Kamis, 30 Agustus 2012

Mahasiswa Tergilas Akibat Kebijakan Kampus

Spanduk pengumuman yang berisi kebijakan baru untuk membayar uang registrasi semester ganjil tahun ajaran 2012/2013
BHASKARA- Sekumpulan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) duduk bergerombol dengan menampakkan wajah cemas.  Hal ini diakibatkan karena kekhawatiran mereka terhadap kebijakan khusus yang dikeluarkan oleh pimpinan universitas.
Kebijakan baru ini berisi tentang aturan pembayaran registrasi semester ganjil tahun ajaran 2012-2013.
Seperti yang terpampang pada spanduk disekitar bundaran UMP yang menyatakan bahwa waktu registrasi diperpanjang sampai tanggal 8 September mendatang dari yang sebelumnya hanya diagendakan sampai tanggal 31 Agustus.
Meski demikian kampus akan tetap melayani pembayaran registrasi sampai tanggal 29 September mendatang. Namum kebijakan itu dibarengi dengan penambahan biaya menjadi Rp 500 ribu. Rincian penambahan rupiah ini dimasukkan dalam biaya registrasi dari sebelumnya Rp 350 ribu tiap semester.
Kebijakan ini tentu memicu banyak pertanyaan bagi mahasiswa. Karena nominal biaya registrasi yang sebelumnya sudah dirasa memberatkan terlebih apabila nominalnya ditambah akibat keterlambatan.
Seperti yang disampaikan Bagus, Presiden Mahasiswa (Presma) 2012-2013 bahwa biaya tambahan ini akan semakin menambah beban terutama para orangtua. Para orangtua ini berasal dari latar belakang ekonomi yang berbeda.

Kamis, 23 Agustus 2012

Balon Raksasa Jadi Media Pemersatu Warga

Keramaian Gelora Kertiyasa Wanayasa saat penerbangan balon raksasa

BALON raksasa terbang melesat dengan leluasa menuju langit biru yang polos dan menyejukkan. Terlihat seperti lukisan indah karena pemandangan ini juga didukung dengan nuansa pegunungan nan alami. Background yang melatarinya merupakan gundukan tanah yang menjulang tinggi dikelilingi deretan pegunungan dengan pepohonan yang subur.
Gambaran alam ini pula yang mewakilkan kemakmuran tanah yang sudah termasuk dalam dataran tinggi di Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Tepatnya di telatah Gelora Kertiyasa, Wanayasa keindahan alam ini disaksikan oleh ratusan warga yang tak ingin melewatkan tontonan balon raksasa, Minggu (19/8).
Acara semacam ini menjadi ritual tahunan yang dilaksanakan setelah melakukan salat Idul Fitri bersama.
Meski dilakukan setiap tahun namun acara ini tidaklah menjadi kepercayaan mistik namun menjadi media untuk menjalin silaturahmi bagi warga yang jarang bersua.
Dengan sendirinya acara penerbangan balon raksasa akan memersatukan warga yang sebelumnya berpencar karena berdomisili di beberapa daerah yang berbeda. Ada yang merantau ke desa tetangga, kota tetangga, atau bahkan negara tetangga.
Lebaran Idul Fitri 1433 Hijriah menjadi momentum bersejarah yang ceritanya patut untuk dideskripsikan dengan rapi dan diarsipkan dalam setumpuk kenangan agar dapat diceritakan di kemudian hari. 
Di desa ini terdapat delapan RT dan setiap masing-masing membuat balon yang didesain dengan keunikan tersendiri. Desain ini menjadi ciri khas yang membedakan kreativitas kelompoknya dengan kelompok lain.
Seolah menjadi tontonan wajib yang sesaat menggetarkan jagat Wanayasa yang letaknya tepat kaki Gunung Rogojembangan.
Saking asyiknya memamerkan karya bersama, bahkan ada beberapa RT yang membuat dua balon untuk diterbangkan secara bergantian.                                     
Sembari menunggu api menyala sebagai tenaga untuk menerbangkan balon, para ibu terlihat asyik memersiapkan gelaran makan tumpeng bersama. Sehingga setelah balon diterbangkan, warga bisa langsung menikmati hidangan dengan lahap.
Bukan jenis makanan yang memberikan kenikmatan namun kerukunan antar warga yang menciptakan rasa kebersamaan. Tak perlu menghabiskan banyak biaya untuk menjalin silaturahim, memersatukan warga, namun cukup dengan balon sederhana berbahan dasar plastik yang ditambal sulam agar berukuran raksasa dan mudah untuk diterbangkan. Dan meninggalkan sejuta kenangan di gelora bumi ini. (fitri nurhayati)
                                                          

                                                          

Kamis, 09 Agustus 2012

Wir Kanthong Diserbu Warga Saat Menari Ebeg

TLATAH Banyumas tempat dimainkannya ebeg dan cowongan masih panas dengan tingkah Wir Kanthong yang tetap kukuh memainkan tarian ebeg dan cowongan. Meski terus mendapat kecaman dari masyarakat namun tak sedikit pun ia goyah untuk meninggalkan kebudayaan ini.
Bahkan hampir setiap hari ia melakukan latihan dengan iringan gamelan dan menggunakan properti kuda lumping. Setiap gerakan yang dimainkannya memunyai makna mendalam yang tidak semua orang dapat memahaminya.
Hingga keresahan warga semakin menjadi dan dibetuklah sebuah forum yang digawangi oleh ketua RT untuk mengatasi tingkah Wir Kanthong. Hingga mereka memutuskan untuk menyerbu Wir Kanthong saat melakukan latihan.
Suatu ketika saat Wir Kanthong sedang asyik menari ebeg di pinggir sawah, saat itulah waktu yang tepat bagi warga untuk menyerbunya. Bahkan ada yang membawa kayu untuk memukul  Wir Kanthong.
Kebanyakan dari mereka beranggapan bahwa ebeg yang dibawakan Wir Kanthong adalah sebuah tarian yang mengundang setan. Mereka menganggap tarian ini musyrik dan harus dimusnahkan. Warga tidak mengetahui filosofi setiap gerakan yang dimainkan Wir Kanthong.
Keramaian semakin tak terkendali hingga datanglah perwakilan dari Dinas Kebudayaan Kabupaten Banyumas menengahi pertikaian itu.
Mas Wigrantoro Noer Sigid, Dindukcapil Kabupaten Banyumas yang ikut berperan dalam film ini. Ia memainkan peran sebagai wakil Dinas Kebudayaan yang menengahi pertikaian.
Sosoknya arif, bijaksana, dan tenang sehingga ia dapat memberi pemahaman kepada warga tentang tarian yang dibawakan Wir Kanthong.
Ia mengatakan bahwa ebeg dan cowongan bukanlah menjadi suatu kepercayaan yang membawa pada kemusyrikan. Namun tarian ini adalah bentuk kreativitas nenek moyang yang sedang mencari kepercayaan.
Mereka menggunakan berbagai media seperti properti cowongan untuk menyampaikan permintaan kepada tuhan. Namun setelah ilmu pengetahuan berkembang maka tarian ini menjadi kebudayaan daerah yang patut untuk dipertahankan. Tarian ini akan menjadi ikon daerah di kancah nasional maupun internasional.
Berbeda dengan warga yang menyerang Wir Kanthong, wakil dinas ini malah membela Wir Kanthong dan mendukungnya agar terus memertahankan budaya Banyumasan.
"Wir Kanthong ditunjuk oleh pemerintah daerah untuk mewakili Indonesia memainkan ebeg dalam festival kebudayaan internasional di Malaysia," kata Wakil Dindukcapil dalam adegan yang sudah klimaks ini.
Sejak saat itulah dalam film ini, budaya Banyumasan mulai bangkit dan warga membuka diri untuk ikut memertahankan budaya Banyumas.
Titut, yang berperan sebagai Kyai Brewok mengatakan banyak pelajaran yang dapat diambil dari setiap adegan yang dimainkan dalam film ini.
Ia berharap dengan tema yang diangkat ini dapat merangsang komunitas film Banyumas untuk bangkit kembali meramaikan festival film banyumasan.
Pembuatan film Wir Kanthong yang rencana akan berdurasi selama 20 menit ini digawangi oleh rumah produksi Makarya Polahe Cah Banyumas. Para seniman ini akan terus nguri-nguri budaya Banyumas bahkan mereka akan memutar film ini saat hari jadi Banyumas.
Mengingat pemerintah daerah juga telah memberikan support untuk terus memertahankan budaya asli daerah agar tidak punah karena kalah dengan kebudayaan barat yang masuk ke Indonesia. Mereka ingin menciptakan desa budaya melalui tiga pilar yang menjadi kunci utama yaitu seniman, pemerintah daerah, dan pihak swata. (fitri nurhayati)

Senin, 06 Agustus 2012

Mengangkat Pelaku Budaya Yang Tersisihkan

Titut, Budayawan Banyumas bersama boneka cowongan koleksinya
NYONG kuwe mung ikhtiar, nguri-nguri budaya Banyumas men ora musnah. Begitu penggalan kalimat dalam adegan pembuatan film pendek yang berjudul Wir Kanthong, Minggu (5/8). Skenario dalam film ini sengaja dibuat olah Saeran Samsidi untuk mengikuti festival film indie di tingkat Jawa Tengah.
Sosok Wir Kanthong adalah masyarakat dari kalangan biasa yang menekuni seni tradisional. Ia menjadi penari ebeg dan pemain cowongan. Saking cintanya kepada kebudayaan daerah sehingga ia terus menekuni budaya ini hingga ekonominya terbilang berantakan.
"Ini realita yang terjadi di daerah sekitar kita. Bahwa pelaku budaya Banyumasan tergolong dari kalangan ekonomi bawah sehingga penghasilannya tidak seberapa. Bahkan terkadang tersisihkan di kalangan masyarakat," kata Saeran Samsidi, Minggu (5/8).
Pekerjaan Wir Kanthong menjadi penari ebeg dan pemain cowongan mendapat tekanan dari masyarakat sekitar. Terlebih dari pemuka agama yang tinggal satu kompleks dengannya. Bahkan perhatian dari pemerintah pun tidak didapatnya terbukti dengan banyaknya gunjingan yang kerap dirasakan.
Tak hanya tekanan dari masyarakat bahkan sang istri, Ratem juga tak setuju dengan pekerjaannya itu. Menjadi penari ebeg dan pemain cowongan dianggap musyrik karena menyimpan setan dalam rumahnya, hampir semua orang  mengecam pekerjaan Wir Kanthong.
Namun berbeda dengan anak sulungnya, Bedor yang malah berlaku sebaliknya. Ia sangat setuju dengan pekerjaan sang bapak untuk memertahankan budaya Banyumasan.
"Kye kan budaya men ora ilang dadi aja dicampur karo agama," kata Bedor sembari membela sang bapak.
Bedor termasuk anak yang cerdas bahkan ia juga mendapat beasiswa dari sekolah dan rajin mengaji namun pola pikirnya tetap terbuka untuk menerima kebudayaan yang dipertahankan oleh sang bapak. Pengajian yang diikuti tidak bersifat normatif yang melarang berbagai kebudayaan untuk terus dipertahankan.
Anak ini berguru seni tradisional pada Kyai Brewok. Ia diajarkan bahwa ada perbedaan antara budaya dengan agama sehingga keduanya tidak dapat dicampur-adukkan.
Kyai Brewok yang dimainkan oleh Titut, tokoh budayawan Banyumas mengatakan bahwa budaya hanya sebatas kreativitas yang mengandung filosofi tentang kehidupan. Maknanya sangat indah apabila manusia memahami secara komprehensif, bukan sebatas budaya agama yang seperti Budaya Arab.
Seperti halnya ebeg yang mengandung makna tentang perjuangan para prajurit pada zaman Kerajaan Majapahit yang mengendarai kuda. Makna lain juga disampaikannya bahwa ebeg sebagai simbol perlawanan terhadap nafsu yang sering tak dikendalikan oleh manusia. Filosofi ini digambarkan dalam tarian ebeg yang menggunakan properti kuda lumping yang terkena indang (mendem).
Titut juga menjelaskan bahwa pertunjukan cowongan juga menjadi simbol usaha manusia untuk meminta rizki kepada tuhan agarnya tanahnya tetap subur.
"Sekolang-kolang mateng ditutur udan-udan," kata Titut membacakan mantra dalam permainan cowongan.
Mantra itu mengartikan bahwa manusia sedang menunggu musim hujan agar bumi yang dipijaknya tetap tumbuh subur.
Properti dalam pertunjukan ini menggunakan bathok kelapa yang kosong kemudian ditusuk dengan jerami. Ini menggambarkan bahwa realita yang terjadi di bumi ini sudah mengalami kekeringan. Sehingga manusia memohon kepada tuhan dengan menengadahkan bathok kelapa sebagai simbolnya. (fitri nurhayati)