Mbah Boncel (kiri) saat bertandang ke SatelitPost |
Dituduh Pemulung dan Ditangkap Polisi
Kamis (23/5) malam, kantor
redaksi SatelitPost kedatangan orang istimewa. Mbah Boncel namanya. Lelaki usia
53 tahun itu masih tegap. Namun, dandanannya semrawut dengan beberapa sobekan
di celananya. Pertama, pasti akan canggung untuk mendekat dengan lelaki
tersebut mengingat dandanannya yang bisa dikatakan acak-acakan.
Namun setelah kenal dan ngobrol
langsung dengannya barulah akan merasakan kedekatan yang luar biasa. Hal ini
disebabkan karena banyaknya pengalaman Mbah Boncel dalam melakukan tur keliling
Indonesia menggunakan sepeda ontel.
Pria kelahiran Bantul ini
menceritakan pengalamannya selama berkeliling Indonesia dengan sepeda ontel
peninggalan sang ayah tahun 1948 silam. Obsesinya untuk tercatat dalam Museum
Rekor Indonesia terjawab sudah, tepatnya tahun 2007 lalu yang diberikan
langsung oleh Jaja Suprana.
Pemilik nama lengkap Supriyanto
ini memulai perjalan tur pertama pada 11 November 2006 sampai 28 Agustus 2007.
Ia berhasil menginjakkan kaki di daratan 32 provinsi di Indonesia. Dandanannya
yang seperti anak punk hanya sekadar menggunakan kaus dan rompi ini, seringkali
membuatnya dituduh sebagai pemulung, orang gila, kurang kerjaan, atau bahkan
ditangkap polisi karena diduga sebagai anak punk.
Menanggapi hal itu, ia hanya
tertawa dan mengajak polisi berdialog bersama tentang nasionalisme dan
patriotisme. "Jangan dilihat dari penampilannya saja, tapi mari bicara
Indonesia dan dialog dengan baik, tidak perlu ribut. Saya itu tulus
mengelilingi Indonesia tanpa tujuan politik atau apapun itu namanya. Nasionalisme
dan patriotisme saya masih 100 persen," kata Mbah Boncel.
Pernah Disandera GAM
Mbah Boncel (kiri) saat bertandang ke SatelitPost |
PERAWAKAN kurus dengan rambut
memutih terlihat dari sosok Mbah Boncel. Meski begitu di usianya yang sudah
memasuki angka 53, ia tetap kuat untuk terus melanjutkan perjalanan keliling
Indonesia. Bahkan saat ini obsesinya sudah lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Tidak lagi keliling Indonesia, namun keluar negeri dengan sepeda ontel. Ia
ingin menginjakkan kaki di negara yang masih tergabung dalam rumpun melayu.
Dipilihnya negara itu dengan tujuan agar bahasanya tidak jauh berbeda dengan
bahasa Indonesia.
Kepada SatelitPost, Mbah Boncel
menceritakan pengalaman ketika keliling Indonesia untuk pertama kalinya. Pada
November 2006 dia memulai perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya, lalu
Flores Nusa Tenggara Timur. Kemudian kembali lagi ke Surabaya. Setelah itu
menuju Merak, Selat Sunda, Lampung, Aceh, Pekanbaru, Dumai, Batam, Tanjung Pinang,
Kalimantan, hingga perbatasan Malaysia. Perjalanan dilanjutkan dengan kembali
ke Bogor, Bandung, Banjarmasin, Palangkaraya, Sulawesi, Ambon, dan Jayapura.
Satu per satu pengalaman
dijumpainya. Diceritakan satu kisah saat ia disandera kawanan separatis Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Tepatnya tanggal 18 sampai 23 Februari 2007 lalu. Waktu itu
mbah sedang melakukan perjalanan pada malam hari. Berjumpa dengan kawanan GAM
kemudian pria asli Mangiran ini disandera.
"Untungnya saat disandera
mbah bisa lolos. Saat itu prinsip mbah kalau kamu lalai saya lolos dan akhirnya
betul mereka lalai dan mbah bisa melarikan diri," ujarnya. Kelalaian pihak
GAM membuat Mbah Boncel mampu melepaskan diri dari penyanderaan. Keyakinannya
untuk bisa lolos menjadi kenyataan.
Pengalaman berkesan tidak hanya
saat ia disandera kawanan GAM. Namun mbah dua cucu ini juga sempat dirampok
hingga ia menyerahkan sepeda dan tas sebagai harta satu-satunya. Namun hal yang
sangat menakjubkan terjadi karena setelah kawanan perampok berjalan delapan
meter, sepeda itu tidak mau jalan. Akhirnya, kata mbah mereka tinggalkan sepeda
yang akan dirampoknya.
Selama melakukan perjalanan,
tidak banyak bekal yang dibawanya. Hanya tas kumal yang berisi kaus dan buku
catatan. Ada dua buku yang tak pernah ditinggalkannya. Yang satu sudah penuh
dengan pesan dari beberapa orang yang dijumpainya selama perjalanan. Sedang
buku yang lain sebagian masih belum terisi penuh. Beberapa lembar buku kedua
ini tinggal masih terus disodorkannya kepada orang yang baru dikenal.
Dia mengatakan, tulisan
orang-orang yang dikenalnya itu untuk kenang-kenangan. Bahkan dalam buku itu
ada beberapa foto yang ditempelnya setelah ia berfoto bersama dengan beberapa
orang yang dijumpai. Setelah perjalanan pertamanya. Mbah Boncel juga melakukan
perjalanan kedua pada 28 Juni sampai 13 Agustur 2010. Mbah Boncel berhasil
mencapai titik nol kilometer di Pulau Sabang, Daerah Istimewa Aceh Darussalam.
Pergi Tak Pernah Pamit Istri
Mbah Boncel tak pernah lelah
menceritakan pengalamannya keliling Indonesia dengan sepeda ontel. Pada
SatelitPost, dia mengatakan, ada kalanya menemui medan yang berat dan sulit.
"Daerah paling sulit dilalui
adalah Flores. Medannya paling berat," kata dia. Di sisi lain, yang paling
mengesankan adalah ketika sampai di Jayapura. Ayah dari Gesang dan Ingge
Apriliana ini, mengatakan, Jayapura sangat menakjubkan. Tempat ini merupakan
provinsi ke 28 yang disinggahinya. Menurutnya kotanya cukup kondusif, berbeda
dengan pandangan orang luar yang kebanyakan hanya membaca dari berita atau
mendengar kabar saja
"Papua kalau malam hari
bagai Kota Hongkong. Kotanya juga aman, jauh berbeda seperti yang diceritakan
kebanyakan orang," ujarnya. Belum berhenti sampai di situ bahkan ia juga
pernah diusir dari sebuah rumah makan di Subang, Jawa Barat. Ia memesan ayam
goreng, namun diusir oleh pemilik warung dan disuruh makan di luar karena
melihat dandanannya yang compang-camping. Mendapati hal itu, mbah hanya
mengelus dada melihat betapa manusia hanya melihatnya dari penampilan saja.
Ia sempat menyampaikan rincian
pengeluaran selama perjalanan ke Medan, hanya membawa uang Rp 200 ribu. Katanya
di perjalanan bannya bocor hingga ia menghabiskan dua ban dalam untuk depan dan
belakang, serta satu ban luar. Untuk biaya ini ia mengurangi sangunya Rp 140
ribu. Kemudian dikurangi Rp 10 ribu untuk biaya pemasangan, Rp 10 ribu untuk
membeli makan dan minum. Sisanya untuk keperluan selama perjalanan. Sedangkan
kalau biaya hidup kurang terkadang ia makan dari kepedulian masyarakat yang
merasa terharu dengannya.
Perjalanan panjang menunaikan
mimpi yang kini telah terwujud ini terkadang menjadikan mbah rindu dengan
kehangatan suasana di rumah. Karena saat memulai perjalanan biasanya ia tidak
berpamitan baik dengan istri maupun anak-anaknya. "Mbah langsung pergi
saja, nanti kalau sudah perjalanan kadang istri atau anak telepon. Mereka
sekarang sudah tidak heran, kalau dulu sering dicari dikiranya pergi ke mana,"
katanya.
Mengobati rindu yang terkadang
datang dengan seketika tanpa tahu tempat, biasanya pecinta lagu Hidup Untukmu,
Mati Tanpamu ini lebih memilih mendengarkan lagu-lagu pop sambil terus mengayuh
sepeda tuanya. (fitri nurhayati)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar