Senin, 16 Desember 2013

Internet, Belajar Jadi Menyenangkan


Seperti Terbang Keluar Angkasa
TANPA berkedip, mata lugu itu menatap ke arah layar yang tersorot dengan jelas pada tembok di samping papan tulis. Seolah mata itu berbicara tentang keheranan yang tidak pernah jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bumi dengan mudah diputar, diperbesar, atau pun diperkecil hanya dengan mengeklik atau mengarahkan mouse saja. Pembelajaran menggunakan layar LCD ini telah menghipnotis siswa kelas XII IPS 2 yang saat itu sedang mendapat materi Penginderaan Jauh mata pelajaran Geografi.
Saya sebagai guru yang mengampu mata pelajaran itu merasakan sedikit kepuasan karena semua siswa memperhatikan. Kalau pun ada suara hanya kekaguman mereka dengan Google Earth, aplikasi yang saya gunakan. Tiga jam pelajaran di dalam kelas sungguh rasanya sangat sebentar, apalagi melihat siswa yang mengangguk tanda memahami materi yang saya ajarkan.
Melalui aplikasi ini mereka bisa melihat permukaan bumi atau fenomena geosfer tanpa bersentuhan langsung dengan objek yang dikaji. Tak sedikit dari mereka yang request untuk menampilkan tempat tinggal mereka, objek wisata di Flores, dan jalan-jalan yang sering mereka lewati. Awalnya saya hanya menampilkan lokasi sekolah mereka yang nampak jelas pada citra dari aplikasi yang seolah membawa kami terbang ke luar angkasa. Tanpa menjelaskan lebih panjang para siswa sudah langsung paham tentang cara kerja aplikasi ini.

Ketagihan Berselancar Pakai Google Earth
Seorang siswa, Maria Yuniberta Dede mencoba langsung penggunaan Google Earth untuk mencari lokasi yang dia inginkan. Yein, panggilan akrabnya, awalnya terbata-bata saat menggerakkan mouse untuk melakukan pencarian lokasi. Meski begitu ia tetap melanjutkan pencarian bahkan hingga zoom yang sangat besar. Nampak jelas permukaan bumi yang ingin dicarinya.
“Wah ini Soa, ini bandaranya, ini jalannya,” ujarnya kegirangan. Begitu juga dengan teman sekelasnya yang ikut kegirangan menyaksikan permukaan bumi dari sorot LCD pada tembok. Bahkan beberapa siswa lain pun terus meminta Yein untuk melanjutkan pencarian daerah lain yang sering mereka kunjungi.
Program globe virtual buatan Keyhole, Inc ini juga memudahkan saya memberikan contoh fenomena geosfer yang saya ajarkan. Selain memahami materi, pembelajaran menggunakan Google Earth juga mengasyikkan bagi siswa.
Maria Yuniberta Dede sedang mencoba program Google Earth
Belajar Geografi di dalam kelas selama tiga jam biasanya membuat siswa mengantuk atau sesekali pasti ada yang izin keluar kelas. Namun saat pembelajaran menggunakan LCD saya tidak pernah menjumpai siswa izin keluar kelas atau bahkan sampai terkantuk-kantuk. Tanpa menunggu perintah, mereka juga mencatat materi ajar yang saya sampaikan. Sebenarnya materi ini bisa saya photo copy, namun dengan tujuan mendapat manfaat yang berlipat, saya enggan memberikan print outnya. Dengan menulis, siswa telah melakukan aktivitas membaca, menulis, dan memahami sehingga materi yang saya ajarkan akan lebih melekat dalam ingatan mereka. Alhasil siswa sangat berantusias untuk memahami materi ini.
Terbukti pada pertemuan berikutnya mereka sudah duduk rapi di dalam kelas menunggu saya datang. Tidak hanya mereka yang duduk rapi namun LCD juga sudah terpasang dan siap untuk saya gunakan. Padahal saya tidak menginstruksikan seorang siswa pun untuk menyiapkan media elektronik ini, bahkan masuk kelas pun saya tidak membawa laptop.
“Ibu guru kemarin kan belum lihat desa saya di Google Earth, jadi sekarang kita lihat ya bu,” kata Leonardus Rohendra, siswa yang biasa izin keluar kelas saat pembelajaran berlangsung. Kalau sudah begini tak ada pilihan lagi selain mengikuti kemauan mereka untuk menerapkan pembelajaran elektronik.

E-learning Mempermudah Kegiatan Belajar Mengajar
Kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan teknologi sangat membantu guru untuk mentransfer ilmu kepada siswa. Apalagi belakang ini sedang gencar penerapan Kurikulum 2013 yang mengharuskan siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Meski kurikulum ini belum sampai di daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Terpencil) tempat saya mengajar, namun siswa harus dibiasakan untuk mengenal teknologi atau media pembelajaran elektronik. Apalagi untuk jenjang SMA yang tidak lama lagi akan memasuki bangku kuliah.
Sebagai guru SM-3T (Sarjana Mendidik di daerah 3T) SMA S Kejora Riung, Nusa Tenggara Timur yang notabene masih belum familiar dengan teknologi, saya membiasakan diri untuk menerapkan pembelajaran elektronik. Tidak melulu harus dikonekkan dengan internet, namun terkadang saya hanya menampilkan gambar atau video yang berkaitan dengan materi ajar.
Beberapa sekolah di Pulau Flores ini sudah mempunyai fasilitas pembelajaran elektronik yang terbilang lengkap. Hanya saja sumber daya manusia dalam hal ini tenaga pengajarnya yang masih enggan memanfaatkannya. Dengan alasan belum menguasai teknologi, waktu yang terbatas untuk menyusun bahan ajar, atau alasan lain yang sering saya dengar. Padahal pembelajaran elektronik cukup simple dan mudah, terlebih untuk pelajaran tertentu yang sering menjadi momok tersendiri bagi siswa.
Guru hendaknya meng-update perkembangan teknologi yang terus berkembang terutama untuk pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas. Dampak kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap dunia pendidikan semakin terasa. Bahkan saat ini hampir semua aspek kehidupan manusia tidak luput dari peranan TIK. Oleh karena itu guru harus mampu menjembatani siswa dalam mengikuti perkembangan teknologi dengan memanfaatkan pembelajaran, baik sebagai alat maupun media pembelajaran.


Sunday Morning

Membelakangi matahari terbit

Jalan-jalan pagi 

Ini baru SM-3T

Di balik bukit

Blusukan

Romantis sekali

Susur sawah

Kamis, 12 Desember 2013

Ora Utang ya Ora Due Modal

TIAP kali mendengar kisah sukses para pengusaha, cerita mereka tak pernah lepas dari ikhwal tentang perjuangan yang seolah tanpa batas. Tak terkecuali untuk pengadaan modal saat memulai usaha. Sebagian menjadi pengusaha karena memang mempunyai modal, namun sebagian lainnya hanya berbekal nekat dan keterampilan saja.
Modal kerap menjadi kendala bagi seseorang untuk menuju sukses dalam berwirausaha seperti yang dialami Sri Budiarto. Pengusaha ini sempat nekat mendatangi bank untuk mengajukan pinjaman modal demi pengembangan bisnisnya. Awalnya pria berusia 45 tahun ini hanya berjualan bumbu dapur di Pasar Wage Purwokerto. Dengan kenekatannya meminjam modal di bank kini ia telah menjadi suplayer bumbu dapur untuk hotel dan restoran besar yang ada di Purwokerto dan luar kota.
Berurusan dengan bank kerap mendatangkan rasa takut tersendiri bagi mereka  yang baru memulai usaha. Kebanyakan masyarakat masih enggan berhubungan langsung dengan perbankan karena memandang bahwa prosesnya sulit, berbelit, dan menerapkan bunga yang tinggi.
Budiarto meyakini dengan cara berhutanglah dirinya bisa mendapatkan modal yang besarnya sesuai dengan kebutuhan. Menurutnya tak perlu ada ketakutan, yang penting adanya keyakinan dan tetap berusaha untuk bisa mengembalikan pinjaman. Budiarto memantapkan hati memilih cara ini setelah mendapat nasihat dari sang ibu.
Waktu itu ia membutuhkan banyak modal setelah kiosnya terbakar tepatnya tahun 2008. Dari musibah ini ia tidak bisa memulai usaha lagi karena tak mempunyai kios dan stok barangnya juga ikut ludes terbakar. Sebagai pengusaha rasa cemas tentu menghampirinya karena berjualan bumbu dapur di pasar adalah satu-satunya usaha yang dimiliki. Tak ada usaha lain yang bisa diharapkan.  
Kenekatannya meminjam modal di bank kemudian berujung pada sebuah kisah sukses yang dinikmatinya saat ini. Ia berpegang pada prinsip berwirausaha yang diyakininya hingga saat ini yaitu "Ora utang ya ora due modal”. Prinsip ini pula yang mengantarkannya pada gerbang sukses menjadi suplayer bumbu dapur.
Saat dirinya membutuhkan banyak modal dalam waktu dekat, yang bisa memberi pinjaman hanyalah bank. Alhasil hingga saat ini ia tak pernah enggan apalagi ragu untuk kembali berhubungan dengan bank. Saat ini pinjaman modal tinggal dimanfaatkannya untuk penambahan stok dan pengembangan usaha. Bahkan kios yang ditempatinya juga sudah menjadi milik pribadi, bukan lagi sewa.  
Kala itu ada beberapa bank yang didatangi, namun tidak semuanya dapat memenuhi permintaan Budiarto untuk berhutang. Hingga pencarian modal terus dilakukan dan pada akhirnya ia berhenti di sebuah bank berpelat merah. Saat mengajukan pinjaman modal di bank milik pemerintah ini ia tidak menjumpai banyak kesulitan. Pada akhirnya Budiarto  berhasil mendapat tambahan modal sebesar Rp 250 juta untuk dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Baginya jumlah ini tentu tidak sedikit namun ia meyakini pasti bisa mengembalikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Menurutnya apabila ada usaha pasti pemasukan akan terus didapat untuk bisa membayar angsuran setiap bulannya. Baginya tak perlu ada ketakutan untuk berhubungan langsung dengan pemilik modal. Karena pengusaha harus siap mengambil risiko, satu diantaranya dengan memilih cara ini. Meski begitu pengusaha juga tak boleh sembarangan memilih pemodal yang siap memberi pinjaman, mereka tetap harus selektif agar pada akhirnya tidak dirugikan.
Budiarto merasakan bank yang memberikan pinjaman modal kepadanya dapat memberikan layanan cepat sehingga kebutuhan bisa langsung terpenuhi. Selain itu bank milik pemerintah ini juga dirasa bersifat ngemong atau membimbing, dan ngewongke atau memberikan perhatian kepada debiturnya. Sehingga ada kedekatan secara personal, tidak hanya hubungan antara pemilik dan peminjam modal saja. Setelah hutangnya lunas ia akan kembali melakukan pinjaman, bahkan kalau diperbolehkan dalam jumlah yang lebih besar.
            Dengan kemudahan yang diberikan bank kepada nasabahnya baik debitur maupun kreditur maka akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Alhasil mulailah bermunculan pengusaha-pengusaha kecil yang dapat mengembangkan usaha secara mandiri. Hal ini juga akan berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi baik di tataran lokal maupun nasional. Apalagi saat ini melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakaan akan melambat. Tentu peran serta para pelaku usaha akan sangat dibutuhkan untuk membangkitkan perekonomian di Indonesia. Dimulai dari tingkatan pengusaha kecil hingga akhirnya akan terus berkembang hingga pengusaha berskala nasional.
Berdasarkan data yang dilansir Bank Indonesia, perekonomian dunia tahun 2013 diperkirakan tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. World Bank dan Consensus Forecast menurunkan prakiraan pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,1% (year of year) dan 3,2% (year of year). Ekonomi Eropa masih dalam periode kontraksi sejalan resesi di Prancis serta kondisi Spanyol dan Italia yang masih lemah.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan melambat pada triwulan II dan III yaitu hanya tumbuh 5,9 persen. Perlambatan ini dipengaruhi karena lebih rendahnya pertumbuhan konsumsi rumahtangga dan investasi.
Berdasarkan data yang dilansir dari situs www.setkab.com bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2013 sebesar 5,81% (yoy). Data ini sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) diakui Bank Indonesia (BI) lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,9 % (yoy). Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi kebijakan bersama pemerintah dalam mengelola perekonomian agar dapat tumbuh lebih seimbang dan sehat, di tengah proses pemulihan ekonomi dunia yang belum sesuai dengan harapan.
Kenyataan berbeda terlihat dalam pertumbuhan ekonomi regional yang menunjukkan angka cukup tinggi. Di eks Karesidenan Banyumas, aset bank umum pada triwulan II tahun 2013 tumbuh 20,1 persen (year of year), artinya lebih tinggi daripada triwulan I yaitu 18,03 persen (yoy). Sedangkan kreditnya tumbuh menjadi 22,84 persen (yoy) pada triwulan II dari 22,65 persen (yoy) pada triwulan I. Berbeda dengan aset yang dimiliki BPR yang bisa dikatakan tumbuh lebih lambat dibanding bank umum. Aset BPR pada triwulan II yaitu 14,76 persen (yoy) dari 16,06 persen (yoy) pada triwulan I. Sedangkan untuk kreditnya tumbuh 5,52 persen (yoy) pada triwulan II dari 10,66 persen (yoy) pada triwulan I.
Dengan begitu Banyumas merupakan kabupaten yang penghimpunan dana maupun penyaluran kreditnya paling banyak ketimbang kabupaten lain di sekitarnya. Sebagian besar kreditnya disalurkan dalam bentuk kredit modal kerja dan sebagian besar dana yang dihimpun dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro. Namun rasio antara jumlah penerima kredit dengan penyimpan dana masih belum seimbang.
Dari jumlah penduduk 4.944.050 jiwa yang tersebar di Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga baru 38,7 persennya yang menyimpan dana di bank dan hanya 7 persen yang menerima kredit. Perbandingan yang masih jauh ini seharusnya menjadi peluang bagi perbankan untuk memberikan inovasi dalam menyalurkan kreditnya kepada masyarakat. Untuk itulah prospek penyaluran kredit masih sangat terbuka demi pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Perbankan seharusnya mempunyai inovasi untuk menarik minat masyarakat menggunakan jasa kreditnya. Bisa melalui penawaran bunga rendah yang masih mengacu pada ketentuan Bank Indonesia atau kemudahan lain agar layanan kreditnya bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Melihat potensi penyaluran kredit yang masih sangat berpeluang ini perbankan harus lebih kompetitif dalam melayani masyarakat. Apalagi untuk tataran nasional hanya beberapa bank saja yang diberi kepercayaan untuk menyalurkan kredit. Seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah). Program KUR pertama kali digulirkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  pada tahun 2007 ini telah banyak menciptakan cerita sukses di balik penyaluran KUR kepada usaha kecil di berbagai daerah.

Dimuat di koran

Biar pun sudah tidak menjadi wartawan, tidak salahnya kalau saya terus mencoba menulis 

Harian pagi SatelitPost, Rabu 6 November 2013

Harian pagi SatelitPost, Kamis 7 November 2013

Rabu, 11 Desember 2013

Membangun Pendidikan Karakter

Muridku lagi diskusi di dalam kelas
Dengan mengenakan seragam merah putih seorang siswa nampak bersemangat datang ke sekolah. Seperti yang dilakukan anak-anak pada umumnya mereka datang bersama teman-temannya. Waktu masih menunjukkan pukul 06.20 WITA, masih terbilang pagi untuk anak-anak berangkat sekolah. Meski begitu tak sedikit pula dari mereka yang sudah datang lebih dulu karena mendapat giliran piket untuk membersihkan halaman sekolah. Tak lupa guru piket pun mengawasi setiap kerja mereka.
Saya memperhatikan anak-anak SD yang sangat rajin ini, namun seketika terlintas sebuah keheranan saat melihat seorang guru yang memukul muridnya. Terdengar samar-samar, guru itu juga mengeluarkan omelan karena siswa didiknya ini dianggap datang terlambat. Dengan seketika tiga anak yang baru datang ini berbaris untuk mendapat giliran dijewer dan dipukul menggunakan sebilah kayu. Setelah itu guru piket juga melakukan hal yang sama kepada siswa yang sedang memungut sampah di bawah pohon. Satu per satu siswa ini dipukul karena membersihkan halaman tidak menggunakan sapu lidi.
Alasan yang sepele untuk menjatuhkan sanksi kepada anak usia SD  ini sempat menjadi perbincangan saya dengan rekan guru selama perjalanan menuju SMA, tempat kami mengajar. Tindakan guru yang kami jumpai ini sebenarnya sudah terbilang tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Ada sedikit keheranan karena perlakukan ini jarang kami jumpai di Jawa. Ternyata di Indonesia bagian timur pendidikan masih erat kaitannya dengan tindak kekerasan yang telah dianggap lumrah. Alhasil tercipta pula generasi yang mempunyai perilaku sama dengan pola didikan yang didapatnya di sekolah.
Kekerasan guru kepada siswa dianggap lumrah karena hampir semua sekolah juga menerapkan pola asuh yang sama. Baik kepada siswa SD, SMP, maupun SMA. Jarang atau bahkan nyaris tidak ada sanksi yang diberikan kepada guru seperti yang diterapkan di Jawa, mengingat kebiasaan ini sudah mendarah daging dalam dunia pendidikan di Indonesia Timur.
Awalnya ada sebuah keanehan saat saya menjumpai seorang guru menjewer, memukul, dan membentak siswa. Alasannya karena siswa melakukan kesalahan atau hanya sekedar tidak mampu memahami materi pelajaran dengan baik. Selama berada di NTT perlakuan ini nyaris saya jumpai setiap hari. Bahkan tidak hanya dilakukan guru kepada siswanya, namun orangtua kepada anak pun juga sama. Saya sempat bertanya kepada guru dan orangtua mengapa anak harus diperlakukan dengan keras.  Tujuannya adalah agar anak menjadi pribadi yang penurut, rajin, dan disiplin. Namun pada kenyataannya bukan tujuan utama yang tercapai, malahan tercipta generasi yang berani membangkang, berwatak keras, dan bermental ciut dalam proses pembelajaran di sekolah.
Akibat dari kebiasaan ini siswa semakin merasa terbebani karena harus memenuhi tuntutan sekolah untuk menjadi pribadi yang rajin, disiplin, dan pandai di bawah tekanan pola didik yang keras. Padahal usia sekolah adalah masanya pencarian jati diri seorang anak. Mereka dalam tataran identifikasi atau proses meniru apa yang dilihatnya. Tugas guru dan orangtua hanya mengarahkan atau mengawasi proses perkembangan mereka, bukan meminta banyak tuntutan kepada anak. Sekalipun tujuannya dianggap baik, namun seharusnya dilakukan dengan cara pendekatan kepada anak, bukan kekerasan secara  fisik dan psikis.
Memang tidak salah dalam kehidupan kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali, namun pembentukan karakter anak tidaklah demikian. Karakter merupakan hasil pilihan dan cara pembentukannya. NTT memang dikenal dengan pola pendidikannya yang keras menyesuaikan dengan karakter penduduk yang keras pula. Berbeda dengan di Jawa, sekali saja guru memukul siswa maka urusannya akan berkepanjangan.
Kebiasaan memukul dan menjewer siswa ini tidak seimbang dengan  tingkat kesadaran akan pentingnya proses pendidikan demi perkembangan si anak. Alhasil tercipta generasi yang hanya bisa tunduk terhadap perintah tanpa mempertimbangkan manfaatnya bagi diri sendiri. Pola pikir anak tidak dapat berkembang dengan baik karena hanya menjadi objek dari pola asuh yang salah. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk berfikir kritis atau menikmati masa-masa keemasaannya, hanya dijejali dengan tuntutan dari guru atau orang tua saja.
Padahal lingkungan sekolah merupakan satu wadah yang dapat memberi pengaruh besar terhadap pendidikan karakter anak. Hal ini bisa diwujudkan dengan dukungan guru yang setiap perkataannya didengar oleh anak. Kecerdasan siswa tidak hanya diukur dengan hasil akademik yang memuaskan, namun juga ketercapaian pembentukan karakter siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang dengan karakter buruk cenderung mempersalahkan keadaan mereka ketimbang mengatasi persoalan bagaimana untuk memanfaatkan keadaan dengan keterbatasan yang ada. Atau kebanyakan orang hanya mengukur tingkat kecerdasan dari besarnya materi yang didapat, dalam hal ini adalah nilai akhir di sekolah. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka dibesarkanlah yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi lainnya yang menciptakan karakter keras.
Apalagi mulai dari keluarga sudah diterapkan pola asuh yang keras terhadap anak alhasil mereka membawanya sampai di sekolah. Sesampai di sekolah anak juga mendapat perlakuan yang sama dari gurunya masing-masing. Begitu seterusnya yang terjadi dari generasi ke generasi di NTT. Dampak ini kemudian dikembalikan pada anak dengan label kecerdasan rendah dan lambat dalam menerima pelajaran. Kalau pun banyak anak yang melakukan pelanggaran sekolah atau tidak disiplin ini menjadi persoalan yang wajar. Mengingat usia sekolah merupakan masa pencarian jati diri seorang anak. Apabila di beberapa daerah seperti halnya di Indoneia Timur terjadi kenakalan remaja yang terbilang tidak wajar, saya pikir ini merupakan kegagalan pola asuh baik dalam keluarga maupun sekolah.
Karakter tidak bisa diwariskan, tidak bisa dibeli, dan tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan dikembangkan secara sadar hari demi hari melalui suatu proses yang tidak instan. Karakter bukanlah suatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi seperti sidik jari. Perlu diketahui bahwa anak mempunyai potensi untuk menjadi seorang pribadi yang berkarakter apabila hal itu diupayakan. (*)


Fitri Nurhayati, S.Pd
Guru SM-3T Kabupaten Ngada, NTT



Selasa, 10 Desember 2013

Bahagia Itu Bersama Kalian

Ujian, kerjakan sendiri yaaa

Serius, lagi ujian

Les sore buat persiapan UN

Ngga pakai seragam lebih santai

Latihan paduan suara

Tanam bunga di halaman sekolah

Pengibaran bendera merah putih

Latihan nyanyi buat ujian praktik

Nilai ulangannya bagus jadi dapet bonus foto rame-rame

Takut Laptop Rusak

HARI kedua masuk sekolah aku masih belum mendapat jadwal mengajar. Ada dua kelas yang kebetulan jamnya kosong karena guru pengampu mapel jadwalnya bentrok dengan jadwal mengajar di sekolah lain. Hal ini sudah biasa terjadi di sekolah kami bahkan hampir di semua sekolah yang ada di Kecamatan Riung. Tak heran apabila siswa sering ketinggalan materi pelajaran.
Beberapa guru masih disibukkan dengan persiapan kunjungan kerja perdana Kepala Dinas PKPO Kabupaten Ngada. Maklum kunjungan ini merupakan yang pertama dilakukan oleh orang nomor satu di Dinas PKPO setelah sebulan ia menjabat. Untuk itulah butuh persiapan yang matang, terlebih kunjungan ini melibatkan seluruh sekolah baik sekolah negeri maupun swasta yang ada di Kecamatan Riung. Kebetulan sekolahku ketempatan untuk kunja perdana ini.
Waktu itu kelas X A dan B yang kosong, seharusnya mereka belajar TIK. Dua kelas ini terpaksa digabung karena satu ruangan sedang direnovasi untuk sementara waktu. Sebagian siswa kelas A ada yang digabungkan dengan kelas C dan sisanya digabungkan dengan kelas B.
Daripada duduk di ruang guru mending aku masuk kelas. Ada waktu dua jam untukku bercakap-cakap dengan mereka. Seperti di kelas lain aku selalu mengenalkan diri dan sedikit menceritakan profil singkat tentang diriku sendiri. Bukan apa-apa tujuannya untuk memberi motivasi kepada mereka untuk terus belajar bahkan kalau perlu mereka merantau ke tanah orang dan kembali ke kampung halaman untuk membangun kampung halamannya.
TIK sebenarnya adalah pelajaran yang sangat menyenangkan, seperti pengalamanku dulu saat duduk di bangku SMP. Selain bisa mengenal teknologi aku juga tidak perlu banyak berfikir seperti halnya saat mata pelajaran yang lain. Mapel yang satu ini tinggal praktik langsung, tinggal klik dan layar akan berubah dengan seketika. Mengenal teknologi seperti komputer waktu itu memang sangat luar biasa, maklum kami orang desa yang sebelumnya tidak pernah mengenal teknologi yang terbilang canggih ini. Tak heran jika muridku saat ini merasakan hal yang sama, hanya saja persentase praktik mereka lebih sedikit ketimbang teori, bahkan nyaris tidak ada praktik sama sekali.
Bahkan KBM sudah berjalan hampir tiga bulan namun guru mapel TIK sama sekali belum pernah masuk kelas. Siswa hanya diberi tugas mengerjakan soal yang ada dalam buku paket, membaca materi sendiri, dan memahaminya sendiri. Sudah salah kaprah pembelajaran semacam ini. Tapi apa mau dikata kondisi sekolah yang tidak memungkinkan.
“Kalian pernah belajar komputer?” tanyaku dalam kelas.
“Pernah bu waktu SMP tapi sudah lupa. Diajari ngetik saja,” kata seorang anak.
Dalam benakku seharusnya mereka sudah tak asing dengan komputer tapi pada kenyataannya tidak. Pelajaran ini butuh praktik sehingga siswa bisa memahami langsung apa yang mereka pelajari.
“Sekarang tutup bukunya. Kita belajar ngetik yaa,”
“Asyik...”
Kebetulan aku membawa laptop dan terpaksa aku juga meminjam netbook Mba Septi yang waktu itu sedang duduk santai di ruang guru. Ia bersedia membantuku untuk mengawasi anak-anak saat belajar mengetik. Hanya ada dua laptop di dalam kelas, tak apa setidaknya mereka bisa menyentuh yang namanya komputer.
Sebelumnya kujelaskan beberapa bagian yang di dalamnya, mulai dari layar monitor, keyboard, mouse, dan coolpad yang aku bawa. Meski sebenarnya aku  juga tidak menguasai semua piranti dalam teknologi ini. Ternyata sebagian dari mereka masih ada yang ingat terbukti ada yang menirukan suaraku saat menyebutkan beberapa perangkat keras ini.
Satu per satu aku menyuruh mereka menulis nama dan cita-cita yang ingin dicapai kelak setelah mereka dewasa. Tujuanku tidak hanya belajar saja, namun aku juga ingin membangun motivasi belajar siswa untuk meraih cita-cita.
Semua siswa kegirangan saat laptop kusiapkan di depan kelas. Aku mempersilakan siapa saja yang ingin mencoba menulis nama dan cita-citanya. Ternyata tidak ada satu pun yang berani maju ke depan kelas.
“Takut rusak bu guru,” kata Maria Yuniarti Anu Wona, seorang siswa yang duduk di kursi deretan paling depan.
Aku sedikit tergelitik dengan pengakuan mereka. Lugu, jujur, tapi sebenarnya mempunyai semangat belajar yang tinggi. Sebenarnya sekolah mempunyai beberapa unit komputer, kelihatannya ada enam komputer yang masih baru hanya saja sepertinya jarang sekali digunakan. Hal ini dikarenakan terbatasnya tenaga pengajar yang terbilang mumpuni di bidang ini, kalau pun ada harus membagi waktu dengan kelas atau sekolah lain.
Aku memandu mereka agar semua siswa bisa mencoba mengetik di laptopku. Mulai dari Maria Yuniarti yang kebetulan memang duduk di kursi paling depan. Kemudian diikuti siswa lain yang duduk disampingnya. Setelah seorang siswa maju untuk praktik langsung maka siswa lain sudah tak lagi segan untuk mencoba kegiatan yang sama.
Ini hasil tulisan mereka yang terhimpun di laptopku: 


