Selasa, 27 September 2011

Ketika Hujan Di Plana


Tanah ini masih gersang bertaburan debu yang tidak menempel di tanah karena lapisannya kekurangan air untuk subur kembali. Pagi sudah berganti dengan terik yang teramat. Wanita-wanita tua tidak pernah enggan untuk melangkahkan kaki menuju sawah mereka, karena disanalah letak  sumber penghidupan mereka.
Aku masih enggan terbangun dari lamunan panjangku menyaksikan seonggok obsesi didepan mata. Obsesi yang sudah lama aku pendam. Seandainya aku mampu mengubah dunia, dan alam
bisa kugenggam. Aku akan membawa perubahan untuk desaku. Plana, desa swadaya yang masih terbelakang karena belum mampu menjalankan roda pemerintahannya sendiri. Juga tradisi yang masih melekat erat dengan mitos yang tidak masuk akal bagiku.
Setiap musim kemarau tiba aku saksikan tradisi masyarakatku meminta hujan pada Sang Dewi Sri, dewi padi sebagai simbol kemakmuran bagi mereka. Begitu bodohnya mereka. Namun, hal itu wajar bagiku karena tradisi ini sudah mendarah daging di Plana yang subur.
Masyarakat kami meyakini bahwa alam memiliki kekuatan untuk memberi pengaruh bagi kehidupan umat manusia. Untuk itu masyarakat melakukan ritual sesembahan untuk kemakmuran hidup mereka. Dan yang aku herankan hal itu juga terjadi dengan ibuku.
“Astaghfirulloh… ibu menyekolahkan aku hingga perguruan tinggi namun pemikirannya masih konyol seperti ini.” Aku sering menggerutu dalam hati.
“Rusmini, nanti malam jangan pergi kemana-mana. Kau harus ikut ritual cowongan bersama teman-temanmu. Anak perempuan harus ikut.” Pesan ibu padaku.
Sebenarnya aku enggan mengikuti tradisi ini, tapi bagaimana caraku menolak karena kegiatan ini rutin dilaksanakan masyarakat setiap musim kemarau tiba.
“Ibu, kenapa kita harus pergi mengikuti kegiatan cowongan ini? Apa masuk akal sekiranya kita meminta hujan pada sang dewi padi? Tidak tahukah mereka bagaimana hujan bisa turun sampai ke bumi?” kataku sedikit menunjukkan rasa ketidaksepakatan ini.
“Hust, kau ini nduk... Apa mau kau dibilang pengkhianat oleh masyarakat sekitar karena kau tidak mau ikut cowongan? Ini demi pertanian kita! Bagaimana kalau kita tidak minta hujan. Padi kita tidak akan tumbuh subur.” Ibu sedikit membela tradisi ini.
Remaja seusiaku berbondong-bondong mengikuti cowongan dan akhirnya karena ketidakkuasaanku untuk menolak, aku ikut ritual itu. Dalam hati, tahun depan tradisi ini akan aku musnahkan. Memang bahasanya sedikit kasar. Tapi keyakinan masyarakat Plana harus diluruskan. Hujan turun kebumi bukan karena sang dewi padi memberikan berkah. Ini terjadi karena siklus hidrologi yang panjang sehingga air dari langit bisa turun membasahi bumi dan menyuburkan tanaman mereka.
***
Malam jumat kliwon digelar ritual meminta hujan, malam yang begitu sakral bagi penduduk Plana. Para wanita harus dalam keadaan suci, membawa sesaji, kemudian menyanyikan tembang-tembang yang maksudnya adalah memanjatkan doa kepada sang penguasa alam.
Plana begitu getir. Aku seperti menziarahi makamku sendiri. Menyaksikan fenomena ini namun aku tak mampu melakukan apa-apa. Aku enggan mengikuti semua ini. Sebagai orang yang terpelajar aku harus membawa mereka keluar dari kebiasaan ini. Meskipun banyak orang yang mengatakan bahwa ritual ini tidak hanya sesembahan saja namun mengandung nilai seni bagi masyarakat.
“Sulasih sulanjana kukus menyan ngundhang dewa. Ana dewa ndaning sukma widadari tumurun.a Runtung-runtung kesanga sing mburi karia lima. Leng-leng guleng, gulenge somakaton.” Begitu sepenggal lirik yang mereka lantuntan, dan aku tak tahu apa maksudnya.
Acara cowongan berlalu begitu saja tanpa ada yang istimewa bagiku. Hingga malam kembali larut dalam balutan sunyi. Para wanita kembali ke peraduan mereka, disambut hangat oleh suami yang sudah menanti kehangatan.
“Ibu, tidakkah Engkau akan menjelaskan maksud dari ritual ini? Sampai sekarang hati kecilku masih memberontak dengan tradisi ini.”
“Begini nduk, memang tidak masuk akal kalau kita meminta rizki pada sang dewi padi tapi kita tidak punya daya apa-apa untuk merubah kebiasaan ini. Jika kau mampu, maka lakukanlah perubahan.” Jelas ibu seolah menantangku untuk melakukan pembaharuan terhadap Plana.
Rembulan tak lagi purnama, maka ia akan menjadi sabit. Malampun mulai berkawan dengan bintang. Sejenak aku bersimpuh dihadapanNya, mohon ampun kepada sang pemilik surga. Sesal ini dalam membias lara karena ketidakberdayaanku membawa perubahan bagi rakyat Plana. Aku seperti berada dalam palung yang sangat dalam hingga akhirnya aku tak mampu untuk bangkit kembali.
Keesokan harinya aku jumpai langit pagi begitu mendung. Tidak terlihat fajar yang setia menyingsing dari ufuk timur. Udara sejuk masih menyelimuti dedaunan. Beberapa pasang mata masih terlelap dalam tidurnya. Namun tidak untuk mataku. Terbangun dengan seonggok obsesi dalam benakku yang hingga saat itu belum tersampaikan. Sepertinya ritual masyarakat Plana semalam berhasil. Tuhan menurunkan hujan menyuburkan tanah Plana.
***
Terbersit pengalaman dua bulan yang lalu ketika aku masih menyandang status sebagai mahasiswa. Aku mampu membawa pergerakan mahasiswa untuk menyatukan kekuatan menghadapi konflik sosial dikampus. Ribuan mahasiswa aku rangkul. Dan kini masyarakat satu desa yang ingin aku taklukkan. Sebenarnya aku tak punya kuasa untuk melakukan itu semua, tapi tidak masalah masih ada jalan lain. Tidak hanya dengan tanganku sendiri aku merubah dunia, aku butuh bantuan orang lain.
Dengan semangat pagi yang membara aku melangkahkan kaki menuju rumah Pak Darso. Beliau adalah pemangku adat di desa ini. Usianya sudah cukup tua sekitar tujuh puluh tahun. Pak Darso sangat dipercaya oleh masyarakat Plana. Sosoknya sangat terpandang, bahkan seorang profesorpun mungkin kalah tenar ketimbang Pak Darso. Seperti layaknya detektif, aku telusuri budaya cowongan dari Pak Darso.
“Nak, budaya ini sudah melekat erat di bumi Plana. Tradisi ini ditujukan untuk meminta hujan kepada sang Dewi Sri, dewi kemakmuran. Bukannya kita musyrik menyekutukan Alloh, namun ini adalah usaha nyata untuk meminta kemakmuran melalui Dewi Sri.” Begitu sekiranya penjelasan Pak Darso sambil menghisap rokok cerutu yang sebenarnya sangat mengganggu pernafasanku tapi tidak aku hiraukan.
“Maaf Pak, dengan segala hormat saya ingin meluruskan pemahaman masyarakat mengenai turunnya hujan. Bukan melalui ritual cowongan, tapi turunnya hujan bisa dideteksi bahkan diusahakan secara ilmiah. Alloh menciptakan manusia dengan kelebihan memiliki akal sehat utnuk berfikir. Tapi yang saya lihat masyarakat Plana belum mampu menggunakan akal sehat itu.” Begitu sanggahanku pada Pak Darso tanpa ada rasa dosa sedikitpu. Terdengar sedikit memaksa, tapi ini karena rasa gregetku menyaksikan fenomena kolot seperti ini.
Akhirnya perdebatan kami cukup sengit. Dan sepertinya aku harus mengakui kekalahan ini. Aku tak mampu menyelesaikan permasalahan ini sendirian. Akhirnya dengan tidak ada rasa kecewa sedikitpun aku melangkahkan kaki untuk berpamitan pulang.
Ketika menyusuri jalan setapak, aku lihat banyak pasang mata yang memandangiku dari kejauhan. Sungguh aku rasakan mata itu mengandung segumpal kebencian padaku. Masyarakat tidak menerima kehadiranku sebagai pemudi yang ingin menyampaikan ilmu kepada mereka.
Dalam perjalanan aku jumpai Maulina, kawan lama yang dulu satu perjuangan denganku diperkuliahan. Hubungan kami cukup dekat, karena hanya aku dan Maulina saja yang mengenyam bangku perkuliahan. Komunikasi kami sangat lancer setelah kemi selesai kuliah dan kembali ke kampong halaman. Kami berteman sejak kecil, hingga sekarang. Dulu kami satu perjuangan di organisasi kampus. Aku ceritakan kejadian yang aku alami barusan dirumah pemangku adat. Bukannya mendapat sambutan hangat, Maulina malah menertawakan aku tanpa ada empati sedikitpun.
“Rusmini, kau ini bodoh atau tidak pintar? Untuk menjalankan revolusi seperi itu jelas kau tak akan mampu sendiri. Aku akan membantumu kawan.” Begitu janjinya padaku.
Saat itu juga kami merencanakan kegiatan penyuluhan untuk masyarakat Plana. Sepertinya diskusi tentang budaya lokal akan sangat menarik dengan kondisi masyarakat seperti sekarang ini. Budaya cowongan yang masih melekat erat pada tradisi masyarakat untuk meminta hujan dikaitkan dengan imu pengetahuan dan agama. Tradisi memang harus dipertahankan sebagai wujud kecintaan terhadap tanah air, namun tujuannya bukan untuk syirik seperti ini. Plana perlu mendapat menjelasan bagaimana kronologi terjadinya hujan.
Langit serasa tersenyum kembali padaku ketika argumen Maulina terlontar begitu sistematis. Dedaunanpun kembali menari karena mendapat sambutan dari angin sepoi yang berhembus lembut. Aku tak pedulikan mata kejam yang sepertinya ingin mengadiliku.
Tanpa disadari ternyata percakapan kami didengar oleh Mbok Marjo. Dia seorang yang taat dengan adat di Plana. Tak lama kemudian, percakapan kami mendapat respon dari masyarakat Plana, masyarakat di desa ini masih memegang erat sistem kekerabatan gemeinschat sehingga kedekatan antar masyarakat begitu terjaga. Sempat kami dituduh berkhianat pada sang Dewi Sri karena sudah tidak mempercayainya lagi. Dalam hatiku memang dari dulu aku tidak pernah mempercayainya. Tidak tanggung-tanggung respon masyarakat kepadaku dan Maulina. Kami terancam harus meninggalkan Plana.
***
Kami pelajari lagi bagaimana strategi analisis sosial yang pernah kami terapkan dikampus tempo dulu. Akhirnya muncul gagasan untuk mendatangkan seorang intelektual muda dari Yogyakarta, Adnan namanya. Adnan adalah mahasiswa lulusan Fakultas Geografi Universitas Gajah Mada. Sosoknya begitu meyakinkan sebagai orang terpelajar, tidak seperti aku dan Maulina yang dekil dan tidak dipercaya masyarakat sebagai intelektual muda. Adnan pernah mengisi beberapa materi di acara seminar, dan hasilnyapun sangat memuaskan. Dia juga seorang pegiat persma ketika masih duduk dibangku perkuliahan. Sekarang ini Adnan lebih dikenal sebagai budayawan muda nan modern.
Akhirnya dengan segera kami memutuskan untuk berkoordinasi dengannya. Sosok Adnan sekiranya mampu memberi pengetahuan kepada masyarakat Plana.
Aku dan Maulina lebih berhati-hati dalam menjalankan strategi ini. Kami sudah tidak dipercaya lagi oleh masyarakat, namun rencana ini pasti akan berhasil.
Keesokan harinya kami pergi meninggalkan Plana. Banyak pasang mata yang memandang tak sedap. Namun hal itu tak mengurungkan niat kami untuk melangkah. Perjalanan ini begitu panjang dan melelahkan. Matahari serasa membakar kulit, karena aku menerima sinarnya terlalu banyak.
Satu minggu kami pergi meninggalkan Plana ternyata semakin gencar adat didesa ini. Dan seandainya aku sendirian, aku benar-benar tidak akan sanggup. Beruntung ada Maulina yang setia menemani. Kami mendatangkan Adnan yang aku ceritakan tadi. Strategi ini semoga sukses. Dalam skenario yang kami buat ini Adnan berpura-pura tidak mengenal aku dan Maulina. Dia  berperan sebagai  pendatang yang akan melakukan pengabdian masyarakat di Desa Plana. Alhamdulillah masyarakat plana menyambutnya dengan baik. Tidak masalah bagiku dengan sambutan kecut padaku, yang terpenting adalah menghormati tamu.
Adnan mengadakan penyuluhan tentang dinamika perubahan hidrosfer. Aku bisa menebak, kalau  masyarakat sangat asing dengan kegiatan seperti ini. Begini penjelasan sang intelektual muda menurut masyarakat Plana.
“Air di bumi mempunyai jumlah yang tetap dan senantiasa bergerak dalam suatu lingkaran peredaran yang biasa disebut dengan siklus hidrologi. Siklus ini diawali dengan menguapnya air permukaan dan air tanah karena sinar matahari, membentuk awan menjadi hujan hingga turun kembali ke bumi. Berdasarkan prosesnya, pergerakan air mengalami siklus yang panjang.berawal dari air lautdan air permukaan yang menguap, kemudian terkondensasi membentuk kristal es diatas laut. Dibawa angin kedarat atau keatas pegunungan tinggi, jatuh sebagai hujan salju, membentuk gletser, masuk kesungai dan mengalir kelaut.”
Masyarakat terpesona dengan penjelasannya tadi. Begitu antusias untuk berdiskusi, yang dalam fikiranku itung-itung upaya mencerdaskan bangsa. Penjelasan ini dapat diterima oleh masyarakat, namun masih ada juga yang kontra. Sempat timbul perdebatan disitu. Tapi aku hanya menyaksikan saja sambil ikut bertepuk tangan apabila ada yang menyampaikan pendapat.
“Ternyata strategi kita berhasil.” Bisik Maulina padaku.
“Ya… acara ini mendapat respon positif dari masyarakat. Semoga adat cowongan sudah tidak dilakukan lagi ya.”
Sejenak kami termenung dengan perubahan ini. Bila suatu saat nanti bayangku sepenuh rindu, akan kutafsirkan sajak-sajak penyair yang getir. Percayalah, dihening angin ada kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat, senyap kan terbang, sementara senja akan telanjang membasahi waktu.
Angin mendera sekujur tubuhku, mengbadikan geraian jilbab putihku. Disetiap pucuknya ia menyentuh keterasingan. Serupa kekelaman, musim hujan mengabur dalam samar. Entah bagaimana aku harus bersyukur pada sang pemberi nikmat. 
“Untuk melakukan suatu perubahan memang membutuhkan proses yang panjang, dan untuk melewatinya tidaklah mudah.” Begitu pesan Adnan pada kami. Adnan dengan senang hati membantu kami menyelesaikan masalah ini.
Setelah dengan ulet Adnan melakukan penyuluhan dan tentu kami juga membantunya, akhirnya masyarakat Plana mulai meninggalkan tradisi cowongan. Sebenarnya kalau masyarakat menjalankan tradisi ini tak masalah bagiku asal sebagai wujud usaha pelestarian budaya lokal saja. Tapi yang aku tidak suka adalah tradisi ini menjadi ritual yang akhirnya membawa pada kemusyrikan. Terimakasih sahabatku. Maulina dan Adnan.  
Angin masih saja berbisik mengabarkan keramaian diluar sana. Langit kembali menampakkan sinarnya. Suara burung-burung dihalaman rumah terdengar merdu, pasti mereka menyambut pagi Plana mulai terasa hangat. Aku yakin cahaya mentari telah mengisi rongga dibawah pepohonan rindang. Sementara aku dengan bahagia menyambut kembali Plana tercinta. 

oleh Fitri Nurhayati
dalam sayembara penulisan cerpen LPM Obsesi STAIN Purwokerto 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar