Kamis, 04 April 2013

Sindir Politik Kekuasaan dengan Drama Teaterikal

Bezper Garap Kala Ketika
"BERSATULAH semua," kata Welusa. Sang bijak yang selama ini memberi arti tentang kehidupan ternyata dialah yang paling licik dan jahat. Atas nama kepentingan ingin berkuasa, ia berhasil memegang pusaka keramat yang diinginkannya sejak lama.
Sepenggal kisah ini merupakan adegan yang ada dalam drama musikal Kala Ketika garapan sutradara Wira Setianagara dan kawan-kawan. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Pertanian yang tergabung dalam Bengkel Seni Pertanian (Bezper) Universitas Jenderal Soedirman.
 Pementasan ini digelar Sabtu (30/3) malam, dengan konsep drama teatrikal yang dikemas dalam alunan musik, nyanyian, penampilan tari-tarian, balutan make up dan kostum, serta permainan olah peran dari anggota muda Bezper 2012. Drama ini merupakan even besar yang diselenggarakan setahun dalam sekali.
Wira mengatakan, cerita Kala Ketika berawal dari keresahannya tentang kekuasaan dengan mengangkat isu haus tahta kepemimpinan.
Tokoh-tokoh dalam pementasan ini melambangkan watak manusia yang telah hilang akal dan nurani untuk mendapatkan kekuasaan, layaknya para binatang. Sehingga tokohnya diperankan dengan menirukan gaya binatang.
Adalah Sona yang berperan sebagai anjing semakin lama kian muak dengan penguasa hutan. Ia sadar bahwa keberadaannya selalu dicaci hingga akhirnya terjadi pemberontakan. Bahkan ia menentang Sima sebagai Singa yang sekaligus penguasa hutan. Akhirnya kubu bawah tanah yang dipimpin Wegeng, berperan sebagai tikus dan Seri sebagai kelelawar memanfaatkan kondisi ini dengan politik adu dombanya.
"Adegan ini sebenarnya menggambarkan kekuasaan seperti yang ada di negara kita. Banyak kalangan yang sengaja memanfaatkan kondisi untuk mendapat kedudukan yang diinginkan," kata Wira.
Demi mensukseskan politik adu dombanya, maka ditugaskan Bhundan dan Karla yang menjadi duo kadal untuk menghasut Sona. Sementara Wegeng dan Seri dibantu Cot dan Sopta yang berperan menjadi duo kelelawar langsung menghasut raja.
Saat binatang suruhan itu sedang menghasutkan datanglah Goh sebagai Banteng mencoba menghalangi niat busuk itu namun gagal. Kekecewaan datang menghampiri sampai datanglah Welusa si Kura-kura untuk menenangkan.
Wegeng dkk akhirnya berhasil memecah kondisi psikis Sona dan Sima hingga pertarungan kekuasaan pun terjadi. Bahkan saking ingin berkuasa, Cot dan Sopta sampai diusir Seri yang saat itu sudah berada di pihak Sima pemegang pusaka keramat.
Binatang suruhan itu akhirnya menyelamatkan diri dan ditolong oleh para angsa yang dipimpin Ratu Smara sebagai angsa. Sima datang kembali untuk menghabisi Sona namun sang ratu angsa menyadarkannya dan terlemparlah pusaka yang diperebutkan itu hingga lenyap.
Pada akhirnya, kata sang sutradara keadaan berbalik hingga Wegeng dan Seri melarikan diri, sedangkan Welusa dan Goh mencoba menyadarkan semuanya. Semua sadar akan kedudukan kemanusiaan yang sesungguhnya, kata Welusa, bersatulah semua.
Meski telah bersatu layaknya pemegang kekuasaan di dunia nyata yang banyak menyimpan dendam, dalam drama ini pun demikian. Bhundan dan Karla mencoba balas dendam namun tiba-tiba mereka tewas tertebas pusaka keramat. Akhir perebutan kekuasaan ini berada ditangan Welusa si bijak yang memberi arti kehidupan di balik kelicikan dan niat jahatnya.
Dari cerita yang kami bawakan, kata Wira sang sutradara, setiap peran mempunyai perlambangannya masing-masing. Seperti anjing yang melambangkan kesetiaan namun sering dianggap hina, singa melambangkan penguasa, dan tikus yang menggambarkan ketamakan.
Sedangkan kelelawar kesehariannya melambangkan sifat rakus, kadal yang licik, banteng melambangkan kekuatan dan hati yang kokoh, begitu juga kura-kura dengan kebijaksanaannya, dan angsa dengan kesuciannya. (fitri nurhayati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar