Jumat, 11 November 2011

Isu Politik dan Otonomi Daerah

BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
                  Sudah menjadi fakta sejarah bahwa pada masa lalu negara kita menjadi rebutan bangsa lain, sebut saja Inggris, Prortugis, belanda, dan Jepang. Dewasa ini juga menjadi ajang persaingan untuk memperoleh pengaruh, terutama ekonomi dari bangsa Amerika, jepang, dan Cina (Sumaatmadja, 2001). Tanah air kita yang emiliki luas wilayah tidak kurang dari 7.913.250 km² dengan jumlah pulausekitar 17.508 pulau adalh potensi Negara yang sangat luar biasa. Oleh karena tanah ait merupakan tempat hidup, sangat wajar bangsanya menjaga, mengelola, dan memanfaatkan isinya. Seorang warga yang dapat menjaga tanah iarnya harus mengenal dengan baik wilayah, bagaimana iklimnya, siapa tetangga negaranya, dan apa saja sumber daya alam yang dikandungnya.
Secara mendalam juga harus diketahui penduduknya. Berapa jumlah suku bangsa yang ada di Indonesiadan bagaimana corak kebudayaan masing-masingsuku bangsa itu. Dengan mengetahui kondisi tentang Negara dan bangsanyamaka diharapkan lahir saling pengertian antar warga Negara.
      Konsep tentang keragaman potensi daerah dan corak warga Negara Indonesia seperti dijelaskan diatas, tidak lahir dengan sendirinyadalam benak generasi penerus, tetapi harus diberitahu, diajarkan disekolah, ditanamkan mulai dari kanak-kanak hingga perguruan tinggi.
      Dengan melihat kondisi diatas maka diperlukan kajian mengenai geografi politik yang membahas lingkungan dnan perkembangan politik suatu Negara, terutama Indonesia.
B.     Permasalahn
            Dewasa ini terjadi ketidakstabilan politik di Indonesia, dibarengi dengan otonomi daerah yang membawa perubahan sangat kecil bagi oembangunan masyarakat.
C.     Tujuan
1.      mengetahui isu  politik dan otonomi daerah di Indonesia
2.      menganalisis pembangunan  politik dan otonomi di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lahirnya Geografi Politik
      Geografi politik adalah ilmu yang memepelajari relasi anatar kehidupan dan aktivitas politik dengan kondisi-kondisi alam dari suatu Negara.
Kehidupan berpolitik, menjaga teritorial, atau bernegara sudah melekat dalam kehidupan manusia, tetapi studi yang bersifat polotik geografi baru nampak diakhir abad ke-19. Alexander seperti dikutip oleh Abdurachmat (1982) menyatakn bahwa studi yang bersifat geografi politik sudah dimulai sejak lebih dari 2000 tahun yang lampau, dan memasuki abad ke 20 barulah diajukan sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri yang ditandai oleh terbitnya buku karangan Friedrich Ratzel yang berjudul Political Geographic.
      Dalam struktur ilmu geografi, geografi politik merupakan bagian dari geografi manusia (Human Geographic). Prinsip studi geografi politik sejak kelahirannya mengutamakan prinsip relationship, yait mempelajari hubungan antara political behavior dengan physical features. Artinya perilaku politik penduduknya ditafsirka atau dijelaskandari keterkaitannya dengan gambaran fisik lingkungannya dimana manusia itu hidup. Asumsi yang dibangun adalah bahwa perbedan dan keanekaragaman wilayah suatu Negara mempengaruhi kondisi penduduknya, atau sebaliknya kemampuan manusia suatu bengasa dapat menciptakan ruang Negara yang lebih baik dan atau lebih rusak oleh pengaruh manusia yang hidup didalamnya.

B. Pendekatan studi geografi politik
      1. Historis
       Berdasarkan asal mula dan perkembangan suatu Negara, pendekatan ini bermanfaat untuk mempelajari Negara sebagai individual case
2. Pendekatan Factual
      Digunakan untuk mempelajari kenyataan-kenyataan kehidupan politiksuatu negaradengan berbagai unsure geografisnya seperti luas, bentuk wilayah, iklim, sumber daya dan penduduk.
3. Pendekatan Fungsional
      Mempelajari tentang bagaimana suatu negara membina dirinya sendiri kedalam. Pendekatan ini mempelajarai kekuatan-kekuatan yangsifatnya nonpolitis  seperti iklim, pegunungan, penyebaran penduduk yang tidak merata pengaruh factor fisik dan manusia terhadap aktivitas politik Negara
4. Pendekatan Relationship
      Pendekatan ini lebih menekankan pada hubungan factor-faktorlingkungan dengan aspek-aspek politik

C. Ruang Lingkup Kajian Geografi Politik
            a. Environmental Relationship
menekankan pada studi perbedaan dan keanekaragaman wilayah Negara dan penduduknya dimuka bumi
b. Nasional Power
menekankan kepada masalah power atau kekuasaan Negara yang membahas secara sistematis tentang pengaruh lingkungan alam terhadap ketahanan dan kekuatan nasional
         Dalam geografi politik, pokok bahasan tentang geografi pemilihan umum adalah hal yang paling untuk dibahas. Geografi pemilihan umum merupakan kajian geografi politik yang sangat khas dan banyak manfaatnya untuk membekali sesorang dalam meraih kemenangan dalam pemilihan umum. Apalagi saat ini isu politik mengenai pemilihan umum belum lama diperbincangkan yang nantinya juga membahas tentang otonomi daerah.
         Peter Taylor dan Roland Jhonston mengungkapkan tiga pokok pikiran utama dalam studi electoral geografi yaitu: petama, Geography Of Voting, pada umumnya merupakan studi yang menerangkan pola-pola persebarab suara setelah suatu pemilihan umum dilaksanakan, dan dalam analisisnya menggunakan metode statistic atau formula statistic untuk menggambarkan atau mengilustrasikan perolehan suara. Kedua, The Geography Influences on Voting, dalam sudut pandang geografi ada empat aspek yang memepengaruhi suatu pemilihan, yaitu isu-isu yang digulirkan pada saat pemungutan suara, pemungutan suarauntuk para calon kandidat, pengaruh kampanye ketika pemilihan, dan hal yang paling mendasar adalah ”the neighborhood effect”, yaitu merupakan hubungan antara hasil pemilihan dengan tempat tinggal para calon. Ketiga, The Geography of representation, yaitu memilih anggota legislative, berdasarkan jumlah pemilihan atau distrik. Jumlah distrik dan batasnya sangat mempengaruhi kompetisi bagi para anggota legislative.

D. Isu Politik di Indonesia
            Babak baru politik Indonesia sungguh diharapkan tatkala Soeharto pergi dari puncak kekuasaannya, yang ditengarai sarat dengan praktik KKN. Gaya kepemimpinan yang sentralistik dan opresif, semakin mengkristalkan niat masyarakat untuk mereorientasi politik dalam negeri, menjadi lebih demokratis. Kendati Soeharto telah meninggalkan panggung politik, tetapi dampak kebijakannya tak mudah sirna.
Berbagai UU, peraturan, keputusan presiden, instruksi presiden yang dibuatnya, menjadi bukti bagaimana negeri ini diaturnya. Salah satu kebijakan di sektor pemerintahan yang ditatanya adalah, dikeluarkannya Undang-Undang tentang “Pemerintahan Desa” Nomor 5 Tahun 1979. Pemerintahan lokal (seperti marga di Lahat, Sumatera Selatan) dirubah menjadi desa yang lebih popular di pulau Jawa, ikut mengoyak fabrikasi sosial masyarakat yang kental kemajemukan.
Kebijakan serupa itu sah-sah saja pada pandangan Soeharto dan rezim Orde Baru, sebab tujuan tunggal di belakang konsep homogenisasi pemerintahan lokal di Indonesia adalah “menyatukan komando politik secara sentralistik”; agar celah untuk mengkhianati pemerintah pusat, seperti yang lama dialami oleh Soekarno tidak terulang kembali. Belajar dari kegagalan Soekarno, bagi Soeharto, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan dapat direalisasikan apabila ada stabilitas politik. Pada ranah inilah, Soeharto bertubi-tubi menuai caci maki dan apresiasi. Di satu sisi, para oposan cepat mencelanya, pada sisi berlawanan, para pemuja Soeharto menghargainya selaku pahlawan pembangunan.
Otonomi Daerah
Lelah dengan nuansa sentralistik, terabaikannya pembangunan dan keadilan di daerah, teristime-wa daerah-daerah yang berlimpah sumberdaya alam, tidak meratanya pembangunan hingga pelosok tanah air, maka salah satu terobosan politik berarti adalah dikeluarkannya Undang-Undang tentang “Otonomi Daerah” Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang No 25 Tahun 1999 tentang “Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”, yang kemudian diganti dengan Undang-undang No 32 Tahun 2004.
Perubahan kedua undang-undang itu menjadi indikator bagaimana political exercises di era otonomi daerah tidak seluruhnya sepadan dengan tujuan utamanya. Otonomi daerah diinterpretasi sebagai kemerdekaan bertindak, dan memberlakukan setiap kebijakan tanpa mengacu kepada Konstitusi 1945. Masa penantian panjang bagi para elite lokal, sejak dipekenalkannya kebijakan otonomi daerah, menjadi kebablasan. Para pejabat daerah menjadi pendekar politik laksana “raja-raja lokal”, di mana keterhubungan struktural dengan gubernur dan pemerintah pusat, dan acuan-acuan nasional seakan menjadi simbol-simbol peninggalan sejarah semata.
Seolah mendirikan negara di dalam negara, setiap daerah berlomba “membangun daerahnya” menurut visi, misi dan paradigma yang mereka pandang rasional, tetapi sebenarnya mereka lagi terjebak dalam irasionalitas kedaerahan berkelanjutan. Untuk mengisi pundi-pundi daerah, dikeluarkanlah peraturan daerah (Perda) yang parokialistis sifatnya, melalui pertimbangan mayoritas-minoritas, menyanjungkan putera daerah, dan melecehkan komponen masyarakat lain; yang hidup dan membangun negeri ini bersama-sama.
Indonesia, sebagai sebuah negara bangsa ( nation-sate ); dalam pemahaman Ernest Reenan (1882), mestilah memiliki satu ruh, satu kesatuan pemikiran, kemauan dan keinginan menjadi satu, kini seolah mau dilenyapkan karena noda sejarah masa silam. Akibatnya, kita dihimpit lagi oleh persoalan berlapis-lapis, dan para pemimpin daerah berdalih bahwa; Perda-perda yang dikeluarkan sudah selaras dengan aspirasi masyarakat, sekaligus menjawab kebutuhan daerah saat ini. Lahirnya UU Anti-Pornografi dan Pornoaksi; dan Peraturan-Peraturan Daerah bernuansa agama (Perda Syariah) di 22 kota /kabupaten dalam kurun waktu dua tahun ini sudah menjadi bukti, bagaimana mejamurnya paradigma bernuan- sa “ego-religius”. “ego-kedaerahan”dan “ego-etnik”.
Kalau begitu realitasnya, apakah sejatinya persoalan kekinian kita? Pertama , kebijakan otonomi daerah bukanlah kebijakan untuk memperjuangkan impian kelompok tertentu, tetapi menjunjung tinggi kebhinekaan. Kedua , dari perspektif sejarah, kebersamaan sebagai sebuah bangsa janganlah direduksi dan dikungkung menjadi jasa dan kemenangan pihak- pihak tertentu. Ketiga , memainkan “kartu” mayoritas-minoritas hanya menunjukkan kekerdilan pola pikir, yang turut memporak-porandakan kekinian Indonesia .
Pembiaran diskursus yang pragmatis, akan menumbangkan ekuilibrium sosial yang telah susah payah dirajut selama ini. Puncaknya adalah friksi sosial, bentrokan dan konflik horizontal, serta terpuruknya kehidupan bermasyarakat.
Isu Kemajemukan
Sejak dini, Mohammad Hatta, salah satu pendiri Indonesia modern berkeyakinan bahwa; penerapan syariat (Islam); dalam sebuah masyarakat majemuk akan berdampak pada masyarakat di wilayah Timur Indonesia .
Visi yang menembus jaman itu, telah membuat republik ini dapat bertahan dari berbagai rongrongan disintegrasi. Kohesi sosial akibat dari pemikiran fundamental Hatta, sementara dimarjinalisasikan oleh para elite lokal, dengan memaksakan perda-perda bernuansa agama yang sungguh alergi terhadap kemajemukan.
Ini menjadi bukti hilangnya kesadaran sejarah berbangsa, sekaligus upaya menjauhi isu kemiskinan, keterbelakangan, rendahnya kualitas SDM dan praktik KKN yang semakin menggila. Ganti memprioritaskan kebijakan pada isu-isu besar itu, para pemimpin daerah asyik berkolaborasi dengan anggota legislatif mengeluarkan perda-perda yang ‘menabrak’ Konstitusi 1945 dan undang-undang di atasnya.
Kemajemukan tidak dapat dilebur oleh sebuah ideologi sempit yang dipaksakan, dengan argumentasi apapun, apalagi sebagian elemen masyarakat menjadi risih karena pemaksaan ideologi secara sepihak.
Menyangkal kemajemukan analog dengan penghianatan terhadap realitas sosial, dan tatanan sejarah kemasyarakatan kita yang multi etnik dan multi kultural ini. Menjaga toleransi beragama, agregasi sosial, kemajemukan kultural dan etnik, menurut Anders Uhlin ( Democracy and Diffusion Transnational; Lessons Drawing Among Pro Democracy Actors , 1995), mengakibatkan para pendiri bangsa ini memilih Pancasila dari pada pada ideologi bernuansa agama.
Agar kebijakan otonomi daerah tidak menjadi bias politik, maka NKRI sebagai sebuah mosaik tunggal harus dipertahankan, dengan merobohkan sekat-sekat agama dan etnik. Misi utama kebijakan otonomi daerah adalah mendekatkan pelayanan kepada semua warga (majemuk), dan tidak menistakan eskistensi kelompok masyarakat berbeda.
Apabila proses pemarjinalisasian hak-hak politik, sipil dan agama setiap warga negara sementara dilakukan, maka diakui atau tidak, kita sesungguhnya sementara menggelembungkan pola hidup berbangsa dan bermasyarakat secara semu.
1. Polemik kasus Bibit - Chandra
Seperti yang kita ketahui bahwa polemik ini ditenggarai karena adanya pelemahan terhadap KPK dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan sepak terjang institusi ini yang mengakibatkan polemik yang berkepanjangan antara Kejaksaan ,Polri, dan KPK. Seperti yang kita ketahui bahwa masing-masing pihak bersikeras menyatakan kebenarannya. Kejaksaan dan kepolisian bersikeras menyatakan bahwa mereka punya bukti atas keterlibatan ketua KPK ini terlibat penyuapan sementara Bibit-Chandra sendiri pun bersikeras menyatakan bahwa mereka tidak menerima suap dari Anggodo CS. Yang menarik adalah team 8 bentukan dari Presiden menyatakan bahwa bukti-bukti atas keterlibatan Bibit-Chandra adalah lemah. Polemik inipun berakhir dengan “himbauan” dari Presiden kepada Kejaksaan dan Kepolisian untuk menghentikan kasus ini.
Keganjilannya : Kenapa harus dihentikan? Sepertinya hal yang ditakutkan pemerintah adalah apabila polemik ini terus digulirkan sampai ke meja hijau dan ternyata Bibit-Chandra dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan maka bisa dibayangkan ketidakpercayaan rakyat terhadap Kejaksaan dan Kepolisian akan semakin terpuruk serta isu terhadap pelemahan KPK semakin tercium tajam. Pemerintah sepertinya tahu akan endingnya kasus ini dengan melihat begitu dansyatnya pembelaan rakyat terhadap KPK.
2. Polemik Rekaman Anggodo.
Pada saat Anggodo melaporkan atas rekaman terhadap dirinya ke kepolisian yang kemudian rekaman itu diputar di Mahkamah Konstitusi yang berujung pada polemik Cicak vs Buaya.
Keganjilannya : Kenapa yang diusut Bibit -Chandranya.Kenapa bukan Anggodo sebagai orang yang jelas-jelas mencoba menyuap KPK melalui Ari Muladi? Terus Ari Muladinya kemana? Statusnya gimana?
3. Polemik Nama-nama yang diumumkan oleh LSM Bendera.
Seperti yang kita ketahui bahwa ada 10 nama yang disinyalir menerima kucuran dana dari Bail Out Bang Century yang melibatkan nama salah satu partai terbesar beserta beberapa nama dari team suksesnya ini berujung dengan dilaporkannya LSM ini ke pihak kepolisian terkait dengan pencemaran nama baik. Belakangan baru di konfirmasi dari pihak PPATK bahwa nama-nama tersebut bukanlah nama seperti yang dimaksudkan dari LSM Bendera melainkan hanya “kesamaan” semata.
Keganjilannya : Mungkinkan terjadi “kebetulan” kesamaan beberapa nama yang mengerucut terhadap satu kelompok? Contoh soal : Nama 1: Fulan yang diduga dari partai A ternyata hanya kesamaan nama. Nama 2 : Wati yang diduga dari partai A ternyata hanya kesamaan nama juga. Mungkinkah “kebetulan” terjadi kesamaan nama tersebut? Kok bisa kebetulan kesamaan nama tersebut mengerucut pada satu kelompok? Aneh bin ajaib?
4. Polemik Century gate.
Seperti yang diketahui bahwa pansus hak angket sekarang sedang meneliti atas kebijakan bail out dari pemerintah terhadap Bank Century.Pansus ini sepertinya menemukan jalan yang berliku terhadap saksi-saksi yang dipanggil diperparah lagi adanya sindrome ” lupa dan tidak tahu ” sedang menjangkit dari beberapa petinggi BI yang dipanggil.
Keganjilannya : Kenapa harus kebijakan ini yang diusut, kenapa bukan aliran dana bail out tersebut? Bukannya kasus ini berawal ditemukannya aliran dana yang tidak jelas yang menyangkut salah satu partai dan tema suksesnya oleh LSM Bendera? Kebijakan ini belakangan juga bisa diusut yang urgent adalah pengusutan aliran dana tersebut.
Mungkin banyak lagi keganjilan-keganjilan diluar penangkapan penulis akan tetapi ini adalah sekelumit dari yang penulis rasakan.Semakin banyak keganjilan dan keanehan yang terjadi ini semakin membingungkan rakyat. Kita yang tidak tahu hanya jadi objek pembodohan dari pihak-pihak tertentu
BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Geografi politik adalah ilmu yang memepelajari relasi anatar kehidupan dan aktivitas politik dengan kondisi-kondisi alam dari suatu Negara.
Ada 2 pendekatan dalam geografi politik: Pendekatan studi geografi politik
            1. Historis
2. Pendekatan Factual
Ruang Lingkup Kajian Geografi Politik:
            a. Environmental Relationship
b. Nasional Power
Isu Politik di Indonesia:
            1. Polemik kasus Bibit - Chandra
2. Polemik Rekaman Anggodo.
3. Polemik Nama-nama yang diumumkan oleh LSM Bendera.
4. Polemik Century gate.

  1. Saran
Dengan pembangunan, isu politik, dan otonimo daerah di Indonesia perlu dikaji dan dilaksankan lebih maksimal agar mendapatkan hasil yang sesuai seperti yang diharapkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar