Minggu, 18 Agustus 2013

14 Tahun Dipenjara, Yohanes Tuntut Ganti Rugi


Di Balik Hingar Bingar Perayaan HUT RI 
Yohanes, mantan tahanan politik bersama istri menunjukkan surat pembebasan sementar, Kamis (15/8)

EUFORIA Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 2013 terjadi di setiap sudut kota. Kemeriahan ini menandakan kebanggaan bangsa Indonesia di usianya yang ke-68. Ada yang sudah merasa merdeka, namun sebagian lainnya masih menyayangkan banyak hal yang tidak menyempurnakan makna kemerdekaan itu.
Seperti cerita yang disampaikan Yohanes Baptista Noor Sahid seorang saksi sejarah asal Jepara yang kini tinggal di Desa Pasirmuncang, Purwokerto. Di rumahnya ini, kepada SatelitPost, ia menceritakan detik-detik perjumpaannya dengan kemerdekaan Indonesia saat usianya masih remaja.
Pria yang akrab disapa Noor ini berkesempatan mendapat pekerjaan sebagai pegawai negeri. Noor muda waktu itu berusia 23 tahun. Saat sedang giat bekerja, hatinya tidak tenang karena bersamaan dengan  gejolak pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Para pegawai negeri seperti dirinya dicurigai menjadi anggota PKI. Setiap orang yang dicurigai atau tidak disenangi maka akan langsung ditahan oleh pasukan 1965.
Tanpa alasan yang jelas, pria yang saat ini berusia 71 tahun ini kemudian menjadi tahanan politik (Tapol) di tahanan Semarang. Perlakukan kepada para tahanan dirasa tidak manusiawi dengan banyaknya kekerasan, bahkan tak sedikit pula yang meninggal dunia.
"Waktu itu ada surat yang menerangkan bahwa saya tidak bersalah tapi tetap saja ditahan. Selama 14 tahun saya menjadi tahanan karena dituduh sebagai anggota PKI," ujarnya.
Hidup 14 tahun dalam tahanan tanpa alasan tentu membuatnya merasa tidak mendapat keadilan sebagai warga negara. Hingga akhirnya tahun 1979 ia mendapat surat pembebasan sementara. Meski bias bernafas lega menghirup udara bebas di luar tahanan namun rasa cemas masih muncul dalam benaknya.
Status pegawai negerinya hilang tanpa ada keterangan yang jelas. Tidak dicabut, dipecat, atau status lainnya yang menerangkan bahwa sebelumnya ia seorang pegawai negeri. Bahkan sampai saat ini tidak ada bekas apapun yang menerangkan hal itu. Ini pula yang disayangkan Noor bersama sang istri, Maria Magdalena Kusyati.
Ibu tiga anak yang kini berusia 68 tahun ini berharap akan ada sedikit keadilan kepada mantan tahanan yang tidak bersalah ini.
"Seharusnya pemerintah bertanggungjawab terhadap tahanan politik ini. Sudah ditahan selama 14 tahun tanpa alasan kemudian status pegawainya dicabut dan tidak ada ganti rugi," kata Maria penuh harap.
Keluarga ini hanya bisa pasrah, berharap suatu saat nanti pemerintah akan menepati janji untuk mengganti rugi terhadap tahanan tapol. Apabila dihitung secara matematis tentu ganti ruginya sudah triliunan rupiah.
Apalagi korban tapol tidak hanya satu orang saja. Di sekitar rumahnya, ada juga beberapa tapol yang masih berharap akan mendapat ganti rugi yang layak. Setidaknya diberikan kepada ahli waris atau keluarganya masing-masing. 
Ketakutannya waktu itu juga terjadi saat kepemimpinan zaman Soeharto. Dikatakan bahwa tujuh turunan bekas tahanan tidak akan menjadi pegawai negeri. Hal ini tentu tidak adil bagi Noor dan keluarga. Apalagi di tengah keramaian perayaan kemerdekaan Indonesia seperti saat ini.
"Secara yuridis Indonesia memang sudah merdeka namun secara defacto belum merdeka. Hakikat merdeka adalah adanya keadilan kepada warga negara. Saat ini banyak orang yang masih mencari penghidupan layak, tidak digusur, tidak dioyak-oyak. Karena mereka mempunyai hak untuk hidup yang layak," kata Noor dengan suara rentanya.
Menurutnya sebagai warga negara Indonesia, haknya telah dirampas sejak tahun 1966 hingga hari ini. Tidak ada kejelasan tentang statusnya yang sesuai dengan hukum yang berlaku. Padahal, kata dia Indonesia mempunyai landasan hokum yang jelas dengan mengacu pada Pancasila.
Setelah membongkar arsip dalam tas tuanya untuk mencari surat pembebasan sementara Noor yang ditunjukkan kepada SatelitPost, Maria kemudian melanjutkan cerita. Dikatakan bahwa memaknai kemerdekaan tidak hanya dengan euforia saja, namun bagaimana meneruskan cita-cita bangsa menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Peringatan 17 Agustus adalah kejadian akbar satu bangsa, seperti apapun perayaannya menurut Noor adalah hal yang baik yang terpenting adalah kebijakan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan.
Meski sudah merdeka, kata dia tanda-tanda keadilan belum nampak jelas. Malahan keadilan semakin tenggelam karena rakyat yang kaya semakin kaya, begitu juga dengan yang miskin malahan semakin miskin. Kejadian yang dialaminya pada tahun 1965 ini dimata dunia telah menjadi pelanggaran HAM terberat, karena siapa saja yang tidak disenangi akan ditahan tanpa alasan yang jelas.(fitri nurhayati)