Nama maria yuniarti anu wona
Cita –cita;ahli psikologis

Nama :maria margareta saun
Cita-cita:guru fisika

Nama:maria melatriks
Cita-cita:dokter hewan

Nama:maria andaresta ndusing
Cita-cita:guru bahasa indonesia

Nama:mariana mena
Cita-cita  :polwan

Petrosa awe
Cita –cita :guru

Ermelinda nambe
Cita-cita :guru kimia

Klemensia mapung
Guru  matematika

Odalia jelita tae
Guru bahasa inggris

Maria apriliana zaung
Guru kimia

Yunita keso soli
Bidan

Maria adelberta roja
Bidan

Nama ;klaudius lendes
Ahli fisika

Albertus fides
Tentara AD

Apolonarius pau
Ir pertanian

Gregorius kako
Pemain bola


Dua jam pelajaran serasa sangat cepat untuk praktik langsung menggunakan komputer. Di luar sana terdengar lonceng berbunyi nyaring pertanda sudah waktunya ganti pelajaran. Aku bergegas menutup pertemuan kali ini dan kukatakan suatu saat aku akan kembali ke kelas ini, kalau ada jadwal mengajar atau hanya ingin menengok mereka di kelas.
Aku bergegas mematikan laptop dan segera menuju ruang guru. Mama Sisi sudah bersiap diri untuk masuk ke ruang kelas yang sama. “Nah begitu ibu Fitri anak-anak senang kalau belajar komputer apalagi praktik langsung. Sekarang gantian ibu yang masuk kelas,” kata Mama Sisi sembari membawa Buku Biologi yang akan disampaikan kepada siswaku tadi.


Riung, 19 September 2013