Kamis, 22 November 2012

Bintangmu

Bintik itu tak akan cantik kalau tidak menempel di langit yang hitam
Maka jangan salahkan jika sebagian belahan bumiku tak tersentuh cahaya
Karena ini menandakan matahari sedang memberi peluang untukmu bersinar
Ia berharap kau tak kalah dengan kilau angkasa yang menjadikannya indah

Jemariku tak akan mampu menghitung seberapa banyak pesaingmu malam ini
Tapi tetap saja cahayamu masih yang paling te
rang
Akan aku tunjuk satu bintang, itulah bintangmu, dan itulah cahayamu.

Ajari aku bagaimana memandang sinarmu dari berbagai sisi
Agar aku dapat melihat tidak hanya dari permukaan bumi, 
tapi dari setiap sudut keberadaanmu
Meski harus menjelma tanpa tahu sebatas apa luas jagat semesta.
Sebelum matahari membenamkan disaat aku tak mampu.

Lelaki Pertama

Rambutnya ikal, kasar, hitam, dan kaku. Matanya tajam tetapi menenteramkan. Senyumnya menampakkan lesung pipit yang membuat setiap orang ingin mencibirnya. Sikapnya tegas, pendiriannya pun membaja. Kesetiaan tak pernah lekang bagai karang. Kejujuran menjadi modal, dan kecerdasan menjadi perisai hidupnya.
“Lelaki pertama yang aku kagumi.Demikian pujianku setiap merayunya.
Suara lelaki itu akan mengguntur bila ia berang, namun akan terdengar bagai lagu penawar rindu bila ia senang. Dalam dirinya mengalir kebijaksanaan dan ketulusan. Pada seisi gubug ini mengalir keringat sucinya. Dari dalam dada ia mengemban seribu amanah, aku, Si Mbok, dan Syarif.
Sudah dua tahun lelaki itu tak pernah lagi mengunjungi gubug kami. Gubug tua yang mengenalkan aku tentang hidup dan kehidupan. Dari dalam gubug ini aku mendengar pertengkaran Si Mbok dengan lelaki ini, hampir setiap malam. Aku selalu mengintip bersama angin malam dari lubang pagar bambu yang sudah usang. Permasalahan tentang kebutuhan keluarga yang tidak pernah tercukupi. Sebenarnya hal itu adalah permasalahan klasik dalam setiap rumah tangga.
***
Sabtu pagi, lelaki itu berpamitan akan pergi ke Jakarta untuk bekerja agar dapat mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. “Agar Si Mbok tidak ngomel lagi, katanya. Pagi itu sungguh menambah ketidakberdayaan hari kemarin.
Sebulan sekali lelaki itu pulang dengan menenteng satu kilogram apel merah kesukaanku. Bekerja di Jakarta cukup menambah pemasukan keluarga kami sehingga kehidupan kami terasa lebih harmonis dari sebelumnya. Bahkan aku tidak lagi mendengar perselisihan di sudut ruangan pada malam hari. Karena pertemuan kami untuk berkumpul memang sangat terbatas. Begitu juga dengan Si Mbok, ia terlihat sangat menikmati kebersamaan ini.
            “Kelak  kau akan menjadi orang sukses nak,” gumamnya sambil membelai rambutku dengan mesra. Belaian lelaki pertama yang aku kagumi yang jarang sekali aku rasakan. Sungguh pertemuan yang membuatku tak ingin mengakhirinya.
Namun memasuki tahun pertama bekerja di Jakarta, intensitas kepulangan lelaki itu mulai jarang. Si Mbok mulai cemas dengan kondisi ini. Betapa tidak, lelaki lain yang satu kampung dengan kami sudah pulang, bahkan sudah berangkat lagi. Kian hari lelaki itu sama sekali tak memunculkan tubuh perkasanya lagi. Kami kelimpungan harus mencari ke Jakarta. Jakarta sangat luas, tempat kerjanya pun tidak menetap.
Aku ingat, lelaki itu pernah bercerita tentang pekerjaanya menjadi penjahit borongan. Penghasilannya akan lebih banyak apabila mendapat orderan yang banyak pula. Biasanya ia menjahit pakaian seragam dari perusahaan atau instansi tertentu, jadi penghasilannya tidak menentu.
Karena kecemasan Si Mbok yang sudah tidak karuan, aku beranikan diri untuk menyusul lelaki itu ke Jakarta. Kepergianku itu, disusul kecemasan Si Mbok dan Syarif yang sangat besar. Seorang gadis yang belum pernah pergi ke kota metropolitan sendirian, memberanikan diri pergi hanya berbekal alamat yang pernah lelaki itu tinggalkan di gubug kami.
***
Inikah Kota Jakarta yang pernah ia ceritakan, kota yang kata orang sesak oleh para pendatang untuk mencari pekerjaan. Jalan Kembang Sepatu, Pasar Senin Jakarta Pusat. Di depan perusahaan konveksi berplang “Indira” aku melihat lelaki itu turun dari Mobil Avanza menggandeng wanita hamil usia paruh baya.
Kami beradu pandang kemudian aku tersenyum dan menyapanya berulang-ulang. Namun sayang, ia tidak mengenaliku lagi, gadis yang dulu pernah dibelainya. Lelaki pertama yang kukagumi, ternyata pandai mengobral janji. Bapak rela mengkhianati dan meninggalkan Si Mbok, aku, dan Syarif demi kesuksesannya dan wanita lain.
            “Maaf, Bapak. Kini aku - anakmu - tidak mengagumimu lagi.”


*Cerpen ini dimuat di Buku Kado untuk Pasutri

Terimakasih Maria

Cukup sering aku mendengar dan membaca doa. Tapi jarang sekali ada penghayatan khusus terhadapnya. Bagiku doa bukanlah sebatas komunikasi kepada tuhan, namun sebuah pengaduan yang aku sampaikan ketika tak mampu menyampaikannya kepada orang lain.
Seperti mengunjungi jasadku sendiri saat senandung doa ia dendangkan untuk Maria. Bukan karena ia adalah ayah dari anakku, tapi karena ia belahan jiwa yang baru saja tersenyum. Lima tahun kami bersama di bawah naungan pernikahan. Aku tidak pernah menyangka pertemuan di bangku kuliah membawa pada cinta sejati yang baru aku rasakan.
Tampan, itu kesan pertama. Tubuh tinggi tegap, rambut hitam ikal, wajah berseri dengan kumis manis bertengger di atas bibirnya. Aku begitu terpesona dalam kesederhanaannya. Dia menciumku setidaknya dua kali sehari. Pagi menjelang kerja dan malam hari setelah pulang. Aku pikir memang dia bukan pria romantis yang menunjukkan rasa sayangnya dengan ciuman. Kami jarang sekali bergurau diwaktu luang. Bahkan ketika makan malam dalam satu meja, tidak pernah ada perbincangan panjang. Hanya terdengar denting piring yang beradu dengan sendok dan garpu.
Suatu ketika musim kemarau mengawalinya untuk tersenyum liar, seliar angin senja melengkapi desir ombak di dermaga dekat rumah kami. Tak pernah kudapati ia tersenyum liar selama aku menyandang status sebagai Nyonya Roni. Seorang wanita mengunjungi rumah dengan gayanya yang begitu anggun. Ia mengaku rekan kerja Mas Roni, suamiku yang saat ini menjalani bisnis bersama. Candaan mereka terdengar begitu renyah di pelataran rumah. Mungkin dari wanita itulah suamiku mengenal tawa yang begitu liar.
Wanita mana yang tidak menitikkan air mata ketika sang suami tertawa liar dengan wanita lain di teras rumah. Terlebih hal itu tidak pernah dilakukan dengannya. Agar tidak menimbulkan fitnah, aku beranikan diri ikut bergabung bersama mereka, meskipun tidak diajak.
“Maria,” uluran tangannya hangat. Deretan gigi putihnya menebar pesona siapapun yang memandang.
“Laksmi,” aku menyambutnya. Teriring senyum yang berusaha memunafikkan diri dengan kecemburuan.
Ia membawa singkong melepuh untuk kami sekeluarga. Mas Roni terlihat sangat menikmati makanan itu dengan mata saling bertatap. Hatiku terasa sakit, bahkan lebih sakit ketimbang saat Mas Roni lebih memilih lembur di kantor hingga pagi, lebih sakit daripada saat Mas Roni lupa dengan hari ulangtahun pernikahan kami, dan melebihi sakit ketika operasi caesar saat aku melahirkan anaknya. Aku tidak bertanya apakah suamiku mencintai wanita itu, karena sepertinya aku sudah tahu jawabannya.
***
Kemarau menjadikan kami enggan pergi keluar rumah. Begitu juga dengan suamiku, ia lebih memilih duduk di depan komputer yang membuatku tak berani mengganggunya. Tanpa sengaja ketika ia meninggalkan komputernya di kamar, aku membaca email yang ditujukan untuk Maria.
Seketika mataku terasa panas. Ternyata suamiku tidak pernah mencintaiku. Ia tidak pernah bahagia dengan kebersamaan kami selama ini. Pantas saja senyum liar tak pernah ia alamatkan padaku. Mas Roni lebih memilih rekan kerjanya yang begitu anggun. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk tidak menangis. Kembali aku melatih diri menjadi orang munafik di depannya. Hanya pengaduan pada tuhan lewat komunikasi di atas sajadahku.
Aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. “Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari pintu manapun yang dia kehendaki tanpa dihisab. Wanita yang taat akan suaminya, ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama ia taat kepada suami dan meridhoinya.”  Begitu pelajaran yang aku dapatkan dari pengajian di mushola ba’da maghrib. 
***
Hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kami yang ke-lima. Tahun lalu Mas Roni tidak pulang ke rumah. Ia lebih memilih lembur di kantor. Tapi hari ini ia pulang lebih awal. Hatiku terang menerima senyumnya seperti malam memasang lilinnya.
“Cinta, aku ingat hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kita,” katanya dengan lembut yang seumur hidup baru aku dengar.
Peristiwa kemarin begitu saja aku lupakan ketika mendengar rayuannya. Cemburu menjadikanku dekat dengan Sang Pencipta yang membalikkan hati manusia dengan seketika. Ia mengajakku ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Kota ini. Kami mengunjungi nisan yang di atasnya bertuliskan Maria Prabandari.
“Ia mengajarkanku untuk mencintaimu sepenuh hati, Laksmi. Kau istri yang taat kepadaku meskipun aku membuatmu sakit hati,” katanya.
Ternyata suamiku mengetahui emailnya pernah aku baca tanpa sengaja. Maria meninggal akibat kecelakan di Bandung kemarin sore. Wanita itu telah mengajarkan senyum pada suamiku, mendekatkanku padaNya lewat rasa cemburu yang dibuatnya. Tapi senyumnya adalah senyum yang terakhir. Selamat jalan Maria, Innalillahiwainna ilaihi roji’un.


*Cerpen ini juga dimuat di Buku Kado Untuk Pasutri

Wanita


Fitri Nurhayati
Membaca biografi tokoh pejuang wanita tentu sangat menginspirasi kita semua. Menjadi orang yang merugi apabila tidak terketuk hatinya untuk mengagumi sosok pejuang wanita yang satu ini, RA. Kartini.
Perjuangannya sungguh gigih, alhasil nikmatnya dapat dirasakan saat ini. Di tengah perkembangan zaman yang semakin kompetitif, tak sedikit kalangan yang ingat tentang sejarah sebagai wujud perjuangan menuju sukses.
Terlebih bagi kaum wanita yang telah menikmati jerih payah Kartini hingga mereka mempunyai derajat sama dengan kaum laki-laki. Tak ada lagi sekat yang membedakan antara keduanya.
Hal kecil dapat terlihat dalam aktivitas yang dilakukan para wanita saat ini. Mereka mempunyai kebebasan untuk mengembangkan minat dan bakat selama masih dalam koridor norma yang berlaku dimasyarakat.
Terlihat dari gaya berpakaian dalam melakukan pekerjaan. Mereka tampil modis dengan segala aksesoris yang semakin mempercantik auranya. Wanita tidak lagi dipekerjakan di dalam rumah, mengurus anak, dengan mengenakan pakaian ala kadarnya.
Tak kalah dengan kaum pria yang bebas gaya dan sporty, kini busana wanita juga mempunyai sejuta model bahkan untuk busana muslim sekalipun. Wanita muslim dibebaskan untuk mengenakan jilbab saat melakukan pekerjaan di luar rumah.
Modelnya juga beragam, mulai dari pilihan warna, bahan, hingga harga yang semakin bersaing. Mereka kian terlihat modern dengan dandanan tren era terbaru.
Busana muslim (gamis) tidak hanya dikenakan di pesantren atau sekolah agama saja, namun di kantor pemerintahan atau tempat-tempat umum sekalipun mereka kenakan. Gamis dengan perpaduan jilbab segala model menjadi kebanggan para wanita.
Dengan banyak model inilah mereka bebas memilih sesuai dengan keinginan. Hal ini juga berpeluang bagi para pengusaha untuk mengembangkan bisnisnya dalam memasarkan busana muslim.
“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar Rahman: 67)
Saat ini bolehlah dikatakan bahwa jilbab dan pakaian muslim telah mentradisi menjadi budaya bangsa. Bisa mempercantik setiap penampilan wanita, menjadi ladang bisnis, memakmurkan pengusaha dan para pekerjanya.
Apabila menilik kembali gaya busana pada tahun 1980an, saat itu pakaian wanita masih sederhana dan hanya sebatas menutup badan saja. Tidak mengandung nilai estetika di dalamnya.
Hal ini disebabkan karena keterbatasan pengalaman yang dimiliki masyarakat Indonesia. Kekuasaan yang didominasi oleh bangsa asing membatasi ruang gerak para wanita. Tak hanya itu, penguasa yang mempunyai kebijakan pun membatasi gaya busana muslim beredar di masyarakat.
Pada saat itu tradisi keagamaan begitu diawasi, dicurigai, dan dikekang. Pakaian muslim dan jilbab tidak boleh dikenakan di sekolah, namun rok dan baju mini bebas dipakai di mana pun berada.
Penguasa saat itu berhasil mengisi jabatan penting sehingga dengan mudah membuat aturan yang membatasi kebebasan menjalankan hukum-hukum islam. Waktu itu tokoh pergerakan islam ditangkapi dan dibui. Para jilbaber diteror, direkayasa, diimagekan buruk dengan isu-isu miring seperti adanya kasus jilbab pencopet.
Masyarakat islam yang masih awam dibuat phobia terhadap agamanya sendiri. Kalangan yang kuat semakin berkuasa dan yang lemah semakin tertindas. Korupsi merajalela hampir di semua instansi pemerintahan. Kemaksiatan pun terus mengalami kemajuan.
Pelacuran menjadi hal biasa yang dilindungi oleh becking-becking kekuasaan. Film-film cabul diputar dibioskop seluruh penjuru tanah air. Semua itu diperbolehkan karena keberadaan mereka membawa keuntungan untuk pemasukan negara.
Muslimah berjilbab saat itu dilarang bekerja di kantor pemerintahan. Namun bersyukurlah saat ini keadaan sudah semakin membaik. Setidaknya  beberapa koruptor telah tertangkap. Tokoh agama semakin terpandang dengan penyampaian menggunakan metode dakwah yang bervariasi.
Kehidupan beragam pun sudah semakin dihormati. Semoga selanjutnya bisa menjadi tradisi dalam hidup berbangsa. Semua perubahan yang diraih Indonesia saat ini tidak terlepas dari peranan wanita di dalamnya. Mereka berperan serta dalam memperbaiki moral bangsa.
Terbukti tak sedikit kaum wanita yang masuk dalam jajaran pemerintahan, membuat kebijakan yang adil demi kelangsungan hidup dalam berbangsa dan bernegara.
Wanita mempunyai kebebasan dalam melakukan pekerjaan di luar rumah. Bahkan banyak pula dari mereka yang menjadi tulang punggung keluarga sebagai perwujudan dalam membantu kaum laki-laki.
Penampilan wanita juga semakin rapi dan sedap dipandang mata. Menjadikan mereka lebih dihormati dan bersahaja saat tampil di tengah publik. Meski dengan busana muslim yang modis para wanita tetap mempertahankan aturan syar’i.
Tak hanya penampilan, gagasan brilliant juga bermunculan untuk memberikan rekomendasi demi perubahan bangsa yang progresif. Pola pikirnya tak lagi kolot namun menginsprasi bagi sesama, bahkan terhadap lawan jenisnya sekalipun. Meski demikian kaum ini juga tak melupakan kodratnya ketika kembali kepada keluarga.
Kehidupan wanita muslim semacam ini merupakan bentuk nikmat  yang diperuntukkan bagi Indonesia dengan perantara kaum wanita. Mereka adalah satu dari ratusan bahkan ribuan jalan untuk menuju nikmat Alloh SWT. Tinggal bagaimana masyarakat Indonesia mensyukuri nikmat yang sering tidak disadari.
Hidup memang tidak selalu indah, langit pun tidak selalu cerah, dan malam juga kadang suram karena tak berbintang. Begitulah lukisan alam, begitulah aturan Alloh SWT sebagai wujud nikmat yang harus disyukuri.
Kehadiran wanita muslim akan memberi dampak positif bagi perkembangan suatu bangsa. Ada pepatah yang mengatakan apabila dalam suatu negara terdapat wanita baik maka akan menjadi baik pula negara itu, begitu juga sebaliknya.
Saat Indonesia mendapati berjuta masalah, sejatinya itu merupakan sebagian kecil nikmat Alloh yang berwujud cobaan. Ini menjadi pelajaran bagi umat manusia untuk selalu ingat kepadaNya.
Bersyukurlah dan yakin bahwa Alloh sedang mempersiapkan bangsa ini menjadi teladan bangsa yang lain. Para wanita muslim sedang dipersiapkan menjadi sosok yang berani dan tegar untuk mencerahkan Indonesia.
Tokoh Kartini merupakan potret wanita Indonesia yang ikut andil dalam melakukan perubahan yang progresif. Ia telah memberi berbagai landasan untuk pembangunan.
Sosoknya mampu memperjuangkan kaum wanita agar mendapat hak yang sama dan sederajat dengan laki-laki. Kartini memperjuangkan pendidikan kaum wanita yang menjadi martir untuk menjunjung harkat dan martabat kaumnya.

Kamis, 15 November 2012

Mentari Musim Pagi


Aku berjalan secepat yang aku mampu
Larut dalam sajak yang mengalun tanpa berkesudahan
Di dalamnya ada satu bait kenangan yang melukiskan penyelaman kita
Disana kita seumpama ikan 
yang menemukan air jernih kian menyehatkan
Jernihnya ditubruk dengan butir-butir embun 
yang terpelanting dari dahan dan ranting
Mentari musim pagi telah menyibak kabut yang tebal 
namun ia tetap jernih, bening
Sebening rasamu pada puisi
Cukuplah didramakan dengan sebutir saja air yang menetes di pipi
Ya, hanya sebutir
Engkau tak perlu mengingat sedalam palung
Satu jeda dimana kita tak mampu melakukan perlawanan
Biarkan kita seumpama telah sampai pada tangga menuju langit
Dan tak lama lagi akan menamatkan langkah
di permukaan yang paling tinggi dalam kejayaan.

Kamis, 01 November 2012

Melanjutkan Langkah

Sejauh ini, berjalanlah engkau dengan langkah yang teduh
Jangan sekali-kali mengaduh dengan pilihan yang sudah dipilihkan
Cukup menikmati sinarNya, sama saja engkau telah menambatkan cinta padaNya
terhitung mulai dari waktu fajar sampai senja kian menyingsing
bahkan engkau juga menikmati waktu yang telah berganti malam
Setelah lelah dengan langkahmu maka berhentilah sejenak,
kemudian kumpulkan lagi sepenggal asa agar engkau mampu melanjutkan 

hingga pertemuan dengan musim berikutnya bisa terusaikan
Memang antara siang dan malam masih tetap sama,
namun jangan pernah beranjak engkau mencintai dengan segenap hati
Seperti matahari yang masih setia mencintai titah tuhannya
Seperti siang yang selalu setia mencintai mataharinya
dan seperti kelam yang menemani setiap malam.
Engkau harus tetap lapang bagai lapangnya semesta,
berpikiran bening sebening angin yang hendak menjadikannya badai
Semua akan terpatri pada langkahmu yang tak hanya sekedar ikhlas tapi ridho karenaNya.

Sabtu, 27 Oktober 2012

Hari Ini Milikku

Aku tidak menunggu sore hari tiba karena sekaranglah yang aku jalani
Bukan hari kemarin yang telah berlalu dengan segala kebaikan dan keburukannya, 
bukan pula esok yang belum tentu akan datang.
Hari ini adalah milikku...
Dimana matahari menyinari dan siangnya menyapa.
Biarkan hari esok datang dengan sendirinya
Aku tak menanyakan kabar berita dan tak pula pernah menanti serangan petakanya.

"Telah pasti datang ketetapanNya, dan janganlah kamu meminta agar disegerakan datangnya" 
(QS. An Nahl 1).

Kamis, 11 Oktober 2012

Alam Mendengar

Pada jiwa kerdil membekas sinar malam pada setiap purnama yang singgah,
kala itu tak segurat pun awan hitam mampu menghalangi pendarnya.
Pada bias biru sang laut teretas segala gulana, 

cinta yang tak pernah bertepi karena kedalaman samudera mengikis hati, 
ada pula sakit yang terantuk hingga pandang tanpa batas.
Biarkan semesta memeluk dengan bingkainya yang nyata, kendati fana, 

lukisan itu akan tetap tergambar di dasar yang paling.
Biar gelombang melahap setiap gores, 
tapi ingatan kita takkan pernah tersapu badai sekalipun.
Apabila awan mempunyai kebebasan,
akulah yang akan ada di garda depan untuk meminta agar hujan turun setiap waktu, 
agar ia mampu menantang matahari, agar kau akan terus tersakiti.
Tidak akan ada ikhlas untuk saling mendoakan, 
sekalipun diizinkan tapi dunia tak akan tunduk dengan kemunafikan.
Alam pun mendengar kemudian akan mengamini, 
karena mereka menjadi saksi setiap dosa yang tersirat dan terbungkus dengan rapi.

Map of Scientific Research

Peta administrasi Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas tahun 2012

Peta jumlah penduduk Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas tahun 2012

Peta luas lahan Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas tahun 2012

Peta penyusutan lahan Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas tahun 2012

Peta pertumbuhan penduduk Kecamatan Kembaran, Kabupaten Banyumas tahun 2012

Graduation

My mother and litlle brother, Sabtu (6/10)

Dina, Hasna, Pipit, Fu'ah, Lia, Tyas, Atikah, Inggit. 

Melihat langit yang ternyata masih sama dengan hari sebelumnya

Bu dhe, pak dhe, bu lik, pak lik, dan keponakan.

Fitri Nurhayati, S.Pd

Di Museum Bank Indonesia

Di Museum Bank Indonesia

Emas Tiruan di Museum BI

Koleksi emas tiruan di Museum Bank Indonesia Jakarta, Jumat (5/10)

Kamis, 27 September 2012

Lapak Tua

Betapa romantisnya saat kita menikmati kopi hangat di lapak tua yang beratap daun tirai
Ini sangat sederhana namun mendalam maknanya
Mungkin karena ketidakmampuan kita duduk di sofa empuk yang penuh dengan rongrongan
Meski begitu malam tetap hangat dengan canda yang terlepas bebas
Ini terlalu rasional untuk kita gambarkan karena bukan sekedar situasi bersama
Ini adalah bagian dari tindakan atas na
ma rasa,
hanya sebatas akal sehat, namun tetap mengasyikkan
Antara rasa dan rasio beradu dalam kemelut rindu
Kedua unsur ini harus seimbang, saat rasio menjauh namun rasa kian mendekat
Hingga lusa kita tetap bisa menikmati malam yang berganti tempat
Kita akan memilih gubung renta berdinding bambu
Disana angin seolah mati, diam dalam ruang yang tak berdaya.

Pembuktian Cinta

Manisku....
Pembuktian tentang cintaNya tak perlu diragukan lagi
Dia menahan diri untuk tetap melindungi masing-masing dari kita
Agar semua orang melihat kita dengan sempurna
Betapa tidak, kita tetap putih walau dari serpihan aib yang beterbangan
Ia kumpulkan menjadi satu bagian yang utuh
Lantas semua itu tak diumbar dengan percuma
Karena Maha Baiknya, Ia juga menyimpan dengan rapi, 
seolah kita memang sebenar-benar putih
Manisku...
Ia tak pernah menggali setiap warna yang pernah kita torehkan
Meski sejatinya telah melemahkan syukur yang seharusnya kita panjatkan
Ia tetap menahan diri untuk tidak murka, 
untuk tetap berpegang pada Maha BaikNya, 
dan Ia menghendaki agar kita memperbaiki setiap sudut yang pernah rapuh
Seandainya murka tak tertahan, aib tak terbelenggu, dan Ia membiarkan begitu saja
Mungkin tak ada lagi kesempatan untuk episode yang selalu bersambung
Tak ada lagi nikmat karena sepenggal syukur yang selalu kita sia-siakan
Manisku...
Tapi Ia tetap baik, agar kita dapat mengulang skenario, 
setidaknya dengan tambal sulam untuk melangkah dengan bijak.

Bicara Tentangmu

Engkau bicara tentang dirimu
Pejuang yang mencari peruntungan tanpa bekal
Bukan jiwa tak mampu, tapi keberanian yang menggejolak
Menggandeng tangan kecil untuk ikut menengadah di setiap bibir jalan utama
Rela beradu dengan terik matahari meski sebenarnya kalian ingin berteduh
Langkah ini bukan salahmu, 
namun karena pengetahuan tanpa batas yang tak bisa kau rengkuh
Banyak orang berkata, bahwa ini a
dalah salah penguasa
Tak menapakimu dengan penghargaan untuk sebuah pengakuan
Engkau lebih lama mengenali hidup di setiap persimpangan
Engkau lebih paham tentang dirimu,
 namun tak sadar bahwa kau sedang menjadi objek perhatian mereka yang berdasi
Karenamu sanjungan akan mereka dapat, hanya dengan dalih menghilangkan
Pasti engkau tahu apapun tentang kehilangan yang kumaksudkan.

Rabu, 19 September 2012

Kado Untuk Pasutri

Antologi Cerpen Pertamaku bersama para kontributor ASK-ers.

Judul: Kado untuk Pasutri

Penulis: Norma Juliandi, dkk
Editor: Norma Juliandi dan Berry Juliandi
Desain Sampul: Leo Sastra Candra Winata
Penerbit: Pena Nusantara
ISBN: 978-602-18878-0-6
Cetakan: pertama
Jumlah Halaman: x + 240 halaman
Harga: Rp. 40.000 (Indonesia), 600 yen (Jepang).

Sinopsis:
"The success of marriage comes not in finding the 'right' person, but in the ability of both partners to adjust to the real person they ineveitably realize they married" (John Fischer).

Mengisahkan 46 kisah nyata inspiratif dari para kontributor ASK-ers tentang suka dan duka dalam pernikahan.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh pasangan suami istri, calon pengantin, ataupun pasangan yang telah berpisah.

Kisah-kisah dengan problematika umum dalam rumah tangga yang diangkat, sangat mewakili isi hati para pasutri di masyarakat. Tangis, tawa, haru, dan semangat mewarnai kisah-kisah perjuangan cinta mereka.

Dengan menggunakan gaya bahasa yang sangat sederhana, mudah dipahami, dan mengalir apa adanya, buku ini dapat dibaca di saat santai ataupun di sela-sela kesibukan. Dengan desain buku yang sangat unik menyerupai kado, buku ini juga sangat cocok digunakan sebagai kado pernikahan ataupun kado untuk pasangan Anda. (*)



Kamis, 13 September 2012

Belajar Jurnalistik

Belajar jurnalistik @SMP N 8 Purwokerto, Rabu (5/9)

Yudisium

Pipit Yudisium

Yudisium

Pipit  Yudisium 

Yudisium

Yudisium

Yudisium

Yudisium Geografi 2008, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Aku Telah Menciptakan Tuhan

Rasaku padamu sesederhana awan yang menaungi rintik hujan, sesahaja cintaku pada kenyamanan,  seputih rasaku pada untaian syair, tapi entahlah terlalu suram disekujur sepi. Bila suatu saat nanti jiwaku sepenuh rindu, akan kunyanyikan senandung rasa yang getir. Di bawah renungan panjang bersama merpati yang kian terhanyut dalam awan.
Yakinlah, dihening angin ada kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat, senyap akan segera berlalu. Sementara senja akan telanjang membasahi waktu.
Teman-teman mengira aku ini orang atheis. Orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Karena bagiku Tuhan adalah ciptaanku sendiri. Aku telah menciptakan Tuhan.
“Kau boleh mengatakan aku orang atheis,” ujarku dalam peraduan terhadap sang guru.
Mata tajam itu menatap penuh tanya dengan apa yang aku katakan. Anginpun mendera sekujur tubuh, mengabadikan kenangan semalam yang hampir tak berdawai. Setiap detiknya ia terdengar syahdu dalam keterasingan. Serupa kekelaman, musim semi mengabur dalam samar. Aku harus melewati masa. Mencari kebenaran untuk setiap perjalanan, meski sejatinya aku tak mampu.
Dalam hening aku teringat pesan Buddha bahwa ketika terjadi tumbukan antara aliran air sungai dan batu, maka aliran air selalu menang bukan karena kekuatan tetapi karena ketekunan. Aku mencoba memahami betul kalimat itu.
Aku tekun mencari sebuah arti tentang perjalanan yang sudah sekian lama lalui. Tentang keberadaanku, darimana asalnya, dan untuk apa keberadaanku saat ini.
Bak jernihnya air sungai yang mengalir, meski bermuara namun ia tetap bergerak dan tak ada hentinya. Sama halnya denganku, meski tak kunjung menjumpai kebenaran tapi tak henti aku tetap mencari jawabnya. Kembali lagi walau sebenarnya aku tak akan mampu.
Sekumpulan yang dinamai umat manusia ini ternyata mempunyai batasan tentang hakikat ke’aku’an, tentang hakikat ketuhanan, dan hal lain yang tak mampu dijangkau oleh logika. Maka lahirlah sebuah ilmu pengetahuan. Aku mendapatkan pembelajaran ini semasa duduk dibangku kuliah beberapa waktu lalu.
“Mengapa kau yakin telah menciptakan Tuhanmu?” guruku bertanya dengan tegas.
Aku kelimpungan untuk menjawabnya. Karena aku sendiri tak mampu sampaikan bahwa tuhan adalah ciptaanku sendiri. Ia tidak akan ada jika aku tak mengakuinya.
“Keberadaan Tuhan adalah ketika aku mengakuinya,” jawabku seraya menunduk.
Sehari-hari aku tinggal di lingkungan orang yang mayoritas mengaku beragama. Tapi entah siapa tuhan mereka. Kebanyakan yang aku temui bahwa mereka menjalankan perintah karena takut siksa, karena kewajiban, karena ingin masuk surga, karena tinggal bersama orang beragama, dan masih banyak alasan yang lain.
Tak kujumpai satu pun diantara mereka yang menganggap bahwa tuhan memang benar-benar pantas untuk disembah. Tuhanku memang pantas untuk akui keberadaannya, hingga Dia benar-benar ada pada Singgasananya itu.
Angin masih saja berbisik, mengabarkan keramaian di luar sana. Sementara aku sendiri disudut gelapku, menikmati kesenyapan yang terlalu anyir. Segalanya mendebu, wajah-wajah mereka, senyuman mereka, tangisan wanita tua, canda anak-anak jalanan, semuanya bersijingkat disekitarku. Aku benar-benar tak tahu, siapa aku si pencipta tuhan.  
Kalau tuhan mengerti keberadaanku, mungkin ia akan sampaikan bahwa ia adalah ciptaanku. Aku mengakui keberadaannya, maka ia akan ada. Kawan, tahukah kau dengan jalan pikirku?
Mencari kebenaran tentang siapa aku, benarkah aku telah menciptakan tuhan. Ingin aku sampaikan, seandaianya kau ingat tujuan penciptaan manusia.
“Manusia diciptakan untuk menyembah tuhan,” kataku dalam perbincangan singkat dengan seorang kawan beberapa waktu lalu.
Artinya bahwa kita diperintahkan untuk mengakui keberadaan tuhan. Aku membahasakan bahwa ketika aku mengakuinya maka akulah yang menganggap Dia ada. Seandainya aku enggan mengakui, maka tidak ada tuhan di dunia ini.
“Aku paham dengan maksudmu kawan,” katanya dengan nada bersahabat.
Aku merindu akan hadirnya tuhan dalam galaunya perasaan. Dalam berlalunya tahun, aku semakin merasakan jauh dari apa yang mereka kerjakan. Aku tak mampu menemukan mereka dalam realita. Realita yang sesungguhnya bahwa manusia mempunyai akal untuk berfikir. Yang aku temukan hanya apa yang mereka kerjakan tak lebih dari sebatas kewajiban tanpa tahu alasannya.


Kamis, 30 Agustus 2012

Mahasiswa Tergilas Akibat Kebijakan Kampus

Spanduk pengumuman yang berisi kebijakan baru untuk membayar uang registrasi semester ganjil tahun ajaran 2012/2013
BHASKARA- Sekumpulan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) duduk bergerombol dengan menampakkan wajah cemas.  Hal ini diakibatkan karena kekhawatiran mereka terhadap kebijakan khusus yang dikeluarkan oleh pimpinan universitas.
Kebijakan baru ini berisi tentang aturan pembayaran registrasi semester ganjil tahun ajaran 2012-2013.
Seperti yang terpampang pada spanduk disekitar bundaran UMP yang menyatakan bahwa waktu registrasi diperpanjang sampai tanggal 8 September mendatang dari yang sebelumnya hanya diagendakan sampai tanggal 31 Agustus.
Meski demikian kampus akan tetap melayani pembayaran registrasi sampai tanggal 29 September mendatang. Namum kebijakan itu dibarengi dengan penambahan biaya menjadi Rp 500 ribu. Rincian penambahan rupiah ini dimasukkan dalam biaya registrasi dari sebelumnya Rp 350 ribu tiap semester.
Kebijakan ini tentu memicu banyak pertanyaan bagi mahasiswa. Karena nominal biaya registrasi yang sebelumnya sudah dirasa memberatkan terlebih apabila nominalnya ditambah akibat keterlambatan.
Seperti yang disampaikan Bagus, Presiden Mahasiswa (Presma) 2012-2013 bahwa biaya tambahan ini akan semakin menambah beban terutama para orangtua. Para orangtua ini berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda.

Kamis, 23 Agustus 2012

Balon Raksasa Jadi Media Pemersatu Warga

Keramaian Gelora Kertiyasa Wanayasa saat penerbangan balon raksasa

BALON raksasa terbang melesat dengan leluasa menuju langit biru yang polos dan menyejukkan. Terlihat seperti lukisan indah karena pemandangan ini juga didukung dengan nuansa pegunungan nan alami. Background yang melatarinya merupakan gundukan tanah yang menjulang tinggi dikelilingi deretan pegunungan dengan pepohonan yang subur.
Gambaran alam ini pula yang mewakilkan kemakmuran tanah yang sudah termasuk dalam dataran tinggi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Tepatnya di telatah Gelora Kertiyasa, Wanayasa keindahan alam ini disaksikan oleh ratusan warga yang tak ingin melewatkan tontonan balon raksasa, Minggu (19/8).
Acara semacam ini menjadi ritual tahunan yang dilaksanakan setelah melakukan salat Idul Fitri bersama.
Meski dilakukan setiap tahun namun acara ini tidaklah menjadi kepercayaan mistik namun menjadi media untuk menjalin silaturahmi bagi warga yang jarang bersua.
Dengan sendirinya acara penerbangan balon raksasa akan memersatukan warga yang sebelumnya berpencar karena berdomisili di beberapa daerah yang berbeda. Ada yang merantau ke desa tetangga, kota tetangga, atau bahkan negara tetangga.
Lebaran Idul Fitri 1433 Hijriah menjadi momentum bersejarah yang ceritanya patut untuk dideskripsikan dengan rapi dan diarsipkan dalam setumpuk kenangan agar dapat diceritakan di kemudian hari. 
Di desa ini terdapat delapan RT dan setiap masing-masing membuat balon yang didesain dengan keunikan tersendiri. Desain ini menjadi ciri khas yang membedakan kreativitas kelompoknya dengan kelompok lain.
Seolah menjadi tontonan wajib yang sesaat menggetarkan jagat Wanayasa yang letaknya tepat kaki Gunung Rogojembangan.
Saking asyiknya memamerkan karya bersama, bahkan ada beberapa RT yang membuat dua balon untuk diterbangkan secara bergantian.                                     
Sembari menunggu api menyala sebagai tenaga untuk menerbangkan balon, para ibu terlihat asyik memersiapkan gelaran makan tumpeng bersama. Sehingga setelah balon diterbangkan, warga bisa langsung menikmati hidangan dengan lahap.
Bukan jenis makanan yang memberikan kenikmatan namun kerukunan antar warga yang menciptakan rasa kebersamaan. Tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk menjalin silaturahim, memersatukan warga, namun cukup dengan balon sederhana berbahan dasar plastik yang ditambal sulam agar berukuran raksasa dan mudah untuk diterbangkan. Dan meninggalkan sejuta kenangan di gelora bumi ini. (fitri nurhayati)
                                                          

                                                          

Kamis, 09 Agustus 2012

Wir Kanthong Diserbu Warga Saat Menari Ebeg

TLATAH Banyumas tempat dimainkannya ebeg dan cowongan masih panas dengan tingkah Wir Kanthong yang tetap kukuh memainkan tarian ebeg dan cowongan. Meski terus mendapat kecaman dari masyarakat namun tak sedikit pun ia goyah untuk meninggalkan kebudayaan ini.
Bahkan hampir setiap hari ia melakukan latihan dengan iringan gamelan dan menggunakan properti kuda lumping. Setiap gerakan yang dimainkannya memunyai makna mendalam yang tidak semua orang dapat memahaminya.
Hingga keresahan warga semakin menjadi dan dibetuklah sebuah forum yang digawangi oleh ketua RT untuk mengatasi tingkah Wir Kanthong. Hingga mereka memutuskan untuk menyerbu Wir Kanthong saat melakukan latihan.
Suatu ketika saat Wir Kanthong sedang asyik menari ebeg di pinggir sawah, saat itulah waktu yang tepat bagi warga untuk menyerbunya. Bahkan ada yang membawa kayu untuk memukul  Wir Kanthong.
Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa ebeg yang dibawakan Wir Kanthong adalah sebuah tarian yang mengundang setan. Mereka menganggap tarian ini musyrik dan harus dimusnahkan. Warga tidak mengetahui filosofi setiap gerakan yang dimainkan Wir Kanthong.
Keramaian semakin tak terkendali hingga datanglah perwakilan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Banyumas menengahi pertikaian itu.
Mas Wigrantoro Noer Sigid, Dindukcapil Kabupaten Banyumas yang ikut berperan dalam film ini. Ia memainkan peran sebagai wakil Dinas Kebudayaan yang menengahi pertikaian.
Sosoknya arif, bijaksana, dan tenang sehingga ia dapat memberi pemahaman kepada warga tentang tarian yang dibawakan Wir Kanthong.
Ia mengatakan bahwa ebeg dan cowongan bukanlah menjadi suatu kepercayaan yang membawa pada kemusyrikan. Namun tarian ini adalah bentuk kreativitas nenek moyang yang sedang mencari kepercayaan.
Mereka menggunakan berbagai media seperti properti cowongan untuk menyampaikan permintaan kepada tuhan. Namun setelah ilmu pengetahuan berkembang maka tarian ini menjadi kebudayaan daerah yang patut untuk dipertahankan. Tarian ini akan menjadi ikon daerah di kancah nasional maupun internasional.
Berbeda dengan warga yang menyerang Wir Kanthong, wakil dinas ini malah membela Wir Kanthong dan mendukungnya agar terus memertahankan budaya Banyumasan.
"Wir Kanthong ditunjuk oleh pemerintah daerah untuk mewakili Indonesia memainkan ebeg dalam festival kebudayaan internasional di Malaysia," kata Wakil Dindukcapil dalam adegan yang sudah klimaks ini.
Sejak saat itulah dalam film ini, budaya Banyumasan mulai bangkit dan warga membuka diri untuk ikut memertahankan budaya Banyumas.
Titut, yang berperan sebagai Kyai Brewok mengatakan banyak pelajaran yang dapat diambil dari setiap adegan yang dimainkan dalam film ini.
Ia berharap dengan tema yang diangkat ini dapat merangsang komunitas film Banyumas untuk bangkit kembali meramaikan festival film banyumasan.
Pembuatan film Wir Kanthong yang rencana akan berdurasi selama 20 menit ini digawangi oleh rumah produksi Makarya Polahe Cah Banyumas. Para seniman ini akan terus nguri-nguri budaya Banyumas bahkan mereka akan memutar film ini saat hari jadi Banyumas.
Mengingat pemerintah daerah juga telah memberikan support untuk terus memertahankan budaya asli daerah agar tidak punah karena kalah dengan kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia. Mereka ingin menciptakan desa budaya melalui tiga pilar yang menjadi kunci utama yaitu seniman, pemerintah daerah, dan pihak swata. (fitri nurhayati)

Senin, 06 Agustus 2012

Mengangkat Pelaku Budaya Yang Tersisihkan

Titut, Budayawan Banyumas bersama boneka cowongan koleksinya
NYONG kuwe mung ikhtiar, nguri-nguri budaya Banyumas men ora musnah. Begitu penggalan kalimat dalam adegan pembuatan film pendek yang berjudul Wir Kanthong, Minggu (5/8). Skenario dalam film ini sengaja dibuat olah Saeran Samsidi untuk mengikuti festival film indie di tingkat Jawa Tengah.
Sosok Wir Kanthong adalah masyarakat dari kalangan biasa yang menekuni seni tradisional. Ia menjadi penari ebeg dan pemain cowongan. Saking cintanya kepada kebudayaan daerah sehingga ia terus menekuni budaya ini hingga ekonominya terbilang berantakan.
"Ini realita yang terjadi di daerah sekitar kita. Bahwa pelaku budaya Banyumasan tergolong dari kalangan ekonomi bawah sehingga penghasilannya tidak seberapa. Bahkan terkadang tersisihkan di kalangan masyarakat," kata Saeran Samsidi, Minggu (5/8).
Pekerjaan Wir Kanthong menjadi penari ebeg dan pemain cowongan mendapat tekanan dari masyarakat sekitar. Terlebih dari pemuka agama yang tinggal satu kompleks dengannya. Bahkan perhatian dari pemerintah pun tidak didapatnya terbukti dengan banyaknya gunjingan yang kerap dirasakan.
Tak hanya tekanan dari masyarakat bahkan sang istri, Ratem juga tak setuju dengan pekerjaannya itu. Menjadi penari ebeg dan pemain cowongan dianggap musyrik karena menyimpan setan dalam rumahnya, hampir semua orang  mengecam pekerjaan Wir Kanthong.
Namun berbeda dengan anak sulungnya, Bedor yang malah berlaku sebaliknya. Ia sangat setuju dengan pekerjaan sang bapak untuk memertahankan budaya Banyumasan.
"Kye kan budaya men ora ilang dadi aja dicampur karo agama," kata Bedor sembari membela sang bapak.
Bedor termasuk anak yang cerdas bahkan ia juga mendapat beasiswa dari sekolah dan rajin mengaji namun pola pikirnya tetap terbuka untuk menerima kebudayaan yang dipertahankan oleh sang bapak. Pengajian yang diikuti tidak bersifat normatif yang melarang berbagai kebudayaan untuk terus dipertahankan.
Anak ini berguru seni tradisional pada Kyai Brewok. Ia diajarkan bahwa ada perbedaan antara budaya dengan agama sehingga keduanya tidak dapat dicampur-adukkan.
Kyai Brewok yang dimainkan oleh Titut, tokoh budayawan Banyumas mengatakan bahwa budaya hanya sebatas kreativitas yang mengandung filosofi tentang kehidupan. Maknanya sangat indah apabila manusia memahami secara komprehensif, bukan sebatas budaya agama yang seperti Budaya Arab.
Seperti halnya ebeg yang mengandung makna tentang perjuangan para prajurit pada zaman Kerajaan Majapahit yang mengendarai kuda. Makna lain juga disampaikannya bahwa ebeg sebagai simbol perlawanan terhadap nafsu yang sering tak dikendalikan oleh manusia. Filosofi ini digambarkan dalam tarian ebeg yang menggunakan properti kuda lumping yang terkena indang (mendem).
Titut juga menjelaskan bahwa pertunjukan cowongan juga menjadi simbol usaha manusia untuk meminta rizki kepada tuhan agarnya tanahnya tetap subur.
"Sekolang-kolang mateng ditutur udan-udan," kata Titut membacakan mantra dalam permainan cowongan.
Mantra itu mengartikan bahwa manusia sedang menunggu musim hujan agar bumi yang dipijaknya tetap tumbuh subur.
Properti dalam pertunjukan ini menggunakan bathok kelapa yang kosong kemudian ditusuk dengan jerami. Ini menggambarkan bahwa realita yang terjadi di bumi ini sudah mengalami kekeringan. Sehingga manusia memohon kepada tuhan dengan menengadahkan bathok kelapa sebagai simbolnya. (fitri nurhayati)

Sabtu, 28 Juli 2012

Kepingan Sejarah

Tak sedikit orang yang ingat tentang sejarah, 
padahal dari sanalah sukses bisa diraih seperti saat ini.
Tak banyak orang yang ingat dengan perjuangan, 
hanya beberapa saja yang masih mengenang, 
bahkan mempertahankan.
Entah darimana awalnya, 
setahun lalu kau mulai fokus menyelesaikan. 
Hingga pada hari yang membahagiakan, 
banyak tangan yang menyalami 
sambil mengucap selamat atas suksesmu.
Banyak kata dan kepingan semangat 
yang berkumpul menjadi satu. 
Aku ingat, kau pernah mengatakan 
bahwa aku termasuk bagian di dalamnya.
Namun sepertinya engkau tak pernah paham 
bahwa disanalah letak perjuanganmu, 
hingga goresan kenangan bisa diceritakan hari ini.  
Aku turut bangga waktu itu, tenang menyaksikan senyummu, 
bahkan tingkahmu yang sangat memberi inspirasi.
Kini giliran aku melukis sejarah yang sama, 
semoga akan menjadi kenangan indah di hari esok.
Akan aku rangkai satu per satu 

agar tertata rapi dan tak ada sehelai pun yang terlupa.
Tetaplah disini, untuk menjadi bagian dari sejarah yang sedang aku ukir.
Semangat juang itu tak akan pudar, malah menjadi lebih kuat. 
Karena kau dan aku.


Pipit Nurhayati
Sabtu, 28 Juli 2012

Kamis, 26 Juli 2012

Tentang Ikhlas


Engkau Yang Maha Anggun, pencipta segala kebaikan
Engkau pula yang menyelubungi kumparan ini dengan cahaya
Meski malam gelap, itu hanya sebagian dari taburan cahaya yang tak diterima
Engkau selalu bening dan menenteramkan
Seandainya ada noda, hakikatnya hanya kesucian yang tak terpelihara
Sejauh apapun memandang, semua akan nampak menyerupai kebenaran
Karena kebatilan hanyalah hak yang tak diberi ruang
Apabila malam ini adalah waktu yang Kau pilihkan 
maka izinkan kami meraih nikmatMu dengan sempurna
Sesungguhnya bahagia karena izinMu adalah suatu hal yang istimewa
Ajari kami tentang ikhlas dan bimbinglah untuk saling menjaga, 
karena ia tak mengajari apa pun kecuali cinta.

Rabu, 25 Juli 2012
Fitri Nurhayati

Kamis, 19 Juli 2012

Marhaban Ya Ramadhan

Biarkan aku menggapaimu dengan sempurna
Meski banyak yang mengawali dengan waktu berbeda, 
semoga berakhir menuju jalan yang sama.
Banyak sekali kata maaf yang tersampaikan. 
Sungguh sebenarnya bukan itu yang menjadi kebanggaan ramadhan.
Bukan aku enggan mengucapkan, 
 karena setiap jiwa pasti akan saling memaafkan 
dengan hidayah ramadhan. 
Saat ia menggapai dengan sempurna.
Tuhanku baik. 
Mungkin Ia bosan setiap bungkusan ramadhan hanya bertebaran kata maaf,
 tapi selanjutnya kembali pada dunia sebelumnya.
Kata orang muslim bulan ini suci dan setan dibelenggu, 
mungkin benar adanya. 
Sehingga di bulan berikutnya 
kita kembali pada dunia masing-masing, yang sebenarnya. 
Karena setan tak lagi dibelenggu, bulan tak lagi suci, 
dan kata maaf terlupa begitu saja.
Seandainya engkau menjadi gerbang pembuka, berbagi, saling memahami, 
agar bisa diteruskan di episode selanjutnya.
Tuhanku memang baik,
 mendesain ramadhan untuk saling memaafkan. 
Dia baik, membebaskan umatNya 
memaknai sebungkus ramadhan dengan iringan berbagai godaan.

Kamis, 19 Juli 2012

Jumat, 13 Juli 2012

Sederhana


Sangat sederhana, 
meski hanya sebatas nikmat dunia tapi untuk meraihnya tidaklah mudah
Apabila umat mampu berfikir nalar
tak mungkin diingkari bahwa setiap jiwa pasti menginginkannya
Dengan nikmat inilah akan menjadi pelengkap 
menuju senyum yang abadi, kelak dikemudian hari
Entah melalui apapun, 
adalah sebuah kemenangan dari episode perjuangan saat ini
Meski harus menerjang malam, bahkan pagi sebelum subuh berkumandang
Siangnya mereka harus bangkit 
seolah tak ada perjuangan di waktu sebelumnya
Katanya, ini sebagai wujud pelayanan kepada sesama 
karena mereka benar-benar sama
Menuntun nikmat seperti yang lain 
walau hakikatnya Sang Kholiq punya rencana yang berbeda
Mungkin akan lebih menguntungkan, 
tanpa disadari terkadang harus ditunda atau bahkan tidak sama sekali.

Kamis, 12 Juli 2012

Joglo Semalam



Tak akan kami pedulikan malam yang mencekam
Karena di bawah joglo ini semua kata telah tersampaikan
Kami nikmati gemericik air di samping kolam 
sembari melempar sisa makanan untuk para ikan
Mereka bergerumul menjadikan mata sedikit terhibur dan tawa memecah cerita
Kami berbahagia memasuki tahun kedua 
Terlebih dengan siulan burung malam yang menggoda
Kian menambah merdu desir nyanyian rindu
Mereka ada yang minta dibelai, mungkin seperti aku
Di sebelahnya juga ada kura-kura yang sedang tenang dalam rumahnya,
tapi kami tetap mengganggunya. 
Selanjutnya di pinggir kolam air jernih terlihat tenang dalam diam
Warnanya terlihat biru karena dasar kolam yang didesain demikian. 
Di tengahnya kita dapat menyeberang selagi tidak berebut dengan angin. 
Begitulah joglo dipinggir kolam,
ia mengabadikan sejuta cerita untuk dilukiskan malam tadi. 
Lebih mesra, hanya ada kami berdua. 
Terimakasih atas kesempatanMu. 


Rabu, 11 Juli 2012
Pipit Nurhayati