Malam kembali larut dalam balutan sunyi. Dewi malam masih enggan membuka gorden jendelanya. Aku pilih bantal persegi yang mulai kusut sebagai alas tidur kepalaku. Diatas kasur lantai yang lebarnya seperempat dari kamarku. Malamku larut, lelap, dan tidur. Semalam itu menjadi memori yang seharusnya tercacat dalam deretan bencana. Tragedy dimana si jago merah melahap lezat sebagian isi perut bumi. Insiden ini yang memisahkan persahabatanku dengannya.
Seketika! Jeritan orang itu terdengar, membangunkan sunyiku.
“Tetha… Tetha… bangun…!!!,” suara itu mengagetkan seraya diiringi gedoran dari jendela. Tubuhku masih terbujur dikasur lantai. Kutatap mesra lagit-langit kamar, karena aku masih enggan menelanjangi jeritan diluar rumah. Namun, perlahan kucoba mendengar sebenarnya ada apa diluar rumah. Ya, itu seperti suara Putri. Sahabat yang kamarnya bersebelahan dengan kamarku. Kami sengaja menyewa kamar milik satu orang. Karena kebetulan satu kamar kos hanya boleh diisi oleh satu orang saja. Aku dan Putri sengaja memilih kos agar dekat dengan kampus kami.
Diluar kamar masih ramai, sekarang malah terdengar suara kentongan berlarian kesana kemari. Cahaya lampu juga padam. Aku mulai panik karena terkurung sendiri dikamar.
“Kebakaran!!! Kebakaran!!!,” jeritan itu terdengar jelas ditelinga. Namun entah suara siapa itu. Perlahan aku raba lantai mendekati pintu karena aku tak lagi melihat tingginya plafon-plafon yang terpampang dikamarku. Ternyata pintu kamar terkuncidari luar. Mungkin sebelumnya sengaja dikunci oleh Putri dengan maksud untuk bercanda. Aku menoleh, terlihat dari celah jendela kepulan asap disertai cahaya merah api berkobar. Tenang…tenang… hiburku dalam hati mencoba menenangkan diri. Kini ak mulai meraba tembok menuju jendela sambil mencari sesuatu yang kuanggap berharga. Kutemukan lukisan kecil di dinding, satu-satunya lukisan berbingkai yang terpampang dikamarku. Segera aku mengambilnya dan membuka jendela dalam hiruk-pikuk kepanikan kemudian melompat keluar. Alhamdulillah… Tuhan masih menyelamatkan aku. Do’aku bersyukur dalam hati.
Tak terpikir olehku, langit yang gelap sudah diwarnai dengan kepulan si jago merah melambung yang telah menghanguskan sederet ruko dan membangkaikan segerombolan perumahan tempat aku kos. Ya Tuhan… kataku lirih. Dimana Putri sekarang? Kamar itu telah hangus, kamar dimana aku biasa bermain dengan Putri.
Lamunanku sirna dengan suara kentongan seraya tangisan para ibu mencari anak-anaka mereka. Aku berlari mencoba mencari Putri sambil menenteng lukisan kecil. Lukisan berbingkai yang dapat aku selamatkan dari kamar kos yang sekarang sudah menjadi bangkai. Berlari, terjatuh, bangkit dan berlari lagi hingga akhirnya aku sampai di pos pengungsian. Ya, kini api sudah mulai padamkarena tim pemadam kebakaran sudah menunjukkan aksinya. Dan malam kembali gelap, hanya ada remang-remang sisa api.
“Duduk disini de’ bersama ibu” kata seorang ibu yang sedang menyusui anaknya ditenmda darurat. Aku termenung, teringat ibuku dikampung. Sedang apa beliau disana? Sedang menyaksikan tragedi inikah ibu? Akankah beliau mencemaskan aku?
“De’…” kata ibu itu lagi sambil menepuk pundakku.
“Ya, terimakasi,” jawabku buyar dari lamunan, kemudian duduk didekatnya. Tak hentinya orang hilir-mudik memberikan bantuan dalam waktu semalam.
***
Pagi masih menyisakan duka semalam. Aku kembali menatap lukisan kecil berbingkai yang didalamnya terdapat gambar aku dan putrid. Lukisan yang diam tak pernah memberi jawaban dimana Putri sekarang. Lukisan yang hanya mengingatkan kebersamaanku dengan Putri sejak kecil. Dibaliknya tertanggal 01 Mei 2000 dan tertanda “Putrimalu Berbingkai”. Ya, kami menandainya Putri Malu, karena nama Putri adalah Echa Putria dan namaku Tetha Maulina. Kami menggabungkan nama itu menjadi “Putrimalu”. Memang nama itu tidak serasi untuk digabungkan, namun kami suka saja dengan nama itu.
“kepada Saudara Tetha Maulina harap segera menuju secretariat pos pengungsian,” kalimat itu terdengar dari megaphone petugas. Hatiku sedikit tersenyum karena dalam pikiranku Putri memanggilku. Sekejap aku merasa tidak sendiri karena di kota ini aku tidak mempunyai teman selain Putri. Aku bisa kembali kekampung bersamanya. Sejak kematian ayah dan ibunya, Putri hidup sendiri. Dia membiayai hidup dan pendidikannya dari hasil pensiunan ayahnya sebagai guru SD.
“De’ apa ade yang dipanggil?” kata ibu yang menyusui anaknya semalam.
“Ya, kok ibu tahu?” jawabku singkat.
“Sepertinya ibumu menjemput, de. Lihat wanita bererudung itu yang bediri disamping relawan. Dari tadi ia memanggilmu,” kata ibu itu sambil menunjuk ke secretariat pengungsian. Ibuku tidak dapat mendekatiku karena tenda darurat terlalu sempit.
Segera aku berlari meraihnya. Aku kembali dalam dekapan ibuku, dekapan lembut disetiap resahku. Semalam aku merindukan belaiannya, karena aku melohat bocah cilik yang sedang disusui dipangkuan ibunya. Mereka terlihat bahagia, bersama dalam sebuah musibah. Tak terasa aku larut dalam dekapannya. Pagi ini masih menyisakan segudang trauma semalam. Aku tak ingin berjalan mengikuti alunan duka.
“bu, ayah dimana?” tanyaku lirih masih dalam pelukannya.
“Ayah sedang mencari Putri nak, dan ibu yang mencarimu,” jawabnya lembut.
Hatiku kembali lega karena ayah berpihak padaku untuk mencari Putri. Namun, ayah kembali tanpa membawa Putri. Aku kembali hampa tanpa sahabat menemaniku.
Sebelum pulang kekampung, aku sempatkan berpamitan dengan ibu-ibu yang duduk bersamaku semalam. Ia masih memangku anaknya, masih setia meninabobokan buah hatinya. Betapa besarnya curahan kasih sayang seorang ibu. Kataku dalam hati.
“Bu, terimakasih. Sekarang saya sudah dijemput ibu saya,” kataku berpamitan.
“Ya, hati-hati de. Kamu harus tetap tegar, sahabatmu pasti akan ditemukan . pulanglah denga hati yang lapang,” katanya sedikit menasihatiku.
Aku masih tidak tega meninggalkan bekas jejak kakiku semalam, apalagi menyaksikan ibu yang memangkui anaknya itu. Tanpa terasa embun pagi masih terlalu dingin, kulepaskan jaketku dan mencoba kuselimutkan pada balita yang dipangku ibu itu. Kupikir, itung-itung berbuat baik sesama korban bencanma. Anak itu masih tertidur lelap. Mungkin matanya lelah menyaksikan hilir-mudik tangisan orang semalam tiada henti.
“Terimakasih de, semoga sahabatmu ditemukan dalam keadaan selamat,” kata ibu itu berterimakasih apdaku.
“Assalamu’alaikum,” katanya tersenyum berpamitan dan segera berlalu.
“Wa’alaikumsalam,” jawabnya hampir tidak kudengar.
Kini masih terlihat hilir-mudik relawan menyalurkan bantuan juga handai–taulan yang mencari sanak keluarga mereka. Aku masih terbayang dengan tragedi semalam. Merenung sejenak, kurasakan derita para tunawisma yang tidak tentu mereka tinggal dimana. Hidupnya nomaden mengikuti situasi dan kondisi. Juga kurasakan derita para tuna karsa yang berjalan kesana kemari mencari sesuap rizki untuk bertahan hidup. Kini kami dianggapNya sama. Kami bersama dalam tenda darurat menanti uluran tangan dari para reawan. Kurasakan derita mereka, betapa ruginya aku yang selalu mengeluh dengan rizki yang kudapatka selama ini. Meskipun pas-pasan tapi aku masih lebih baik dari mereka. Orang tuaku masih mampu menghidupi kami sekeluarga tanpa harus meminta-minta. Alhamdulillah… ucapku serambi mengelus dada.
Langkahku lirih melewati jalan setapak yang dijejli orang-orang menunggu bantuan untuk makan pagi. Aku berjalan menuju mobil rombongan yang membawa korban bencana kekampungku.
