Kamis, 30 Mei 2013
Mbah Boncel, Keliling Indonesia dengan Sepeda Ontel
Mbah Boncel (kiri) saat bertandang ke SatelitPost |
Dituduh Pemulung dan Ditangkap Polisi
Kamis (23/5) malam, kantor
redaksi SatelitPost kedatangan orang istimewa. Mbah Boncel namanya. Lelaki usia
53 tahun itu masih tegap. Namun, dandanannya semrawut dengan beberapa sobekan
di celananya. Pertama, pasti akan canggung untuk mendekat dengan lelaki
tersebut mengingat dandanannya yang bisa dikatakan acak-acakan.
Namun setelah kenal dan ngobrol
langsung dengannya barulah akan merasakan kedekatan yang luar biasa. Hal ini
disebabkan karena banyaknya pengalaman Mbah Boncel dalam melakukan tur keliling
Indonesia menggunakan sepeda ontel.
Pria kelahiran Bantul ini
menceritakan pengalamannya selama berkeliling Indonesia dengan sepeda ontel
peninggalan sang ayah tahun 1948 silam. Obsesinya untuk tercatat dalam Museum
Rekor Indonesia terjawab sudah, tepatnya tahun 2007 lalu yang diberikan
langsung oleh Jaja Suprana.
Pemilik nama lengkap Supriyanto
ini memulai perjalan tur pertama pada 11 November 2006 sampai 28 Agustus 2007.
Ia berhasil menginjakkan kaki di daratan 32 provinsi di Indonesia. Dandanannya
yang seperti anak punk hanya sekadar menggunakan kaus dan rompi ini, seringkali
membuatnya dituduh sebagai pemulung, orang gila, kurang kerjaan, atau bahkan
ditangkap polisi karena diduga sebagai anak punk.
Menanggapi hal itu, ia hanya
tertawa dan mengajak polisi berdialog bersama tentang nasionalisme dan
patriotisme. "Jangan dilihat dari penampilannya saja, tapi mari bicara
Indonesia dan dialog dengan baik, tidak perlu ribut. Saya itu tulus
mengelilingi Indonesia tanpa tujuan politik atau apapun itu namanya. Nasionalisme
dan patriotisme saya masih 100 persen," kata Mbah Boncel.
Pernah Disandera GAM
Mbah Boncel (kiri) saat bertandang ke SatelitPost |
PERAWAKAN kurus dengan rambut
memutih terlihat dari sosok Mbah Boncel. Meski begitu di usianya yang sudah
memasuki angka 53, ia tetap kuat untuk terus melanjutkan perjalanan keliling
Indonesia. Bahkan saat ini obsesinya sudah lebih tinggi dari yang sebelumnya.
Tidak lagi keliling Indonesia, namun keluar negeri dengan sepeda ontel. Ia
ingin menginjakkan kaki di negara yang masih tergabung dalam rumpun melayu.
Dipilihnya negara itu dengan tujuan agar bahasanya tidak jauh berbeda dengan
bahasa Indonesia.
Kepada SatelitPost, Mbah Boncel
menceritakan pengalaman ketika keliling Indonesia untuk pertama kalinya. Pada
November 2006 dia memulai perjalanan dari Yogyakarta menuju Surabaya, lalu
Flores Nusa Tenggara Timur. Kemudian kembali lagi ke Surabaya. Setelah itu
menuju Merak, Selat Sunda, Lampung, Aceh, Pekanbaru, Dumai, Batam, Tanjung Pinang,
Kalimantan, hingga perbatasan Malaysia. Perjalanan dilanjutkan dengan kembali
ke Bogor, Bandung, Banjarmasin, Palangkaraya, Sulawesi, Ambon, dan Jayapura.
Satu per satu pengalaman
dijumpainya. Diceritakan satu kisah saat ia disandera kawanan separatis Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Tepatnya tanggal 18 sampai 23 Februari 2007 lalu. Waktu itu
mbah sedang melakukan perjalanan pada malam hari. Berjumpa dengan kawanan GAM
kemudian pria asli Mangiran ini disandera.
"Untungnya saat disandera
mbah bisa lolos. Saat itu prinsip mbah kalau kamu lalai saya lolos dan akhirnya
betul mereka lalai dan mbah bisa melarikan diri," ujarnya. Kelalaian pihak
GAM membuat Mbah Boncel mampu melepaskan diri dari penyanderaan. Keyakinannya
untuk bisa lolos menjadi kenyataan.
Pengalaman berkesan tidak hanya
saat ia disandera kawanan GAM. Namun mbah dua cucu ini juga sempat dirampok
hingga ia menyerahkan sepeda dan tas sebagai harta satu-satunya. Namun hal yang
sangat menakjubkan terjadi karena setelah kawanan perampok berjalan delapan
meter, sepeda itu tidak mau jalan. Akhirnya, kata mbah mereka tinggalkan sepeda
yang akan dirampoknya.
Selama melakukan perjalanan,
tidak banyak bekal yang dibawanya. Hanya tas kumal yang berisi kaus dan buku
catatan. Ada dua buku yang tak pernah ditinggalkannya. Yang satu sudah penuh
dengan pesan dari beberapa orang yang dijumpainya selama perjalanan. Sedang
buku yang lain sebagian masih belum terisi penuh. Beberapa lembar buku kedua
ini tinggal masih terus disodorkannya kepada orang yang baru dikenal.
Dia mengatakan, tulisan
orang-orang yang dikenalnya itu untuk kenang-kenangan. Bahkan dalam buku itu
ada beberapa foto yang ditempelnya setelah ia berfoto bersama dengan beberapa
orang yang dijumpai. Setelah perjalanan pertamanya. Mbah Boncel juga melakukan
perjalanan kedua pada 28 Juni sampai 13 Agustur 2010. Mbah Boncel berhasil
mencapai titik nol kilometer di Pulau Sabang, Daerah Istimewa Aceh Darussalam.
Pergi Tak Pernah Pamit Istri
Mbah Boncel tak pernah lelah
menceritakan pengalamannya keliling Indonesia dengan sepeda ontel. Pada
SatelitPost, dia mengatakan, ada kalanya menemui medan yang berat dan sulit.
"Daerah paling sulit dilalui
adalah Flores. Medannya paling berat," kata dia. Di sisi lain, yang paling
mengesankan adalah ketika sampai di Jayapura. Ayah dari Gesang dan Ingge
Apriliana ini, mengatakan, Jayapura sangat menakjubkan. Tempat ini merupakan
provinsi ke 28 yang disinggahinya. Menurutnya kotanya cukup kondusif, berbeda
dengan pandangan orang luar yang kebanyakan hanya membaca dari berita atau
mendengar kabar saja
"Papua kalau malam hari
bagai Kota Hongkong. Kotanya juga aman, jauh berbeda seperti yang diceritakan
kebanyakan orang," ujarnya. Belum berhenti sampai di situ bahkan ia juga
pernah diusir dari sebuah rumah makan di Subang, Jawa Barat. Ia memesan ayam
goreng, namun diusir oleh pemilik warung dan disuruh makan di luar karena
melihat dandanannya yang compang-camping. Mendapati hal itu, mbah hanya
mengelus dada melihat betapa manusia hanya melihatnya dari penampilan saja.
Ia sempat menyampaikan rincian
pengeluaran selama perjalanan ke Medan, hanya membawa uang Rp 200 ribu. Katanya
di perjalanan bannya bocor hingga ia menghabiskan dua ban dalam untuk depan dan
belakang, serta satu ban luar. Untuk biaya ini ia mengurangi sangunya Rp 140
ribu. Kemudian dikurangi Rp 10 ribu untuk biaya pemasangan, Rp 10 ribu untuk
membeli makan dan minum. Sisanya untuk keperluan selama perjalanan. Sedangkan
kalau biaya hidup kurang terkadang ia makan dari kepedulian masyarakat yang
merasa terharu dengannya.
Perjalanan panjang menunaikan
mimpi yang kini telah terwujud ini terkadang menjadikan mbah rindu dengan
kehangatan suasana di rumah. Karena saat memulai perjalanan biasanya ia tidak
berpamitan baik dengan istri maupun anak-anaknya. "Mbah langsung pergi
saja, nanti kalau sudah perjalanan kadang istri atau anak telepon. Mereka
sekarang sudah tidak heran, kalau dulu sering dicari dikiranya pergi ke mana,"
katanya.
Mengobati rindu yang terkadang
datang dengan seketika tanpa tahu tempat, biasanya pecinta lagu Hidup Untukmu,
Mati Tanpamu ini lebih memilih mendengarkan lagu-lagu pop sambil terus mengayuh
sepeda tuanya. (fitri nurhayati)
Kamis, 23 Mei 2013
Ora Utang Ya Ora Duwe Modal
Figur bisnis
Budiarto, Suplayer bumbu dapur
|
SEBAGIAN orang takut
untuk mendapatkan modal usaha dengan cara berhutang. Apalagi harus berhubungan
langsung dengan bank. Ada yang menganggap prosesnya sulit, berbelit, dan
bunganya tinggi.
Berbeda dengan Sri
Budiarto, suplayer bumbu dapur di Purwokerto. Ia meyakini, bahwa dengan cara
berhutang kita bisa mendapatkan modal sesuai kebutuhan. Tak perlu ada
ketakutan, yang penting yakin dan tetap usaha.
Budiarto memantapkan
hati memilih cara ini setelah mendapat nasihat dari sang ibu. Waktu itu, ia
membutuhkan banyak modal setelah kiosnya kebakaran pada tahun 2008. Dari
musibah ini, ia tidak bisa memulai usaha lagi karena tak memunyai kios dan stok
barangnya juga ikut ludes.
"Ora utang ya
ora due modal. Jadi saya mencoba berhubungan dengan bank untuk penambahan
stok dan membeli kios baru. Waktu saya sedang butuh banyak uang dalam waktu
dekat, paling yang bisa ngasih pinjaman ya bank," kata Budiarto.
Ada beberapa bank
yang didatangi, meski begitu tidak semuanya dapat memenuhi permintaannya untuk
berhutang. Hingga usaha ini terus dilakukan pada akhirnya ia berhasil meminjam
modal Rp 250 juta. Tentu jumlah ini tidak sedikit, namun ia meyakini pasti bisa
mengembalikan.
Baginya, apabila ada
usaha, pasti pendapatan akan terus masuk untuk bisa menutupi kredit. Menurut
Budiarto, pengusaha harus bisa mengambil risiko, satu diantaranya dengan
memilih cara ini. Namun jangan asal pilih, kata dia karena harus selektif.
Ia merasakan bank
yang memberikan pinjaman modal kepadanya saat ini memberikan layanan cepat,
sehingga modal bisa langsung terpenuhi, bersifat ngemong atau membimbing, dan ngewongke
atau memberikan perhatian kepada debiturnya.
Setelah hutangnya
lunas, ia akan kembali melakukan pinjaman, bahkan kalau diperbolehkan dalam
jumlah yang lebih besar. Ia tak lagi takut berhubungan dengan bank untuk
pengembangan usaha. (fitri nurhayati)
Lewat Bisnis Ingin Membawa Kebermanfaatan
Figur bisnis
H Wartoyo, Pemilik
Cafe Alan
|
PILIHAN menekuni
banyak kegiatan memiliki banyak risiko, termasuk waktu yang tergadaikan. Bahkan
bisa dibilang 24 jam waktu yang tersedia dipersembahkan untuk kegiatan yang
dilakoni. Hal ini juga yang menjadi pilihan H Wartoyo, pemilik Cafe Alan.
Kesibukan pria
berusia 63 tahun ini memang sudah berlangsung lama. Bahkan masa mudanya juga
dihabiskan untuk kegiatan di luar rumah. Yang terpenting baginya adalah bisa
mengabdikan diri kepada masyarakat.
"Menurut saya,
sebaik-baiknya manusia ya yang bisa bermanfaat untuk orang banyak. Saya
aktif di organisasi sejak masih muda, nah belakangan saya kembangkan
untuk menjalani usaha. Lewat usaha ini, saya berharap tetap memberi
kebermanfaatan untuk msyarakat," kata Wartoyo.
Prinsip inilah yang
dipegang teguh hingga ia bisa membagi waktunya, menjalani banyak kegiatan dalam
waktu yang bersamaan. Kalau untuk bisnis, kata Wartoyo juga sebagai bentuk
pengabdiannya kepada masyarakat.
Dipilihlah bisnis
kuliner sejak 2002 lalu, karena menurutnya bidang inilah yang potensial untuk
dikembangkan di hampir semua tempat. Bahkan bapak empat anak ini pernah
melakukan survei sendiri ke beberapa kota besar, seperti Jakarta, Bandung, dan
Semarang. Binisi kuliner menjadi bisnis paling banyak serta potensial untuk terus
dikembangkan. (fitri nurhayati)
Tak Tertarik Franchise Meski Menguntungkan
BANYAK pengusaha yang
memilih cara instan untuk mengembangkan bisnisnya. Satu diantaranya dengan franchise
yang terbilang mudah dan menguntungkan. Mereka cukup menyiapkan modal dan
segala sesuatunya sudah disiapkan oleh pemilik usaha.
Tidak hanya itu,
biasanya bisnis yang di-franchise-kan cenderung langsung laris. Namun
hal ini tidak menjadi pilihan bagi Suloso, pemilik Soto Jalan Bank.
Melanjutkan bisnis
keluarga di bidang kuliner sejak tahun 1978, membuat pria yang akrab disapa Pak
Loso ini hafal betul dengan keinginan pelanggan. Bahkan satu per satu pelanggan
dikenalnya, karena secara rutin berkunjung untuk makan soto.
Dulu, manajemen usaha
yang diterapkan masih bersifat klasik atau apa adanya. Namun, setelah
berkembang dan dipercaya untuk mengelolanya, maka dia mulai menata manajemen
dengan rapi.
"Awal buka
warung ini masih berukuran 4x6 meter, strategi penjualannya pun masih terbilang
sederhana. Sekarang sudah berkembang menjadi dua tempat yang bisa menampung
hingga 120 orang," kata Suloso.
Dikatakannya, waktu
itu, soto buatannya belum banyak dikenal masyarakat, sehingga dalam sehari ia
hanya bisa menghabiskan empat hingga enam ekor ayam kampung.
Berbeda dengan
sekarang yang bisa mencapai 20 hingga 25 ekor per hari. Bahkan pada musim
lebaran bisa menghabiskan 100 ekor.
Soto jalan bank milik
Pak Laso dikenal hingga ke berbagai penjuru kota. Karena rasanya yang enak dan
menimbulkan kesan tersendiri bagi pelanggan yang mencicipi. Untuk mendapatkan
rasa yang pas seusai lidah orang Banyumas, Loso menggunakan bumbu tradisional
yang dipertahankan sejak awal berdirinya usaha.
Pengolahan dari awal
dilakukannya sendiri, bahkan sampai sekarang saat ia sudah mempekerjakan banyak
karyawan. Hal ini dia pertahankan demi menjaga keaslian resep dan rasa. Karena
itujugalah dia tidak tertarik untuk menerapkan franchise soto jalan
bank. Kata dia, yang namanya soto jalan bank hanya ada di warungnya, bukan di
tempat lain.
Menurutnya, dengan
mempertahankan rasa yang ajeg, maka rasa yang dihadirkan akan menjadi
kekhasan. Usaha ini tidak dikomersilkan dengan franchise, karena
ditakutkan nantinya akan mengubah selera dan rasa yang dihasilkan.
Bahkan saat ini
sotonya telah didaftarkan ke HAKI, pemotongannya sudah mendapat izin MUI, dan
sertifikat rumah makan perak dari Semarang. Dengan adanya izin tersebut, Laso
berharap kian mendatangkan kepercayaan kepada masyarakat.
Melalui soto pula,
Pak Laso telah meraup banyak keuntungan hingga ia berkesempatan untuk berhaji
pada tahun 2004 lalu. Tidak hanya itu, ia juga menguliahkan ketiga anaknya
hingga lulus sarjana, sedang dua anaknya yang lain fokus membantunya di warung.
Dengan begitu, Laso juga sedang memersiapkan generasi penerus untuk melanjutkan
bisnis keluarga ini. (Fitri nurhayati)
Langganan:
Postingan (Atom)