Kamis, 22 November 2012

Bintangmu

Bintik itu tak akan cantik kalau tidak menempel di langit yang hitam
Maka jangan salahkan jika sebagian belahan bumiku tak tersentuh cahaya
Karena ini menandakan matahari sedang memberi peluang untukmu bersinar
Ia berharap kau tak kalah dengan kilau angkasa yang menjadikannya indah

Jemariku tak akan mampu menghitung seberapa banyak pesaingmu malam ini
Tapi tetap saja cahayamu masih yang paling te
rang
Akan aku tunjuk satu bintang, itulah bintangmu, dan itulah cahayamu.

Ajari aku bagaimana memandang sinarmu dari berbagai sisi
Agar aku dapat melihat tidak hanya dari permukaan bumi, 
tapi dari setiap sudut keberadaanmu
Meski harus menjelma tanpa tahu sebatas apa luas jagat semesta.
Sebelum matahari membenamkan disaat aku tak mampu.

Lelaki Pertama

Rambutnya ikal, kasar, hitam, dan kaku. Matanya tajam tetapi menenteramkan. Senyumnya menampakkan lesung pipit yang membuat setiap orang ingin mencibirnya. Sikapnya tegas, pendiriannya pun membaja. Kesetiaan tak pernah lekang bagai karang. Kejujuran menjadi modal, dan kecerdasan menjadi perisai hidupnya.
“Lelaki pertama yang aku kagumi.Demikian pujianku setiap merayunya.
Suara lelaki itu akan mengguntur bila ia berang, namun akan terdengar bagai lagu penawar rindu bila ia senang. Dalam dirinya mengalir kebijaksanaan dan ketulusan. Pada seisi gubug ini mengalir keringat sucinya. Dari dalam dada ia mengemban seribu amanah, aku, Si Mbok, dan Syarif.
Sudah dua tahun lelaki itu tak pernah lagi mengunjungi gubug kami. Gubug tua yang mengenalkan aku tentang hidup dan kehidupan. Dari dalam gubug ini aku mendengar pertengkaran Si Mbok dengan lelaki ini, hampir setiap malam. Aku selalu mengintip bersama angin malam dari lubang pagar bambu yang sudah usang. Permasalahan tentang kebutuhan keluarga yang tidak pernah tercukupi. Sebenarnya hal itu adalah permasalahan klasik dalam setiap rumah tangga.
***
Sabtu pagi, lelaki itu berpamitan akan pergi ke Jakarta untuk bekerja agar dapat mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. “Agar Si Mbok tidak ngomel lagi, katanya. Pagi itu sungguh menambah ketidakberdayaan hari kemarin.
Sebulan sekali lelaki itu pulang dengan menenteng satu kilogram apel merah kesukaanku. Bekerja di Jakarta cukup menambah pemasukan keluarga kami sehingga kehidupan kami terasa lebih harmonis dari sebelumnya. Bahkan aku tidak lagi mendengar perselisihan di sudut ruangan pada malam hari. Karena pertemuan kami untuk berkumpul memang sangat terbatas. Begitu juga dengan Si Mbok, ia terlihat sangat menikmati kebersamaan ini.
            “Kelak  kau akan menjadi orang sukses nak,” gumamnya sambil membelai rambutku dengan mesra. Belaian lelaki pertama yang aku kagumi yang jarang sekali aku rasakan. Sungguh pertemuan yang membuatku tak ingin mengakhirinya.
Namun memasuki tahun pertama bekerja di Jakarta, intensitas kepulangan lelaki itu mulai jarang. Si Mbok mulai cemas dengan kondisi ini. Betapa tidak, lelaki lain yang satu kampung dengan kami sudah pulang, bahkan sudah berangkat lagi. Kian hari lelaki itu sama sekali tak memunculkan tubuh perkasanya lagi. Kami kelimpungan harus mencari ke Jakarta. Jakarta sangat luas, tempat kerjanya pun tidak menetap.
Aku ingat, lelaki itu pernah bercerita tentang pekerjaanya menjadi penjahit borongan. Penghasilannya akan lebih banyak apabila mendapat orderan yang banyak pula. Biasanya ia menjahit pakaian seragam dari perusahaan atau instansi tertentu, jadi penghasilannya tidak menentu.
Karena kecemasan Si Mbok yang sudah tidak karuan, aku beranikan diri untuk menyusul lelaki itu ke Jakarta. Kepergianku itu, disusul kecemasan Si Mbok dan Syarif yang sangat besar. Seorang gadis yang belum pernah pergi ke kota metropolitan sendirian, memberanikan diri pergi hanya berbekal alamat yang pernah lelaki itu tinggalkan di gubug kami.
***
Inikah Kota Jakarta yang pernah ia ceritakan, kota yang kata orang sesak oleh para pendatang untuk mencari pekerjaan. Jalan Kembang Sepatu, Pasar Senin Jakarta Pusat. Di depan perusahaan konveksi berplang “Indira” aku melihat lelaki itu turun dari Mobil Avanza menggandeng wanita hamil usia paruh baya.
Kami beradu pandang kemudian aku tersenyum dan menyapanya berulang-ulang. Namun sayang, ia tidak mengenaliku lagi, gadis yang dulu pernah dibelainya. Lelaki pertama yang kukagumi, ternyata pandai mengobral janji. Bapak rela mengkhianati dan meninggalkan Si Mbok, aku, dan Syarif demi kesuksesannya dan wanita lain.
            “Maaf, Bapak. Kini aku - anakmu - tidak mengagumimu lagi.”


*Cerpen ini dimuat di Buku Kado untuk Pasutri

Terimakasih Maria

Cukup sering aku mendengar dan membaca doa. Tapi jarang sekali ada penghayatan khusus terhadapnya. Bagiku doa bukanlah sebatas komunikasi kepada tuhan, namun sebuah pengaduan yang aku sampaikan ketika tak mampu menyampaikannya kepada orang lain.
Seperti mengunjungi jasadku sendiri saat senandung doa ia dendangkan untuk Maria. Bukan karena ia adalah ayah dari anakku, tapi karena ia belahan jiwa yang baru saja tersenyum. Lima tahun kami bersama di bawah naungan pernikahan. Aku tidak pernah menyangka pertemuan di bangku kuliah membawa pada cinta sejati yang baru aku rasakan.
Tampan, itu kesan pertama. Tubuh tinggi tegap, rambut hitam ikal, wajah berseri dengan kumis manis bertengger di atas bibirnya. Aku begitu terpesona dalam kesederhanaannya. Dia menciumku setidaknya dua kali sehari. Pagi menjelang kerja dan malam hari setelah pulang. Aku pikir memang dia bukan pria romantis yang menunjukkan rasa sayangnya dengan ciuman. Kami jarang sekali bergurau diwaktu luang. Bahkan ketika makan malam dalam satu meja, tidak pernah ada perbincangan panjang. Hanya terdengar denting piring yang beradu dengan sendok dan garpu.
Suatu ketika musim kemarau mengawalinya untuk tersenyum liar, seliar angin senja melengkapi desir ombak di dermaga dekat rumah kami. Tak pernah kudapati ia tersenyum liar selama aku menyandang status sebagai Nyonya Roni. Seorang wanita mengunjungi rumah dengan gayanya yang begitu anggun. Ia mengaku rekan kerja Mas Roni, suamiku yang saat ini menjalani bisnis bersama. Candaan mereka terdengar begitu renyah di pelataran rumah. Mungkin dari wanita itulah suamiku mengenal tawa yang begitu liar.
Wanita mana yang tidak menitikkan air mata ketika sang suami tertawa liar dengan wanita lain di teras rumah. Terlebih hal itu tidak pernah dilakukan dengannya. Agar tidak menimbulkan fitnah, aku beranikan diri ikut bergabung bersama mereka, meskipun tidak diajak.
“Maria,” uluran tangannya hangat. Deretan gigi putihnya menebar pesona siapapun yang memandang.
“Laksmi,” aku menyambutnya. Teriring senyum yang berusaha memunafikkan diri dengan kecemburuan.
Ia membawa singkong melepuh untuk kami sekeluarga. Mas Roni terlihat sangat menikmati makanan itu dengan mata saling bertatap. Hatiku terasa sakit, bahkan lebih sakit ketimbang saat Mas Roni lebih memilih lembur di kantor hingga pagi, lebih sakit daripada saat Mas Roni lupa dengan hari ulangtahun pernikahan kami, dan melebihi sakit ketika operasi caesar saat aku melahirkan anaknya. Aku tidak bertanya apakah suamiku mencintai wanita itu, karena sepertinya aku sudah tahu jawabannya.
***
Kemarau menjadikan kami enggan pergi keluar rumah. Begitu juga dengan suamiku, ia lebih memilih duduk di depan komputer yang membuatku tak berani mengganggunya. Tanpa sengaja ketika ia meninggalkan komputernya di kamar, aku membaca email yang ditujukan untuk Maria.
Seketika mataku terasa panas. Ternyata suamiku tidak pernah mencintaiku. Ia tidak pernah bahagia dengan kebersamaan kami selama ini. Pantas saja senyum liar tak pernah ia alamatkan padaku. Mas Roni lebih memilih rekan kerjanya yang begitu anggun. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk tidak menangis. Kembali aku melatih diri menjadi orang munafik di depannya. Hanya pengaduan pada tuhan lewat komunikasi di atas sajadahku.
Aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. “Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari pintu manapun yang dia kehendaki tanpa dihisab. Wanita yang taat akan suaminya, ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama ia taat kepada suami dan meridhoinya.”  Begitu pelajaran yang aku dapatkan dari pengajian di mushola ba’da maghrib. 
***
Hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kami yang ke-lima. Tahun lalu Mas Roni tidak pulang ke rumah. Ia lebih memilih lembur di kantor. Tapi hari ini ia pulang lebih awal. Hatiku terang menerima senyumnya seperti malam memasang lilinnya.
“Cinta, aku ingat hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kita,” katanya dengan lembut yang seumur hidup baru aku dengar.
Peristiwa kemarin begitu saja aku lupakan ketika mendengar rayuannya. Cemburu menjadikanku dekat dengan Sang Pencipta yang membalikkan hati manusia dengan seketika. Ia mengajakku ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Kota ini. Kami mengunjungi nisan yang di atasnya bertuliskan Maria Prabandari.
“Ia mengajarkanku untuk mencintaimu sepenuh hati, Laksmi. Kau istri yang taat kepadaku meskipun aku membuatmu sakit hati,” katanya.
Ternyata suamiku mengetahui emailnya pernah aku baca tanpa sengaja. Maria meninggal akibat kecelakan di Bandung kemarin sore. Wanita itu telah mengajarkan senyum pada suamiku, mendekatkanku padaNya lewat rasa cemburu yang dibuatnya. Tapi senyumnya adalah senyum yang terakhir. Selamat jalan Maria, Innalillahiwainna ilaihi roji’un.


*Cerpen ini juga dimuat di Buku Kado Untuk Pasutri

Wanita


Fitri Nurhayati
Membaca biografi tokoh pejuang wanita tentu sangat menginspirasi kita semua. Menjadi orang yang merugi apabila tidak terketuk hatinya untuk mengagumi sosok pejuang wanita yang satu ini, RA. Kartini.
Perjuangannya sungguh gigih, alhasil nikmatnya dapat dirasakan saat ini. Di tengah perkembangan zaman yang semakin kompetitif, tak sedikit kalangan yang ingat tentang sejarah sebagai wujud perjuangan menuju sukses.
Terlebih bagi kaum wanita yang telah menikmati jerih payah Kartini hingga mereka mempunyai derajat sama dengan kaum laki-laki. Tak ada lagi sekat yang membedakan antara keduanya.
Hal kecil dapat terlihat dalam aktivitas yang dilakukan para wanita saat ini. Mereka mempunyai kebebasan untuk mengembangkan minat dan bakat selama masih dalam koridor norma yang berlaku dimasyarakat.
Terlihat dari gaya berpakaian dalam melakukan pekerjaan. Mereka tampil modis dengan segala aksesoris yang semakin mempercantik auranya. Wanita tidak lagi dipekerjakan di dalam rumah, mengurus anak, dengan mengenakan pakaian ala kadarnya.
Tak kalah dengan kaum pria yang bebas gaya dan sporty, kini busana wanita juga mempunyai sejuta model bahkan untuk busana muslim sekalipun. Wanita muslim dibebaskan untuk mengenakan jilbab saat melakukan pekerjaan di luar rumah.
Modelnya juga beragam, mulai dari pilihan warna, bahan, hingga harga yang semakin bersaing. Mereka kian terlihat modern dengan dandanan tren era terbaru.
Busana muslim (gamis) tidak hanya dikenakan di pesantren atau sekolah agama saja, namun di kantor pemerintahan atau tempat-tempat umum sekalipun mereka kenakan. Gamis dengan perpaduan jilbab segala model menjadi kebanggan para wanita.
Dengan banyak model inilah mereka bebas memilih sesuai dengan keinginan. Hal ini juga berpeluang bagi para pengusaha untuk mengembangkan bisnisnya dalam memasarkan busana muslim.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 67)
Saat ini bolehlah dikatakan bahwa jilbab dan pakaian muslim telah mentradisi menjadi budaya bangsa. Bisa mempercantik setiap penampilan wanita, menjadi ladang bisnis, memakmurkan pengusaha dan para pekerjanya.
Apabila menilik kembali gaya busana pada tahun 1980an, saat itu pakaian wanita masih sederhana dan hanya sebatas menutup badan saja. Tidak mengandung nilai estetika di dalamnya.
Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengalaman yang dimiliki masyarakat Indonesia. Kekuasaan yang didominasi oleh bangsa asing membatasi ruang gerak para wanita. Tak hanya itu, penguasa yang mempunyai kebijakan pun membatasi gaya busana muslim beredar di masyarakat.
Pada saat itu tradisi keagamaan begitu diawasi, dicurigai, dan dikekang. Pakaian muslim dan jilbab tidak boleh dikenakan di sekolah, namun rok dan baju mini bebas dipakai di mana pun berada.
Penguasa saat itu berhasil mengisi jabatan penting sehingga dengan mudah membuat aturan yang membatasi kebebasan menjalankan hukum-hukum islam. Waktu itu tokoh pergerakan islam ditangkapi dan dibui. Para jilbaber diteror, direkayasa, diimagekan buruk dengan isu-isu miring seperti adanya kasus jilbab pencopet.
Masyarakat islam yang masih awam dibuat phobia terhadap agamanya sendiri. Kalangan yang kuat semakin berkuasa dan yang lemah semakin tertindas. Korupsi merajalela hampir di semua instansi pemerintahan. Kemaksiatan pun terus mengalami kemajuan.
Pelacuran menjadi hal biasa yang dilindungi oleh becking-becking kekuasaan. Film-film cabul diputar dibioskop seluruh penjuru tanah air. Semua itu diperbolehkan karena keberadaan mereka membawa keuntungan untuk pemasukan negara.
Muslimah berjilbab saat itu dilarang bekerja di kantor pemerintahan. Namun bersyukurlah saat ini keadaan sudah semakin membaik. Setidaknya  beberapa koruptor telah tertangkap. Tokoh agama semakin terpandang dengan penyampaian menggunakan metode dakwah yang bervariasi.
Kehidupan beragam pun sudah semakin dihormati. Semoga selanjutnya bisa menjadi tradisi dalam hidup berbangsa. Semua perubahan yang diraih Indonesia saat ini tidak terlepas dari peranan wanita di dalamnya. Mereka berperan serta dalam memperbaiki moral bangsa.
Terbukti tak sedikit kaum wanita yang masuk dalam jajaran pemerintahan, membuat kebijakan yang adil demi kelangsungan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Wanita mempunyai kebebasan dalam melakukan pekerjaan di luar rumah. Bahkan banyak pula dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga sebagai perwujudan dalam membantu kaum laki-laki.
Penampilan wanita juga semakin rapi dan sedap dipandang mata. Menjadikan mereka lebih dihormati dan bersahaja saat tampil di tengah publik. Meski dengan busana muslim yang modis para wanita tetap mempertahankan aturan syar’i.
Tak hanya penampilan, gagasan brilliant juga bermunculan untuk memberikan rekomendasi demi perubahan bangsa yang progresif. Pola pikirnya tak lagi kolot namun menginsprasi bagi sesama, bahkan terhadap lawan jenisnya sekalipun. Meski demikian kaum ini juga tak melupakan kodratnya ketika kembali kepada keluarga.
Kehidupan wanita muslim semacam ini merupakan bentuk nikmat  yang diperuntukkan bagi Indonesia dengan perantara kaum wanita. Mereka adalah satu dari ratusan bahkan ribuan jalan untuk menuju nikmat Alloh SWT. Tinggal bagaimana masyarakat Indonesia mensyukuri nikmat yang sering tidak disadari.
Hidup memang tidak selalu indah, langit pun tidak selalu cerah, dan malam juga kadang suram karena tak berbintang. Begitulah lukisan alam, begitulah aturan Alloh SWT sebagai wujud nikmat yang harus disyukuri.
Kehadiran wanita muslim akan memberi dampak positif bagi perkembangan suatu bangsa. Ada pepatah yang mengatakan apabila dalam suatu negara terdapat wanita baik maka akan menjadi baik pula negara itu, begitu juga sebaliknya.
Saat Indonesia mendapati berjuta masalah, sejatinya itu merupakan sebagian kecil nikmat Alloh yang berwujud cobaan. Ini menjadi pelajaran bagi umat manusia untuk selalu ingat kepadaNya.
Bersyukurlah dan yakin bahwa Alloh sedang mempersiapkan bangsa ini menjadi teladan bangsa yang lain. Para wanita muslim sedang dipersiapkan menjadi sosok yang berani dan tegar untuk mencerahkan Indonesia.
Tokoh Kartini merupakan potret wanita Indonesia yang ikut andil dalam melakukan perubahan yang progresif. Ia telah memberi berbagai landasan untuk pembangunan.
Sosoknya mampu memperjuangkan kaum wanita agar mendapat hak yang sama dan sederajat dengan laki-laki. Kartini memperjuangkan pendidikan kaum wanita yang menjadi martir untuk menjunjung harkat dan martabat kaumnya.

Kamis, 15 November 2012

Mentari Musim Pagi


Aku berjalan secepat yang aku mampu
Larut dalam sajak yang mengalun tanpa berkesudahan
Di dalamnya ada satu bait kenangan yang melukiskan penyelaman kita
Disana kita seumpama ikan 
yang menemukan air jernih kian menyehatkan
Jernihnya ditubruk dengan butir-butir embun 
yang terpelanting dari dahan dan ranting
Mentari musim pagi telah menyibak kabut yang tebal 
namun ia tetap jernih, bening
Sebening rasamu pada puisi
Cukuplah didramakan dengan sebutir saja air yang menetes di pipi
Ya, hanya sebutir
Engkau tak perlu mengingat sedalam palung
Satu jeda dimana kita tak mampu melakukan perlawanan
Biarkan kita seumpama telah sampai pada tangga menuju langit
Dan tak lama lagi akan menamatkan langkah
di permukaan yang paling tinggi dalam kejayaan.

Kamis, 01 November 2012

Melanjutkan Langkah

Sejauh ini, berjalanlah engkau dengan langkah yang teduh
Jangan sekali-kali mengaduh dengan pilihan yang sudah dipilihkan
Cukup menikmati sinarNya, sama saja engkau telah menambatkan cinta padaNya
terhitung mulai dari waktu fajar sampai senja kian menyingsing
bahkan engkau juga menikmati waktu yang telah berganti malam
Setelah lelah dengan langkahmu maka berhentilah sejenak,
kemudian kumpulkan lagi sepenggal asa agar engkau mampu melanjutkan 

hingga pertemuan dengan musim berikutnya bisa terusaikan
Memang antara siang dan malam masih tetap sama,
namun jangan pernah beranjak engkau mencintai dengan segenap hati
Seperti matahari yang masih setia mencintai titah tuhannya
Seperti siang yang selalu setia mencintai mataharinya
dan seperti kelam yang menemani setiap malam.
Engkau harus tetap lapang bagai lapangnya semesta,
berpikiran bening sebening angin yang hendak menjadikannya badai
Semua akan terpatri pada langkahmu yang tak hanya sekedar ikhlas tapi ridho karenaNya.