saja.

Pesan yang ketiga adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak baik, misalnya maksiat. Memang cukup sederhana seperti pesan yang disampaikan kepada anak-anak usia SD. Namun, dalam pelaksanaannya tidaklah mudah. Keempat adalah peduli kepada sesama, bisa diwujudkan dengan bersedekah. Telah disebutkan bahwa amalan baik di bulan puasa pahalanya akan dilipatgandakan. Meski sejatinya  sedekah tidak hanya untuk mencari pahala saja, karena itu urusannya dengan Allah tanpa melalui perantara. Yang terpenting adalah sedekah yang kita berikan dapat bermanfaat bagi orang lain. 

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepadaNya-lah kamu dikembalikan. QS. Al-Baqarah (2) : 245

Satu lagi, pesan kelima adalah banyak berdoa. Usaha keras yang dilakukan tanpa didukung dengan doa rasanya ada yang kurang. Doa bagiku adalah komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhannya. Soal dikabulkan atau tidak itu urusan belakangan. Siapa tahu doa yang dipanjatkan malah akan diganti dengan yang lebih baik, tanpa disadari.

Akhirnya, adzan maghrib terdengar lantang dari masjid yang entah dimana letaknya. Hanya suara dari muadzin yang menggema, menandakan sudah waktunya untuk berbuka. Takjil dari kardus snack kami nikmati bersama. Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan yang ada di dalamnya, kemudian sambil menenteng bingkisan kecil yang berisi perlengkapan sekolah mereka mengantre berwudhu dan salat maghrib berjamaah. Bingkisan kecil itu mereka dapatkan sebagai bantuan untuk melengkapi kebutuhan sekolah.

Akhirnya aku pulang saat langit sudah mulai gelap. Setidaknya ada sedikit oleh-oleh yang kubawa dari pertemuan sore itu. Oleh-oleh cerita dan sepenggal pengetahuan yang mahal harganya. Sore yang begitu bersahabat bersama anak-anak panti.


Purwokerto, 17 Juli 2013
08.25 WIB

Jumat, 12 Juli 2013

Rindu Perjumpaan Kita

PERJUMPAAN kita seharusnya sudah memasuki malam kelima. Tapi apa daya aku hanya menjumpaimu pada malam pertama saja. Malam itu aku dengan giat mempersiapkan diri untuk menyambutmu sebelum fajar menyingsing. Belum genap semalam aku menunggu, akhirnya kita berjumpa pada satu waktu, tepatnya sepertiga malam terakhir.

Aku sedikit berbeda dengan orang-orang disekililingku yang menjumpaimu esok hari. Aku ingin lebih awal, karena sudah tak sabar lagi setelah setahun lamanya kita tidak berjumpa. Selain itu juga bukan tanpa alasan, karena aku meyakini bahwa memang sudah benar-benar waktunya aku menyegerakan pertemuan denganmu.Sebagian orang mengatakan bahwa hilalNya sudah terlihat di ufuk barat yang artinya aku harus berjumpa denganmu dengan segera.

Tak butuh waktu lama untuk menghabiskan waktu bersamamu, karena aku benar-benar menikmatinya. Perjumpaan yang begitu mesra selayaknya wanita bertemu dengan kekasihnya di pelataran malam yang remang. Apalagi hanya aku dan kamu yang ada di ruangan ini. Memerangi kesunyian karena ini adalah teman kita yang ada sekarang. Teman yang akan selalu ada disaat keramaian tak mampu lagi datang di tengah-tengah hiruk pikuk takbir yang saling bersautan.

Yah, ternyata sudah waktunya kita berpisah. Bukan berarti perpisahan sesungguhnya, kita harus pergi dari waktu ijabah yang sangat istimewa ini. Sudah tidak lagi sepertiga malam terakhir, sekarang tinggal menjumpai waktu subuh yang tak kalah indah untuk dinikmati.

Pagi itu, memang benar-benar indah. Aku menyadari bahwa pagi ini memang sebuah kenikmatan yang luar biasa. Perutku tak lapar, mataku tak mengantuk, bahkan badan ini rasanya segar sekali. Dihinggapi semangat bersama sang pagi yang membawa cerita tentang burung-burung kecil yang terbang di setiap musim. Mereka tak pernah lelah mengepakkan sayapnya, bertaburan di awan, berkicauan menyanyikan cerita pagi yang telah siap menghadapi hari yang sedikit menantang.

“Hari ini akan menjadi sangat istimewa. Biasanya kalau pagiku sudah semangat akan berdampak pada perjalanan panjang untuk melewati hari ini. Semangat harus dijaga sampai sore nanti saat berbuka. Kalau mau bermalas-malasan nanti malam saja,” ujarku dalam hati.

Setiap harapan memang akan selalu terwujud meskipun sedikit. Karena nyatanya tak genap sehari aku bisa menjaga semangat ini. Akhirnya aku makan, minum, dan lepas sudah serangkaian rencana yang sudah kurancang sejak semalam. Rencana berjumpa lagi denganmu malam nanti, rencana menikmati seteguk air putih untuk menandakan syukurku padaNya, dan rencana lain untuk mengawali perbaikan diri selama sebulan ini.

Ah, artinya aku harus menunggu seminggu lagi untuk berjumpa denganmu. Rasanya pertemuan semalam yang begitu istimewa sangat sia-sia. Sebenarnya ini adalah sebuah keringanan bagiku untuk tidak menjalankan perintahNya. Untuk sejenak terbebas dari rutinitas umat muslim tiap kali berjumpa mengabsen di hadapan Tuhannya.

Aku akan merindukan masa-masa itu, dimana Dialah satu-satunya pendengarku yang paling setia. Dia satu-satunya tempat paling nyaman untukku mengadu, dan tentunya hanya Dia yang tahu akan dijadikan apa aku ini.

Sekarang sudah memasuki malam kelima, aku masih tetap tak bisa menjumpaimu. Rasanya Dia menjauh, sedang tak ingin dekat denganku. Baik pagi, siang, malam, seperti malam, ah yang jelas setidaknya tiap lima waktu aku absen dulu berjumpa denganNya. Saat ini Bulan Ramadan, pasti Dia lebih mesra ketimbang bulan-bulan sebelumnya. Kata orang selama sebulan ini Dia membuka pintu maaf lebar-lebar, banyak permintaan umatNya yang dikabulkan, bahkan Dia juga mengkhususkan diri untuk berjumpa dengan umatNya yang sengaja menunggu pada sepertiga malam.

Sudahlah, aku masih tetap merindu pertemuan denganmu. Kalau sekarang kita jauh, maka tunggulah, beberapa hari lagi kupastikan akan datang. Sekarang Dia membiarkan aku berjalan di daratan seperti kaki menapak di tanah basah yang merendah, agar aku terus merendah di hadapanNya dan umat yang lain. Dia bebaskan aku berenang di air agar aku bisa merasakan ketenangan untuk kembali mensucikan diri saat berjumpa denganNya nanti. Dan dibiarkannya aku terbang di langit layaknya burung liar agar aku dapat memilih mana tangkai kuat yang dapat kuhinggapi. Terimakasih pagi... Aku rindu perjumpaan ini.


Purwokerto, 13 Juli 2013
02.10 WIB