Selasa, 27 September 2011

Pengaruh Akulturasi Budaya Terhadap Kesenian Lengger Banyumas


 Oleh Fitri Nurhayati
Seleksi Mahasiswa Berprestasi 2011

BAB I
PENDAHULUAN


1.1. Latar Belakang
Kebudayaan daerah berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral dari kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia walau beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya. Indonesia adalah Negara kepulauan yang mempunyai beragam kebudayaan dari Sabang sampai Merauke. Masing-masing pulau bahkan daerah memiliki ciri khas tersendiri yang dapat membawa nama harum bangsa Indonesia. Dengan adanya berbagai macam budaya muncul paham pluralisme sehingga bangsa Indonesia tetap bersatu dengan “Bhineka Tunggal Ika-nya”. Percampuran kebudaayan juga terjadi disini karena karakteristik bangsa yang terbuka dengan budaya asing yang masuk ke Indonesia.

Banyumas merupakan salah satu daerah yang mempunyai banyak kebudayaan asli daerah warisan nenek moyang yang patut untuk dilestarikan. Kesenian lengger
adalah salah satu kebudayaan lokal yang memiliki keunikan tersendiri, diantaranya terkandung nilai-nilai budaya, misalnya nilai estetika, nilai kepercayaan dan ketaatan terhadap ruh leluhur, nilai perjuangan, nilai kemanusiaan, dan nilai kejujuran.

Akulturasi budaya diterima baik oleh bangsa Indonesia, berpengaruh terhadap kebudayaan lokal. Kebudayaan lokal mulai tergantikan dan semakin terpinggirkan oleh kedahsyatan gelombang serbuan budaya Barat dan Asia Timur. Karena itu, dibutuhkan strategi pewarisan budaya dari generasi ke generasi demi pelestarian budaya asli daerah yang mulai terpengaruh oleh akulturasi.   Sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat Pandit (1990:17). Dengan pengertian ini maka kesenian lengger sebagai cermin pandangan masyarakat Banyumas akan sangat dirasakan dalam nilai budaya. Lengger merupakan budaya adat yang kumunal menjadi milik masyarakat banyumas secara turun temurun, meskipun budaya ini sebagai budaya klasik. Juga merupakan cerminan nilai-nilai kebudayaan yang esensial dari masyarakat di daerah yang bersangkutan.  

Seni  merupakan  salah  satu  unsur  atau  elemen  kebudayaan  dan  juga merupakan  perilaku  estetis  yang  dimiliki  oleh  setiap  manusia.  Disadari  atau tidak  bahwa  kebutuhan  manusia  terhadap  seni  akan  tampak  dalam  perilaku sehari-hari manusia tersebut. Kesenian-kesenian di Banyumas sekarang ini telah mengalami penurunan artinya kesenian ini sudah tidak diminati masyarakat seperti dulu. Hal ini dipengaruhi oleh adanya percampuran kebudayaan yang masuk ke Indonesia sehingga membawa budaya dari negara lain yang lebih diminati dan dianggap modern khususnya di kalangan remaja. Menyaksikan kondisi semacam ini, memunculkan gagasan dari penulis untuk menyusun karya tulis ini sebagai wacana untuk mengembalikan kecintaan masyarakat Banyumas kepada budaya asli daerah.
           
1.2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang dapat dirumuskan adalah bagaimana mengembalikan ikon bangsa melalui budaya daerah yang kian punah, terutama kesenian Lengger asli Banyumas yang diakibatkan oleh pengaruh gempuran akulturasi budaya.

1.3.Tujuan dan Manfaat
a. Tujuan
Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, karya tulis ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui pengaruh akulturasi budaya yang masuk ke Indonesia terhadap kesenian lengger asli Banyumas. Sehingga masyarakat dapat mempertahankan ikon daerah melalui kesenian lokal yang dimiliki oleh masyarakat banyumas.
b.  Manfaat 
1. Bagi Masyarakat
Memberikan wacana kepada mayarakat akan pentingnya kesenian daerah sebagai karakter bangsa yang mempunyai beragam kebudayaan. Dengan ini masyarakat mengetahui kondisi daerahnya yang mengalami akulturasi, sehingga ciri khas yang dimiliki sudah mulai memudar.  Kebudayaan asli daerah sebagai warisan luhur dari nenek moyang yang patut untuk dibangggakan.
2.  Bagi Akademik
Karya tulis ini dapat dimanfaatkan untuk menambah perbendaharaan wacana pada perpustakaan daerah sehingga dapat menjadi pedoman untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang sosial budaya.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Akulturasi Budaya
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. Kebudayaan adalah sesuatu yang dinamis. Setiap saat bisa berubah, tentu saja ada penyaringan, sehingga perubahan itu tidak menghilangkan identitas sekaligus tidak bertentangan dengan kebudayaan asli daerah. Apabila berlawanan maka terjadilah penolakkan kebudayaan asing tersebut. (Wikipedia Ensiklopedia Bebas)

Akulturasi merupakan perpaduan dua budaya dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dapat hidup berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. (Wikipedia Ensiklopedia Bebas)

Perubahan sosial budaya dapat terjadi bila sebuah kebudayaan melakukan kontak dengan kebudayaan asing. Perubahan sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. (Akhwat: 2010)
Berbicara  tentang  seni  sama  halnya  berbicara  tentang  sisi  kehidupan manusia,  sebab  rasa  seni  dan  selera  estetis  merupakan  bagian  yang  tidak terpisahkan   dalam   kehidupan.   Kebutuha manusia   terhadap   nilai   seni menghasilkan  bentuk  seni  yang  berbeda-beda.  Perbedaan  bentuk  seni  sangat dipengaruhi   oleh   nilai-nilai   sosial  budaya   yang   berlaku   pada   komunitas masing-masing  (Sunaryadi, 2000).  Seni  pada  hakikatnya  merupakan upaya dari manusia untuk mengintepretasikan kembali pengalaman hidupnya (Jazuli,1994).  Sebuah  karya  seni  diciptakan  manusia  sebagai  bentuk ekspresi  budaya  dan  merupakan  ungkapan  sosialnya,  sehingga  karya  seni diciptakan oleh manusia tidak hanya untuk kepentingan dirinya sendiri tetapi juga untuk kebutuhan orang lain ( Wadiyo, 2006). Kesenian  tradisional  kerakyatan  sebagai  suatu  karya  seni  yang  sarat akan nilai-nilai budaya yang ada dalam kehidupan masyarakat, memiliki corak dan ragam serta ciri khas yang menjadi identitas daerah dan menunjukan sifat-sifat  etnik  yang  perlu  dikembangkan  untuk  kemajuan  seni  budaya  daerah tersebut.  Kesenian  tradisional  kerakyatan  tidak  pernah  lepas  dari  kehidupan masyarakat pendukungnya, bahkan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh perkembangan dan perubahan kehidupan masyarakat yang mendukungnya.

2.2 Sejarah Lengger Banyumas
Pada prinsipnya kebudayaan Banyumas merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan Jawa, namun dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan keraton. Dengan demikian latar belakang kehidupan dan pandangan masyarakat Banyumas sangat dijiwai oleh semangat kerakyatan yang mengakibatkan pada berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya Jawa (kearaton). Jiwa dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada penampilan (perilaku) yang jika dilihat dari kacamata budaya keraton terkesan kasar dan rendah. Kebudayaan Banyumas berlangsung dalam pola kesederhanaan, yang dilandasi semangat kerakyatan, cablaka (transparancy) explosure (terbuka) dan dibangun dari kehidupan masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan demikian karena disebabkan wilayah Banyumas merupakan wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajan besar (Yogyakarta, Surakarta). Hal demikian mengakibatkan perkembangan kebudayaannya secara umum berlangsung lebih lambat dibanding dengan kebudayaan negarigung keraton (Saptono: 2010).

Seni dan Budaya khas Banyumasan tumbuh dan berkembang seusia dengan peradaban Jawa Kuno. Budaya Banyumasan diperkaya dengan masuknya gaya budaya Mataram (Yogya-Solo) dan kini mulai disisipi pernik-pernik kontemporer. Dari budaya ini lahir bentuk-bentuk kesenian tradisional yang juga berkarakter Banyumasan seperti ebeg, lengger-calung, angguk, wayang kulit gagrak Banyumasan, gendhing Banyumasan, begalan dan lain-lain. Kesenian tradisional lengger-calung tumbuh dan berkembang di wilayah ini. Sesuai namanya, tarian lengger-calung terdiri dari lengger (penari) dan calung (gamelan bambu), gerakan tariannya sangat dinamis dan lincah mengikuti irama calung. Diantara gerakan khas tarian lengger antara lain gerakan geyol, gedheg dan lempar sampur.

Kesenian tradisional lengger, bagi masyarakat Banyumas dan sekitarnya, tentu sudah sangat lekat. Lengger merupakan perpaduan seni tari tradisional antara tayub dan ronggeng. Bedanya, ronggeng atau tayub dimainkan penari perempuan, sedangkan lengger dimainkan penari pria tulen yang sengaja berperan sebagai sosok perempuan. Lengger sendiri berasal dari kata leng dan jengger. Artinya, diarani leng jebule jengger atau dikira perempuan ternyata laki-laki. Pelakunya, akrab disebut lengger lanang. Semua ini bukan sekadar mitos karena perihal lengger lanang juga tertoreh dalam Serat Centhini (Pudyo Saptono: 2010).

Suharto (1991:172) menyatakan tayuban adalah penari wanita yang disebut tledhek, ronggeng, atau tandhak yang berkedudukan sebagai wanita berstatus rendah yang dikaitkan dengan kehidupan prostitusi, tetapi dilain pihak kehadiran mereka dibutuhkan dalam kegiatan upacara bersih desa, guna menangkal malapetaka atau sebagai sarana penyembuh sakit anak-anak. Masyarakat Banyumas mengatakan lengger identik dengan ronggeng.




2.2. Karakteristik Penari Lengger
Penari lengger adalah pria yang berdandan seperti wanita, kini penarinya umumnya wanita cantik sedangkan penari prianya hanyalah sebagai badut pelengkap yang berfungsi untuk memeriahkan suasana. Badut biasanya hadir pada pertengahan pertunjukan. Jumlah penari lengger antara dua sampai empat orang. Mereka harus berdandan sedemikian rupa sehingga kelihatan sangat menarik, rambut kepala disanggul, leher sampai dada bagian atas biasanya terbuka, sampur atau selendang biasanya dikalungkan dibahu, mengenakan kain/jarit dan stagen. Lengger menari mengikuti irama khas Banyumasan yang lincah dan dinamis dengan didominasi oleh gerakan pinggul sehingga terlihat sangat menggemaskan. (M. Burhanudin: 2009)

Gambar 1.1. Pementasan Lengger Banyumasan
 
2.3. Piranti Pementasan Lengger
Piranti yang digunakan dalam pementasan Lengger, antara lain Calung (sejenis alat musik pukul yang berjajar dan mempunyai nada bunyi tersendiri dalam setiap lajurnya), bongkel (sejenis angklung dengan tiga balok bamboo sebagai instrument penghasil suara ini masuk pada alat musik bongkel bukan calung), Angklung, Gong tiup , Gamelan bamboo, dan Kendang. Peralatan gamelan calung terdiri dari gambang barung, gambang penerus, dhendhem, kenong dan gong yang semuanya terbuat dari bambu wulung (hitam), sedangkan kendang atau gendang sama seperti gendang biasa. Dalam penyajiannya calung diiringi vokalis yang lebih dikenal sebagai sinden. Satu grup calung minimal memerlukan tujuh orang anggota terdiri dari penabuh gamelan dan penari/lengger. Tidak hanya itu, untuk mengakomodasi permintaan penonton, penabuh juga memiliki drum dan organt untuk mengiringi pesindennya yang serigkali diminta untuk menyanyikan lagu dangdut ataupun campursari. Sang penabuh dituntut untuk bisa memainkan musik apa saja, meskipun ia mengaku lebih senang memainkan langgam Banyumasan yang menjadi pakem tembangnya. (M. Burhanudin: 2009)
Gambar 2.2. Pementasan Tarian Lengger
Kesenian lengger Banyumasan ditampilkan dengan struktur yang kurang jelas, sehingga penonton akan terfokus pada gerak tarian saja. Padahal untuk menemukan makna utuh tarian lengger perlu ada kejelasan unsur-unsur lengger (drama tradisional) yang mengandung seni drama dan tari dengan disertai dialog. Unsur-unsur lengger yang dimaksud disini adalah struktur yang berupa lakon, laku (action), pemain, dialog, plot, karakterisasi, tempat, dan penonton (Brahim, 1968).

2.4. Perkembangan Kesenian Lengger
Kesenian lengger menjadi sebuah arena yang sakral sekaligus familiar. Sekitar tahun 1960-an, tidak banyak orang desa yang mengundang lengger untuk pentas karena tingkat ekonomi masyarakat pedesaan yang tidak mampu untuk membayar kelompok lengger.

Kelompok lengger mengadakan pentas di desa setelah petani desa memanen padi. Secara spontan penari lengger menggelar tikar di tanah lapang kemudian menari diiringi penabuh calung dan kendang. Pertunjukan dimulai sore hari dan berakhir saat malam telah larut. Di awali dari penabuh kendang sebagai pertanda datangnya musim panen kemudian disambut dengan pemain calung. Berfungsi untuk mengumpulkan masyarakat desa dan kemudian dilanjutkan dengan penari lengger. Barulah prosesi lenggeran berlangsung. Penduduk sekitar arena memasang obor sebagai penerang. Ditengah pertunjukan, salah seorang anggota kelompok lengger mengedarkan kotak untuk mengumpulkan uang dari penonton yang menikmati pertunjukan malam itu. Pada titik tertentu ronggeng dapat memainkan perannya sebagai pengemban tugas suci membawakan tari untuk menghormati dewi kesuburan. Ciu dan seks baru mewarnai pementasan lengger ketika ia dipentaskan dalam acara yang digelar oleh kalangan priyayi ataupun pejabat pemerintahan.
Kajian ini menemukan bahwa pada dasarnya pembangunan kebudayaan tahun 2005 – 2009 telah berada pada arah yang benar dengan berbagai kemajuan, meskipun masih d itemukan beberapa permasalahan dan sasaran yang belum tercapai. Sementara berdasarkan hasil analisa situasi, ditemukan adanya beberapa peluang dan kekuatan di bidang kebudayaan. Peluang pembangunan lebih banyak berasal dari eksternal seperti pengaruh positif globalisasi serta kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Sementara kekuatan pembangunan kebudayaan lebih banyak berasal dari faktor internal seperti menguatnya good goverment dan good governance dalam sistem birokrasi Indonesia, meningkatnya apresiasi masyarakat terhadap kebudayaan, dan kekayaan sumber daya budaya Indonesia yang unik dan beraneka ragam. Selain itu, hasil analisa situasi juga masih menemukan adanya tantangan dan kelemahan di bidang kebudayaan. Tantangan pembangunan kebudayaan beras al dari faktor eksternal seperti pengaruh negatif budaya global yang mengikis nilai -nilai luhur budaya bangsa. Sementara kelemahan pembangunan kebudayaan berasal dari faktor internal seperti pengaruh negatif kebijakan otonomi daerah, masih maraknya praktik korupsi, dan rendahnya SDM kebudayaan.


BAB III
METODOLOGI PENULISAN


Penyusunan karya tulis ini menggunakan penelitian pustaka atau studi literatur. Penelitian pustaka adalah penelitian dengan menggunakan literatur atau telaah kepustakaan dan mencari sumber-sumber informasi (referensi, internet, dan data dari Lembaga Penelitian, Universitas Terbuka Purwokerto) dan konsep-konsep masalah, sehingga penulis dapat menggambarkan dengan jelas mengenai perkembangan kebudayaan di Banyumas khususnya dan Indonesia pada umumnya, kemudian dianalisis untuk mencari jalan keluarnya.  

3.1. Studi literatur
Penulis membutuhkan data untuk memperkuat karya tulis ini. Data merupakan faktor yang sangat penting dalam penelitian. Maksud dari pengumpulan data adalah untuk memperoleh bahan-bahan yang relevan, akurat, dan reliabel. Untuk memperoleh data yang dimaksud itu digunakan teknik-teknik, prosedur-prosedur, alat-alat serta kegiatan yang dapat diandalkan (Hadi, 1990).

3.2. Jenis dan sumber data
Jenis data yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini berupa data sekunder. Yaitu jenis data yang didapat dengan cara penelitian secara tidak langsung, yaitu melalui studi kepustakaan, peninjauan teori-teori dari buku atau literatur-literatur yang berhubungan dengan objek yang diteliti. Antara lain buku tentang sistem kebudayaan, kebudayaan banyumasan, dan perkembangan budaya di Indonesia. Sumber data dalam karya tulis ini berasal dari hasil penelitian Lembaga Pusat Studi Indonesia, Universitas Terbuka Purwokerto Prayitno, Suyoto, & Sukarti, M.S. 2009.



3.3. Analisis data
Sesuai dengan tujuan karya tulis ini, maka teknik analisis yang digunakan adalah dengan membuat prosentase dari data kemudian mendeskripsikannya. Teknik analisis ini digunakan untuk mengetahui kondisi kebudayaan Banyumas dari tahun ke tahun. Sehingga diketahui apakah kesenian banyumas mengalami penurunan atau mengalami peningkatan seiring dengan adanya modernisasi dan akulturasi budaya.

Berikut adalah bagan alir (flowchart) yang menggambarkan keseluruhan proses penyusun karya ilmiah.

Gambar 3.1 Bagan alir penelitian Pengaruh Akulturasi Budaya Terhadap Kesenian Lengger Banyumas


BAB IV
ANALISIS DAN SINTESIS


Mencairnya batas-batas mengelola keberagaman dipilih sebagai tema utama yang melandasi pemikiran bahwa bangsa Indonesia yang multikultur harus menjadi keinsafan bersama dalam proses merawat republik. Sebuah frasa yang dianggap dapat menjelaskan fenomena kebangsaan Indonesia yang majemuk dan tentunya kebudayaan sebagai poros terjadinya akulturasi itu.

Kebudayaan daerah bisa dipahami sebagai tidak terbatasnya kemungkinan ekspresi kesenian. kebudayaan bisa menjadi tidak berhingga disatu sisi, tetapi juga membuka kemungkinan kolaborasi satu kesenian dengan kesenian lainnya. Kondisi ini juga menyaratkan daya citpa yang terus menerus hidup dan terjamin kehidupannya. Sebuah kota yang multikultur seperti Banyumas, sudah selayaknya menyediakan sarana untuk pertumbuhan daya cipta tanpa ada campur tangan dari budaya lain. Begitu juga dengan kesenian lengger budaya lokal Banyumas terhadap akulturasi. Artinya percampuran kesenian modern sudah mendominasi kesenian lokal. 

Akulturasi budaya ini menimbulkan kesan terhadap budaya luar yang masuk ke daerah ini. Dibuktikan dengan data dari Lembaga Penelitian, Universitas terbuka Purwokerto sebagai berikut:

Tabel 4.1. Kesan masyarakat terhadap kesenian lengger Banyumasan
No.
Keterangan
Jumlah Responden
prosentase
1.
Kurang menarik
23
76,67 %
2.
Menarik
7
22,33 %
3.
Sangat menarik
0
0,00  %
Jumlah
30
100 %
Sumber: Prayitno, Suyoto, & Sukarti, M.S. 2009

Berdasarkan tabel 4.1 membuktikan bahwa dari 30 responden, 23 responden (76,67 %) berpendapat dengan adanya kebudayaan modern yang masuk ke Indonesia maka kesenian lengger menjadi kurang menarik, 7 responden berpendapat menarik, dan tidak ada responden yang berpendapat sangat menarik.
Dari jawaban responden dapat dianalisis bahwa kesenian daerah tidak memiliki kesan baik bagi masyarakat Banyumas, hal ini dikarenakan masuknya kebudayaan modern yang menggeser posisi budaya lokal dihati masyarakat. Semakin heterogen budaya modern yang ada di Banyumas, maka semakin tergeser kesenian lengger. 

Akulturasi budaya berpengaruh terhadap pemahaman masyarakat pada nilai budaya kesenian lengger. Kesenian lokal tidak familiar bagi kalangan umum, sehingga untuk memahaminya juga tidak mudah. Dapat terlihat dari data berikut:

Tabel 4.2. Pendapat responden mengenai suka dan tidaknya penonton dengan pemahaman yang berkaitan dengan nilai budaya kesenian lengger
No.
Keterangan
Jumlah Responden
prosentase
1.
Benar
18
60.00 %
2.
Kurang benar
7
23,33 %
3.
Tidak benar
5
16,67  %
Jumlah
30
100 %
Sumber: Prayitno, Suyoto, & Sukarti, M.S. 2009

Tabel 4.2 diatas menjelaskan suka dan tidaknya penonton tergantung dari salah satu pemahaman dan penikmatan kesenian lengger yang berkaitan dengan nilai kebudayaan. Dari 30 responden, 18 responden (60,00 %) menyatakan benar, 7 responden (23,33) menyatakan kurang benar, dan 5 responden (16,67) menyatakan tidak benar.

Responden secara mayoritas menyatakan benar terhadap suka dan tidaknya penonton itu tergantung dari salah satu pemahaman dan penikmatan kesenian lengger yang berkaitan dengan nilai budaya.

Kesenian lokal ini telah dimatikan seiring dengan berkembangnya wacana anti komunisme tahun 1965. Dimana stigmatisasi terhadap lengger sebagai bagian dari PKI telah mengubah relasi yang sebelumnya terjalin antara lengger dan masyarakat Banyumas. Lengger coba dihilangkan sebagai ikon Banyumas. Hal ini tentu saja memaksa banyak kelompok Lengger untuk menutup kisah mereka sebagai seniman lengger seiring dengan sepinya pementasan, bahkan di desa sekalipun. Tidak ada lagi ritual penghormatan setelah panen (Mochtar Sobirin, 2006).

Lengger “hidup kembali” saat Golkar berkampanye di awal 1970-an. Kesenian ini  dihidupkan sebagai bagian dari mesin penarik massa dalam kampanye Pemilu. Tetapi perubahan terjadi pada kesenian asli Banyumas ini pada tahun-tahun belakangan  ini. Banyak tradisi yang hilang dari pementasan Lengger. Perubahan yang terjadi antara lain tentang isi wangsalan (syair) yang dilantunkan oleh Ronggeng (penari Lengger) yang dulunya bercerita tentang petuah-petuah filosofis Jawa telah berubah menjadi slogan-slogan kampanye ala Golkar. Tak ada lagi acara tayub ditengah pementasan, tak ada lagi ciu dan semua pernak-pernik “kemaksiatan” di sekitarnya. Begitu pula kostum kelompok Lengger yang telah didominasi oleh warna kuning. Mulai tahun 1970-an Lengger telah dikooptasi oleh struktur politik Orde Baru melalui Golkar. Lengger telah menjadi zombie. Bahkan istilah Lengger coba diganti dengan istilah baru yang khas Jawa Mataraman, yaitu Gambyong Banyumasan (Mochtar Sobirin, 2006).

Perubahan juga terjadi pada para klien yang mengencani Ronggeng di luar pementasan. Sejak awal 1970-an, klien Ronggeng kebanyakan adalah para aparat militer, baik dari kepolisian, ABRI, maupun polisi hutan. Terbukti dengan banyaknya mantan ronggeng yang kemudian kawin dengan anggota militer. Menurutnya hal ini cukup logis mengingat stigmatisasi tentang Lengger sebagai kesenian PKI cukup berpengaruh dalam interaksi sosial antara kelompok Lengger dengan pejabat pemerintahan sehingga mereka mencari pengayoman (Mochtar Sobirin, 2006).

Hingga tahun 1970-an dan sampai 1980-an, hampir setiap desa di Banyumas memiliki kelompok seni, khususnya kenthongan dan lengger. Mereka secara berkala tampil dalam berbagai kesempatan, seperti perayaan pernikahan, hari besar, hingga merti desa. Seni seperti ebeg, kenthongan, cowongan, dan lengger, bagi wong Banyumas kala itu bukan sekadar pentas hiburan, melainkan sebuah tradisi yang menyatukan mereka dengan jati diri mereka sebagai orang Banyumas. Maka tidak heran di masa jayanya mementaskan kesenian tradisional seakan menjadi kebutuhan warga Banyumas di sela menggelar hajatan, seperti pernikahan, sunatan, atau panen (Mochtar Sobirin, 2006).

Tidak adanya regenerasi antar generasi Lengger dan perubahan pola pikir masayarakat telah mengakibatkan kesenian Lengger kehilangan daya tariknya sebagai sebuah pilihan berkesenian. Perubahan nilai-nilai sosial yang tidak lagi permisif terhadap Lengger diluar pentas juga telah mengakibatkan Lengger di Banyumas kehilangan penerusnya. Perubahan nilai dalam masyarakat ini diakibatkan berkembangnya institusi pendidikan di wilayah Banyumas. Para seniman Lengger sendiri mencoba menghapus memori tentang keikutsertaan mereka dalam kelompok Lengger karena stigmatisasi Lengger sebagai kesenian PKI. Dahulu dihampir setiap acara, memunculkan Lengger sebagai daya tarik bagi masyarakat. Namun sekarang Lengger tidak memiliki prectise yang tinggi lagi di hati masyarakat. Hal inilah yang perlu disoroti demi pelestarian budaya lokal.

Dari hasil analisis data dan analisis wacana diatas dapat diketahui bahwa kesenian lokal telah mengalami pergeseran posisi dihati masyarakat. Hal ini diakibatkan karena adanya akulturasi budaya modern yang lebih diminati oleh masyarak Banyumas.

(M. Burhanudin, 2009) menyatakan bahwa perhatian Pemerintah Kabupaten Banyumas terhadap pengembangan seni lokal ini masih belum maksimal. Pada tahun 2008, anggaran rutin Rp 150 juta untuk pengembangan kegiatan seni tidak dikucurkan karena pemkab lebih berkonsentrasi membangun proyek fisik semacam Alun-alun Banyumas. Dinas Pendidikan Banyumas pun belum memasukkan kesenian tradisional sebagai sebuah menu ekstrakurikuler apalagi salah satu bidang ajar. Tidak pelak, upaya memperkenalkan seni budaya lokal ke generasi muda pun makin sulit. Kondisi ini mulai terjadi sejak pembangunan besar-besaran pada masa Orde Baru yang lebih mengutamakan pembangunan fisik daripada budaya.

Selain itu adanya urbanisasi ke Banyumas juga berpengaruh terhadap eksistensi budaya lokal. Para pendatang membawa budaya luar yang kemudian mempengaruhi budaya lokal. Maraknya budaya nongkrong di kafe untuk masyarakat Purwokerto dalam beberapa tahun terakhir adalah salah satu contohnya. Ada upaya resistensi dari kelompok-kelompok yang ingin mempertahankan budaya lokal dari kepungan budaya kota semacam ini.

Derasnya pengaruh modernisme ini mulai mengikis eksistensi budaya-budaya lokal tersebut. Pentas lengger, ebeg, dan kenthongan kini mulai jarang terlihat. Kelompok-kelompok seni tradisional pun mulai terpinggirkan. Sebaliknya sajian budaya modern seperti konser musik pop, rock, dangdut, pentas disc jockey, hingga sajian sexy dancer dapat dinikmati hampir setiap minggu di kota ini. Kondisi tersebut seiring maraknya tempat hiburan modern, seperti kafe, diskotik, pub, hingga rumah karaoke.

Sebagai solusi demi pelestarian budaya lokal agar memiliki generasi penerus, maka pemerintah hendaknya menetapkan sistem pembelajaran yang didalamnya terkandung nilai-nilai kebudayaan asli daerah. Regenerasi demikian akan lebih efektif bila dipraktikkan langsung dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga masyarakat tidak semakin melupakan warisan luhur nenek moyang sebagai aset budaya bangsa.






BAB V
PENUTUP


A.       Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan mengenai kebudayaan banyumasan, maka diperoleh kesimpulan bahwa adanya akulturasi budaya berpengaruh terhadap kesenian Banyumas terutama seni Lengger yang dulu diminati masyarakat, sekarang ini mengalami pergeseran karena tergantikan oleh budaya modern yang masuk ke Indonesia.

B.         Rekomendasi
Pelestarian kesenian lengger budaya asli Banyumas dapat dilakukan dengan membuat peraturan daerah yang isinya memerintahkan agar setiap kantor, keluarga, rumah makan, hotel, tempat wisata menampilakan budaya-budaya lokal diselingi dengan tarian lengger, serta mendokumentasikan semua adat dan tradisi Banyumasan. Hal ini lebih mengedepankan kepeloporan seorang pemimpin dalam menumbuhkan kecintaan terhadap budaya lokal. Kemudian dengan menghidupkan rasa memiliki budaya Banyumas dan menetapkan hari khusus kesenian Banyumas. Pemerintah Kabupaten juga perlu memilah dan memilih budaya asing yang baik serta menolak dengan konsisten budaya yang dianggap merusak kelestarian budaya lokal.

Pembangunan kebudayaan lokal Banyumas dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu penggalian, pelestarian, pengembangan, dan pemberdayaan. Adapun program pembangunan kebudayaan Banyumas diprioritaskan pada pengembangan nilai budaya, serta pengelolaan kekayaan budaya seperti memasukkan budaya banyumasan sebagai pelajaran muatan lokal pada sekolah dasar.

Untuk menunjang otonomi daerah, pemerintah perlu mempublikasikan inovasi lengger Banyumasan kepada masyarakat melalui media masa maupun leaflet.



DAFTAR PUSTAKA




Ali, Lukman. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta
Dewey dan John. 1988. Dasar-Dasar Pendidikan Terjemahan Murry Yusuf A. Yogyakarta : Rajawali
Geriya, I.M. 1984. Peranan Sistem Nilai Dalam Pembangunan. Makalah Seminar. Denpasar.Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara Baliologi
Hadi, S. 1990. Metodologi Research. Yogyakarta : Andi Offset
Hadi, Sutrisno. 1987. Statistik 2. Yogyakarta : Andi OFFSET
Jazuli M, 1994, Telaah Teoretis Seni Tari, Semarang : IKIP Semarang Press
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
Prayitno, Suyoto, & Sukarti, M.S. 2009. Pengaruh Struktur Dan Nilai Budaya Atraksi Lengger Banyumasan Terhadap Peningkatan Industri Pariwisata. Laporan Penelitian. Pusat Studi Indonesia, Lembaga Penelitian Universitas Terbuka
Sunaryadi, 2000, Lengger Tradisi dan Transformasi,Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia.
Wadiyo, 2006,” Seni Sebagai Sarana Interaksi Sosial artikel Harmonia Vol VII No 2, Semarang : UNNES



Tidak ada komentar:

Posting Komentar