“Tetha, Alhamdulillah ibu dan ayah menemukanmu. Ibu cemas setelah menyaksikan berita di televisi semalam,” Malam itu juga ayah dan ibu bergegas menjemputku. Cerita ayah sambil emngeluspundakkuy. Namun tak sekecappun aku menggubris curhatannya. Aku langsung berbalik menoleh dan kembali ke pengungsian. Kulihat diseberang sana banyak orang berkerumun. Ramai sekali, entah ada apa disana. Aku berlari mendekatinya sambil menenteng lukisan berbingkai yang tak lepas dari tanganku sejak semalam. Kudekati dan kusaksikan ditengah-tengah mereka. Saat melihatnya, aku hanya bisa diam tak banyak kata. Tubuh Putri kusaksikan ditengah kerumunan. Tubuhnya terbujur lemas dan kulitnya mengelupas karena luka bakar akibat insiden kebakaran semalam. Putri tersenyum dan berkata bahwa ia tidak menyangka bisa melihat dan berbincang lagi denganku.
Ayah dan ibu segera membawa ke rumah sakit terdekat. Sesampai disana sudah berdesakan banyak orang menunggu pelayanan dari rumah sakit. Satu jam menunggu pelayanan sembari kami melepas tangis. Ayah, ibu, aku dan Putri masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk dipertemukan kembali. Kurebahkan tubuhku dipangkuan ibu, namun saying sekali aku tak dapat memeluk Putri sahabatku. Hanya data memandangnya dengan mata berkaca-kaca.
Kini Putri sudah mendapatkan pelayanan yang layak dari rumah sakit. Hatiku terasa tersenyum kembali meskipun suasana masih setengah bahagia. Putri memintaku nanti malam untuk mengaji didekatnya, sebagai doa untuk kesembuhannya.
Malam itu aku, ayah, dan ibu mengaji didekat Putri yang subhanalloh begitu sunyi dan begitu berat untukku tak menitikkan airmata. Kesehariannya Putri tidak luput dari yang namanya ibadah. Karena ia adalah ahli ibadah dan ahli masjid yang membuatku beruntung mengenalinya. Berbanggalah ia dan orangtuanya yang telah tiada karena begitu asihnya sosok seorang Putri.
Kulihat ibu yang duduk disampingku mengenakan kerudung putih. Mengingatkanku pada kerudung yang biasa dikenakan Putri. Wajahnya terlihat ayu dengan jilbab putih terjulur pada tubuhnya.
Dua malam kami berada di rumah sakit menunggui Putri. Keadaannya semakin lemah, namun ayat ilahi tak pernah berhenti meluncur dari bibirnya. Tiba-tiba Putri memanggil ayah dan ibuku.
”Ayah, ibu terimakasih atas pertolongannya. Untuk biaya rumahsakit, Putri minta ayah dan ibu menjual kalung yang ada dimeja itu,” katanya lirih sambil menoleh kearah meja.
“Tidak nak, ini kewajiban kami untuk menolongmu,” jawab ibuku dengan mata berkaca-kaca. Tak biasanya Putri memanggilku dengan sebutan indah itu. Namun betapa lebih bahagianya aku jika mempunyai saudara kandung seperti Putri. Dan betapa bangganya orangtuaku jika emmpunyai anak sperti Putri.
Pada saat itu ia memandangku dan mengucapkan sesuatu yang tak dapat aku dengar dengan jelas. Ternyata permintaan maaf yang ingin disampaiakannya padaku. Ayah menyuruhku utnuk mendekat.
“Insya Alloh semua kesalahan Putri aku maafkan, dan mohon Putri juga memaafkan salahku ya…” bisikku dalam keharuan.
Tidak berapa lama Putri meminta kami untuk tidak menangisinya bila ia dipanggil Sang Khaliq dan meminta kami untuk membacakan ayat-ayat Al Quran. Adzan ashar berkumandang dari masjid yang letaknya tidak jauh dari rumah sakit. Dalam baringnya Putri memintaku untuk membacakan do’a-do’a shalat seperti yang ia ajarkan padaku, dulu. Sungguh apa yang kulihat ini sesuatu yang begitu indah. Bahwa shalat adalah tiang agama yang bagaimanapun keadaan kita, harus tetap dilaksanakan. Sesudah salam, tubuhku lemas dengan mata berkaca-kaca tak kauasa lagi menahan tangis. Putri adalah sahabat emasku yang selalu menghiasi hari-hari dalam setiap duka dan bahagia. Ia selalu membimbingku dengan hari yang penuh senyum .
Ternyata shalatnya adalah shalat yang terakhir dan senyumnya adalah senyum yang terakhir. Selamat jalan sahabatkua, innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Cerpen pertama_semasa SMA dalam Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar