Tanah
ini masih gersang bertaburan debu yang tidak menempel di tanah karena
lapisannya kekurangan air untuk subur kembali. Pagi sudah berganti dengan terik
yang teramat. Wanita-wanita tua tidak pernah enggan untuk melangkahkan kaki
menuju sawah mereka, karena disanalah letak sumber penghidupan mereka.
Aku
masih enggan terbangun dari lamunan panjangku menyaksikan seonggok obsesi
didepan mata. Obsesi yang sudah lama aku pendam. Seandainya aku mampu mengubah
dunia, dan alam
bisa kugenggam. Aku akan membawa perubahan untuk desaku. Plana, desa swadaya yang masih terbelakang karena belum mampu menjalankan roda pemerintahannya sendiri. Juga tradisi yang masih melekat erat dengan mitos yang tidak masuk akal bagiku.
bisa kugenggam. Aku akan membawa perubahan untuk desaku. Plana, desa swadaya yang masih terbelakang karena belum mampu menjalankan roda pemerintahannya sendiri. Juga tradisi yang masih melekat erat dengan mitos yang tidak masuk akal bagiku.
Setiap
musim kemarau tiba aku saksikan tradisi masyarakatku meminta hujan pada Sang
Dewi Sri, dewi padi sebagai simbol kemakmuran bagi mereka. Begitu bodohnya
mereka. Namun, hal itu wajar bagiku karena tradisi ini sudah mendarah daging di
Plana yang subur.
Masyarakat
kami meyakini bahwa alam memiliki kekuatan untuk memberi pengaruh bagi
kehidupan umat manusia. Untuk itu masyarakat melakukan ritual sesembahan untuk
kemakmuran hidup mereka. Dan yang aku herankan hal itu juga terjadi dengan
ibuku.
“Astaghfirulloh…
ibu menyekolahkan aku hingga perguruan tinggi namun pemikirannya masih konyol
seperti ini.” Aku sering menggerutu dalam hati.
“Rusmini,
nanti malam jangan pergi kemana-mana. Kau harus ikut ritual cowongan bersama
teman-temanmu. Anak perempuan harus ikut.” Pesan ibu padaku.
Sebenarnya
aku enggan mengikuti tradisi ini, tapi bagaimana caraku menolak karena kegiatan
ini rutin dilaksanakan masyarakat setiap musim kemarau tiba.
“Ibu,
kenapa kita harus pergi mengikuti kegiatan cowongan ini? Apa masuk akal
sekiranya kita meminta hujan pada sang dewi padi? Tidak tahukah mereka
bagaimana hujan bisa turun sampai ke bumi?” kataku sedikit menunjukkan rasa
ketidaksepakatan ini.
“Hust,
kau ini nduk... Apa mau kau dibilang
pengkhianat oleh masyarakat sekitar karena kau tidak mau ikut cowongan? Ini
demi pertanian kita! Bagaimana kalau kita tidak minta hujan. Padi kita tidak
akan tumbuh subur.” Ibu sedikit membela tradisi ini.
Remaja
seusiaku berbondong-bondong mengikuti cowongan dan akhirnya karena
ketidakkuasaanku untuk menolak, aku ikut ritual itu. Dalam hati, tahun depan
tradisi ini akan aku musnahkan. Memang bahasanya sedikit kasar. Tapi keyakinan
masyarakat Plana harus diluruskan. Hujan turun kebumi bukan karena sang dewi
padi memberikan berkah. Ini terjadi karena siklus hidrologi yang panjang
sehingga air dari langit bisa turun membasahi bumi dan menyuburkan tanaman
mereka.
***
Malam
jumat kliwon digelar ritual meminta hujan, malam yang begitu sakral bagi
penduduk Plana. Para wanita harus dalam keadaan suci, membawa sesaji, kemudian
menyanyikan tembang-tembang yang maksudnya adalah memanjatkan doa kepada sang
penguasa alam.
Plana
begitu getir. Aku seperti menziarahi makamku sendiri. Menyaksikan fenomena ini
namun aku tak mampu melakukan apa-apa. Aku enggan mengikuti semua ini. Sebagai
orang yang terpelajar aku harus membawa mereka keluar dari kebiasaan ini.
Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa ritual ini tidak hanya sesembahan
saja namun mengandung nilai seni bagi masyarakat.
“Sulasih
sulanjana kukus menyan ngundhang dewa. Ana dewa ndaning sukma widadari tumurun.a
Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima. Leng-leng guleng, gulenge
somakaton.” Begitu sepenggal lirik yang mereka
lantuntan, dan aku tak tahu apa maksudnya.
Acara cowongan berlalu begitu saja
tanpa ada yang istimewa bagiku. Hingga malam kembali larut dalam balutan sunyi.
Para wanita kembali ke peraduan mereka, disambut hangat oleh suami yang sudah
menanti kehangatan.
“Ibu, tidakkah Engkau akan
menjelaskan maksud dari ritual ini? Sampai sekarang hati kecilku masih
memberontak dengan tradisi ini.”
“Begini nduk, memang tidak masuk akal kalau kita meminta rizki pada sang
dewi padi tapi kita tidak punya daya apa-apa untuk merubah kebiasaan ini. Jika
kau mampu, maka lakukanlah perubahan.” Jelas ibu seolah menantangku untuk
melakukan pembaharuan terhadap Plana.
Rembulan
tak lagi purnama, maka ia akan menjadi sabit. Malampun mulai berkawan dengan
bintang. Sejenak aku bersimpuh dihadapanNya, mohon ampun kepada sang pemilik
surga. Sesal ini dalam membias lara karena ketidakberdayaanku membawa perubahan
bagi rakyat Plana. Aku seperti berada dalam palung yang sangat dalam hingga
akhirnya aku tak mampu untuk bangkit kembali.
Keesokan
harinya aku jumpai langit pagi begitu mendung. Tidak terlihat fajar yang setia
menyingsing dari ufuk timur. Udara sejuk masih menyelimuti dedaunan. Beberapa
pasang mata masih terlelap dalam tidurnya. Namun tidak untuk mataku. Terbangun
dengan seonggok obsesi dalam benakku yang hingga saat itu belum tersampaikan.
Sepertinya ritual masyarakat Plana semalam berhasil. Tuhan menurunkan hujan
menyuburkan tanah Plana.
***
Terbersit
pengalaman dua bulan yang lalu ketika aku masih menyandang status sebagai
mahasiswa. Aku mampu membawa pergerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan menghadapi
konflik sosial dikampus. Ribuan mahasiswa aku rangkul. Dan kini masyarakat satu
desa yang ingin aku taklukkan. Sebenarnya aku tak punya kuasa untuk melakukan
itu semua, tapi tidak masalah masih ada jalan lain. Tidak hanya dengan tanganku
sendiri aku merubah dunia, aku butuh bantuan orang lain.
Dengan
semangat pagi yang membara aku melangkahkan kaki menuju rumah Pak Darso. Beliau
adalah pemangku adat di desa ini. Usianya sudah cukup tua sekitar tujuh puluh
tahun. Pak Darso sangat dipercaya oleh masyarakat Plana. Sosoknya sangat
terpandang, bahkan seorang profesorpun mungkin kalah tenar ketimbang Pak Darso.
Seperti layaknya detektif, aku telusuri budaya cowongan dari Pak Darso.
“Nak,
budaya ini sudah melekat erat di bumi Plana. Tradisi ini ditujukan untuk
meminta hujan kepada sang Dewi Sri, dewi kemakmuran. Bukannya kita musyrik
menyekutukan Alloh, namun ini adalah usaha nyata untuk meminta kemakmuran
melalui Dewi Sri.” Begitu sekiranya penjelasan Pak Darso sambil menghisap rokok
cerutu yang sebenarnya sangat mengganggu pernafasanku tapi tidak aku hiraukan.
“Maaf
Pak, dengan segala hormat saya ingin meluruskan pemahaman masyarakat mengenai
turunnya hujan. Bukan melalui ritual cowongan, tapi turunnya hujan bisa
dideteksi bahkan diusahakan secara ilmiah. Alloh menciptakan manusia dengan
kelebihan memiliki akal sehat utnuk berfikir. Tapi yang saya lihat masyarakat
Plana belum mampu menggunakan akal sehat itu.” Begitu sanggahanku pada Pak
Darso tanpa ada rasa dosa sedikitpu. Terdengar sedikit memaksa, tapi ini karena
rasa gregetku menyaksikan fenomena kolot seperti ini.
Akhirnya
perdebatan kami cukup sengit. Dan sepertinya aku harus mengakui kekalahan ini.
Aku tak mampu menyelesaikan permasalahan ini sendirian. Akhirnya dengan tidak ada
rasa kecewa sedikitpun aku melangkahkan kaki untuk berpamitan pulang.
Ketika
menyusuri jalan setapak, aku lihat banyak pasang mata yang memandangiku dari
kejauhan. Sungguh aku rasakan mata itu mengandung segumpal kebencian padaku.
Masyarakat tidak menerima kehadiranku sebagai pemudi yang ingin menyampaikan
ilmu kepada mereka.
Dalam
perjalanan aku jumpai Maulina, kawan lama yang dulu satu perjuangan denganku
diperkuliahan. Hubungan kami cukup dekat, karena hanya aku dan Maulina saja
yang mengenyam bangku perkuliahan. Komunikasi kami sangat lancer setelah kemi
selesai kuliah dan kembali ke kampong halaman. Kami berteman sejak kecil,
hingga sekarang. Dulu kami satu perjuangan di organisasi kampus. Aku ceritakan
kejadian yang aku alami barusan dirumah pemangku adat. Bukannya mendapat
sambutan hangat, Maulina malah menertawakan aku tanpa ada empati sedikitpun.
“Rusmini,
kau ini bodoh atau tidak pintar? Untuk menjalankan revolusi seperi itu jelas
kau tak akan mampu sendiri. Aku akan membantumu kawan.” Begitu janjinya padaku.
Saat
itu juga kami merencanakan kegiatan penyuluhan untuk masyarakat Plana.
Sepertinya diskusi tentang budaya lokal akan sangat menarik dengan kondisi
masyarakat seperti sekarang ini. Budaya cowongan yang masih melekat erat pada
tradisi masyarakat untuk meminta hujan dikaitkan dengan imu pengetahuan dan
agama. Tradisi memang harus dipertahankan sebagai wujud kecintaan terhadap
tanah air, namun tujuannya bukan untuk syirik seperti ini. Plana perlu mendapat
menjelasan bagaimana kronologi terjadinya hujan.
Langit
serasa tersenyum kembali padaku ketika argumen Maulina terlontar begitu
sistematis. Dedaunanpun kembali menari karena mendapat sambutan dari angin
sepoi yang berhembus lembut. Aku tak pedulikan mata kejam yang sepertinya ingin
mengadiliku.
Tanpa
disadari ternyata percakapan kami didengar oleh Mbok Marjo. Dia seorang yang
taat dengan adat di Plana. Tak lama kemudian, percakapan kami mendapat respon
dari masyarakat Plana, masyarakat di desa ini masih memegang erat sistem
kekerabatan gemeinschat sehingga kedekatan antar masyarakat begitu terjaga. Sempat
kami dituduh berkhianat pada sang Dewi Sri karena sudah tidak mempercayainya
lagi. Dalam hatiku memang dari dulu aku tidak pernah mempercayainya. Tidak
tanggung-tanggung respon masyarakat kepadaku dan Maulina. Kami terancam harus
meninggalkan Plana.
***
Kami
pelajari lagi bagaimana strategi analisis sosial yang pernah kami terapkan
dikampus tempo dulu. Akhirnya muncul gagasan untuk mendatangkan seorang
intelektual muda dari Yogyakarta, Adnan namanya. Adnan adalah mahasiswa lulusan
Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Sosoknya begitu meyakinkan sebagai
orang terpelajar, tidak seperti aku dan Maulina yang dekil dan tidak dipercaya
masyarakat sebagai intelektual muda. Adnan pernah mengisi beberapa materi di
acara seminar, dan hasilnyapun sangat memuaskan. Dia juga seorang pegiat persma
ketika masih duduk dibangku perkuliahan. Sekarang ini Adnan lebih dikenal
sebagai budayawan muda nan modern.
Akhirnya
dengan segera kami memutuskan untuk berkoordinasi dengannya. Sosok Adnan
sekiranya mampu memberi pengetahuan kepada masyarakat Plana.
Aku
dan Maulina lebih berhati-hati dalam menjalankan strategi ini. Kami sudah tidak
dipercaya lagi oleh masyarakat, namun rencana ini pasti akan berhasil.
Keesokan
harinya kami pergi meninggalkan Plana. Banyak pasang mata yang memandang tak
sedap. Namun hal itu tak mengurungkan niat kami untuk melangkah. Perjalanan ini
begitu panjang dan melelahkan. Matahari serasa membakar kulit, karena aku menerima
sinarnya terlalu banyak.
Satu
minggu kami pergi meninggalkan Plana ternyata semakin gencar adat didesa ini.
Dan seandainya aku sendirian, aku benar-benar tidak akan sanggup. Beruntung ada
Maulina yang setia menemani. Kami mendatangkan Adnan yang aku ceritakan tadi.
Strategi ini semoga sukses. Dalam skenario yang kami buat ini Adnan
berpura-pura tidak mengenal aku dan Maulina. Dia berperan sebagai pendatang yang akan melakukan pengabdian
masyarakat di Desa Plana. Alhamdulillah masyarakat plana menyambutnya dengan
baik. Tidak masalah bagiku dengan sambutan kecut padaku, yang terpenting adalah
menghormati tamu.
Adnan
mengadakan penyuluhan tentang dinamika perubahan hidrosfer. Aku bisa menebak,
kalau masyarakat sangat asing dengan
kegiatan seperti ini. Begini penjelasan sang intelektual muda menurut
masyarakat Plana.
“Air
di bumi mempunyai jumlah yang tetap dan senantiasa bergerak dalam suatu
lingkaran peredaran yang biasa disebut dengan siklus hidrologi. Siklus ini
diawali dengan menguapnya air permukaan dan air tanah karena sinar matahari,
membentuk awan menjadi hujan hingga turun kembali ke bumi. Berdasarkan
prosesnya, pergerakan air mengalami siklus yang panjang.berawal dari air
lautdan air permukaan yang menguap, kemudian terkondensasi membentuk kristal es
diatas laut. Dibawa angin kedarat atau keatas pegunungan tinggi, jatuh sebagai
hujan salju, membentuk gletser, masuk kesungai dan mengalir kelaut.”
Masyarakat
terpesona dengan penjelasannya tadi. Begitu antusias untuk berdiskusi, yang
dalam fikiranku itung-itung upaya mencerdaskan bangsa. Penjelasan ini dapat
diterima oleh masyarakat, namun masih ada juga yang kontra. Sempat timbul
perdebatan disitu. Tapi aku hanya menyaksikan saja sambil ikut bertepuk tangan
apabila ada yang menyampaikan pendapat.
“Ternyata
strategi kita berhasil.” Bisik Maulina padaku.
“Ya…
acara ini mendapat respon positif dari masyarakat. Semoga adat cowongan sudah
tidak dilakukan lagi ya.”
Sejenak
kami termenung dengan perubahan ini. Bila suatu saat nanti bayangku sepenuh rindu,
akan kutafsirkan sajak-sajak penyair yang getir. Percayalah, dihening angin ada
kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat,
senyap kan terbang, sementara senja akan telanjang membasahi waktu.
Angin
mendera sekujur tubuhku, mengbadikan geraian jilbab putihku. Disetiap pucuknya
ia menyentuh keterasingan. Serupa kekelaman, musim hujan mengabur dalam samar.
Entah bagaimana aku harus bersyukur pada sang pemberi nikmat.
“Untuk
melakukan suatu perubahan memang membutuhkan proses yang panjang, dan untuk
melewatinya tidaklah mudah.” Begitu pesan Adnan pada kami. Adnan dengan senang
hati membantu kami menyelesaikan masalah ini.
Setelah
dengan ulet Adnan melakukan penyuluhan dan tentu kami juga membantunya,
akhirnya masyarakat Plana mulai meninggalkan tradisi cowongan. Sebenarnya kalau
masyarakat menjalankan tradisi ini tak masalah bagiku asal sebagai wujud usaha
pelestarian budaya lokal saja. Tapi yang aku tidak suka adalah tradisi ini
menjadi ritual yang akhirnya membawa pada kemusyrikan. Terimakasih sahabatku. Maulina
dan Adnan.
Angin
masih saja berbisik mengabarkan keramaian diluar sana. Langit kembali
menampakkan sinarnya. Suara burung-burung dihalaman rumah terdengar merdu,
pasti mereka menyambut pagi Plana mulai terasa hangat. Aku yakin cahaya mentari
telah mengisi rongga dibawah pepohonan rindang. Sementara aku dengan bahagia
menyambut kembali Plana tercinta.
oleh Fitri Nurhayati
dalam sayembara penulisan cerpen LPM Obsesi STAIN Purwokerto 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar