Dr Sugeng Priyadi MHum |
Berbicara
tentang sejarah memang tidak akan ada habisnya. Seperti yang dirasakan peneliti
sejarah lokal, Dr Sugeng Priyadi MHum.
Betapa
tidak, kejadian dimasa lampau akan disebut sejarah apabila diulas pada masa
sekarang. Begitu juga dengan kejadian yang sedang terjadi saat ini akan menjadi
sejarah pula dalam beberapa tahun mendatang.
Entah
apapun yang terjadi atau hanya sebatas hal kecil, bahkan tidak begitu terasa di
masyarakat. Semua akan tercover dengan label sejarah. Peneliti yang satu ini
perjalanan sejarah dari kaca mata ilmiah. Tak heran jika segala kejadian di
masa lampau sedang dikemasnya melalui penelitian.
Pria
yang telah menamatkan doktornya di Universitas Gajah Mada (UGM) ini awalnya ia
memulai penelitian di tanah pijakannya semasa kecil, Desa Kepunden, Banyumas
namanya.
Waktu
itu pengetahuan tentang sejarah banyak berdatangan dengan mudah, karena budaya
pada eranya sangat kental ketimbang yang dirasakannya sekarang. Terlebih
kedekatannya dengan sang bapak yang juga menekuni berbagai kesenian daerah
sehingga apabila diceritakan saat ini juga menjadi catatan sejarah.
Latar
belakang pekerjaan sang bapak berprofesi sebagai POLRI, namun meski menjadi
abdi negara tetap giat melakukan kesenian daerah. Setelah ia menyaksikan
aktivitas sang bapak muncullah ketertarikan untuk nimbrung ikut mendengarkan
pembicaraan orang tua.
"Saya
termasuk anak yang nyrandu, jadi kalau ada orang tua lagi pada ngobrol saya
ikut nimbrung saja meski hanya diam dan mendengarkan. Kalau orang zaman dulu
ngobrolnya tentang sejarah, kerajaan, dan kebudayaan," kata Sugeng dengan
pembawaan tenang.
Sugeng
kecil mulai tertarik melihat dua peti buku milik bapaknya. Karena rasa
keingintahuan yang kian menggebu kemudian ia mulai membaca satu per satu.
Bahkan saking asyiknya, ia menulis ulang setiap lembarnya menggunakan mesin
ketik manual. Maklum pada eranya baru ada mesin ketik manual bahkan itu pun
terbilang mewah karena tak semua orang memilikinya tepatnya tahun 1982.
Pria
kelahiran Makassar, 5 Maret 1965 ini menulis ulang semua artikel yang telah
habis dibacanya. Mulai dari berita olahraga yang ada di koran, buku-buku
sejarah, dan artikel cuilan yang menjadi referensinya hingga saat ini. Bahkan
hingga kini semua salinannya masih tertata rapi di almari kuno yanga ada di
rumah masa kecilnya.
Tak
hanya membaca bacaan tentang sejarah, Sugeng juga tak pernah ketinggalan
menyaksikan pertunjukan budaya yang digelar di desanya. Bahkan ada cerita unik
yang saat ini masih jelas terlintas dibenaknya. Sugeng kecil pernah ketiduran
di balik tarub karena menyaksikan ketoprak hingga larut malam.
"Jam
satu malam bapak saya nyari karena anaknya belum pulang. Ternyata saya
ketiduran di belakang tarub kemudian digendok sama bapak, eh pas pagi sudah ada
di kasur," ujarnya mengenang keasyikan masa lalu.
Kehidupan
di tanah Pekunden mengawali perjalannya menekuni sejarah yang begitu asyik dan
mengesankan. Ia tak ingin melewakan perjalanan panjang ini dengan sia-sia
karena kondisi masyarakat pada waktu itu sudah jauh berbeda dengan saat ini.
Setelah
memunyai banyak referensi dan menyaksikan langsung keluguan masyarakat zaman
dulu sehingga memasuki bangku SMA ia mulai serius mengumpulkan data tentang
sejarah terutama untuk kota Banyumas.
Sugeng
memandang banyak keunikan yang dimiliki kota keripik ini, mulai dari kesenian,
bahasa, hingga dialegnya yang sangat beragam. Sangat disayangkan bagi pria
berkacamata in apabila melewatkan begitu saja tanpa diabadikan melalui sebuah
karya.
Sejarah
semacam inilah yang benar-benar dirasakan Sugeng karena ia tidak sebatas
membaca, mendengarkan dongeng, namun ikut menjadi pelaku secara langsung.
(nurhayatipipit@gmail.com)
Copas Pencurian Hak
Intelektual
BUDAYA
adalah icon daerah yang menjadi warisan luhur dari para pendahulu. Kebiasaan
yang mereka lakukan tentu memunyai banyak makna namun saat ini sudah mulai
pudar bahkan hampir hilang dari peredaran.
Hal
ini juga disebabkan karena kecerdasan manusia dengan olah pikirnya sehingga
menjadikan kebudayaan lain masuk dengan mudah. Tak ada salahnya karena ini
menjadi tolak ukur suatu bangsa untuk terus berkembang menyetarakan diri
terhadap bangsa lain. Namun seharusnya dilakukan tanpa meninggalkan budaya yang
sebelumnya.
Padahal
warisan luhur inilah yang akan dikenal bangsa asing. Ya, disinilah peran Sugeng
Priyadi selaku dosen Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto
(UMP) untuk menularkan virus cinta budaya kepada mahasiswa didiknya.
Sejak
tahun 1988 ia memulai karir menjadi dosen sejarah di kampus biru ini. Karirnya
terus berkembang mengingat latar belakangnya sejak kecil menyukai sejarah dan
budaya. Hingga ia menduduki jabatan Lektor Kepala fokusnya tetap berada pada
disiplin ilmu sejarah lokal.
Kecintaan
terhadap sejarah memang dikenal pria ini sejak kecil, itu pula yang menuntunnya
untuk fokus pada bidang ini saat duduk di bangku kuliah strata satu (S1).
Setelah menamatkan S1 di IKIP Semarang tahun 1988 kemudian Sugeng muda
melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya di Universitas Gajah Mada (UGM).
Keberuntungan
memang selalu berpihak padanya karena setelah lulus S1 pria ini langsung
menjadi dosen di UMP.
Banyak
penelitian yang dilakukan terutama berkaitan dengan bidang ilmu sosial ini,
hingga memasuki pendidikan pada jenjang strata tiga ia mendapat pembiayaan
untuk melakukan disertasi dari Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (TKHD)
Jakarta. Tahun 2010 gelar doktor langsung disandangnya.
Sebagai
pelaku pendidikan yang hampir setiap hari menjumpai kegiatan menulis, mengajar,
dan berinteraksi langsung dengan mahasiswa mengharuskan bapak dua anak ini
membukukan beberapa tulisannya.
Ia
terus membuka-buka file lawas sebagai bahan referensi untuk menerbitkan buku
dan melakukan penelitian berikutnya.
Terbukti
pada tahun 2001 Sugeng menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Makna
Pantangan Sabtu Pahing. Terbitnya buku pertama tentu menjadi kepuasan
tersendiri baginya. Meski yang pertama ini diterbitkan setelah beberapa
tulisannya juga dimuat di media masa dan jurnal terakreditasi di banyak
perguruan tinggi.
Saking
banyaknya karya, sehingga hampir disetiap sudut ruang kediamannya berdiri
sebuah lemari yang berisi koleksi buku dan hasil tulisannya itu. Sebagai bukti
fisik hingga saat ini terhitung telah terbit 12 buku dari hasil keringatnya
sendiri dan menjadi bahan ajar wajib bagi beberapa perguruan tinggi lain.
Namun
dari banyaknya karya tak ada satu pun yang ia upload ke dunia maya karena buku
ini diperuntukkan terutama bagi insan akademisi.
"Banyak
orang yang menggunakan referensi dari buku saya tapi ngga saya upload di
internet. Karena media ini akan membodohi terutama bagi kalangan yang suka
dengan hal praktis. Copy paste (copas) adalah pencurian terhadap hak
intelektual," kata Sugeng.
Budaya
semacam ini pula yang menjadi faktor lunturnya kebudayaan daerah. Sejarah tak
lagi mereka kenal karena untuk mendapatkan pengetahuan sangatlah mudah.
Media
ini tidak menciptakan kreativitas karena hanya menjadi pelengkap saat
menyelesaikan tugas saja. Pelakunya tak lagi menginginkan bacaan untuk menambah
pengetahuan atau sejarah pada masa lampau.
Kalangan
yang menganut budaya semacam ini baru sebatas melakukan komunikasi secara lisan
(ngobrol) padahal untuk menambah pengetahuan mereka harus mencari informasi
melalui media lain satu diantaranya dengan membaca.
Kegiatan
membaca akan menginspirasi setiap karya yang dihasilkan. Karena otak akan
selalu bekerja dan memori akan terus membuka file-file lama.
Ia
menyontohkan diri bahwa dengan membaca untuk mencari pengetahuan baru akan
lebih menguntungkan ketimbang hanya copy paste. Terbukti dalam satu waktu ia
bisa melakukan penelitian lebih dari satu judul atau bahkan sembari meneliti
suatu daerah, juga dibarengi dengan kegiatan menulis buku.
"Sempat
dimarahi sama promotor karena saat disertasi sambil melakukan penelitian ke
lapangan. Pernah juga menyicipi membuat satu buku dalam waktu dua minggu ya
dengan kesibukan yang lain juga," kata dia.
Meski
demikian hal ini menurutnya malah akan menambah semangat dan terus mengasah
pikiran. Menurutnya, seharusnya dosen tak hanya fokus ngelus-elus disertasi
saja namun sambil melakukan penelitian lain.
Seperti
pepatah Jawa yang dipegangnya berbunyi "Wong sing temen bakal tinemu"
artinya bahwa orang yang bersungguh-sungguh mencari akan menemukan apa yang
dicarinya. (fitri nurhayati)
Glewehan Dengan
Mahasiswa Sudah Biasa
SEMAKIN
tinggi jabatan seseorang sudah sepantasnya ia mampu menghargai orang lain siapa
pun itu. Sifat ini akan menggambarkan bahwa wibawanya semakin menjadi karena
srawung dengan orang lain.
Sosok
Sugeng Priyadi, meski sudah dibilang berkecukupan bahkan seolah apapun bisa
didapatnya namun sifat srawungnya tetap ditunjukkan terutama saat bersama
dengan mahasiswa.
Seperti
yang disampaikan Agni Priambodo, mahasiswa Sejarah UMP bahwa kedekatan dosennya
yang satu ini seolah tak ada jarak dengan mahasiswa.
"Kalau
di kelas ya dosen tapi kalau sudah di luar kelas kayak temen biasa. Ngobrol,
diskusi, glewehan, ya orangnya emang enakan," kata Agni, Sabtu (1/9)
Sugeng
memunyai gaya belajar sendiri yang berkesan dalam ingatan mahasiswa. Dosen yang
jago pada mata kuliah Sejarah Lokal ini lebih sering melakukan pembelajaran
dengan bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai pelaku sejarah. Di samping
dengan mengacu pada beberapa bahan ajar lain sebagai referensi, meski ia pun
juga sebagai penulis buku.
Seperti
motto Cabang Olahraga (Cabor) Catur pada Pekan Olahraga Cacat Nasional
(Porcanas) XIII 2008 yang dianut Sugeng dalam melakukan interaksi terhadap
sesama berbunyi Gens una sumus yang berarti bahwa Kami adalah satu. Tidak ada
pembeda diantara mereka meskipun saat berada di dalam kelas mereka tetap
memosisikan diri pada perannya masing-masing. (pit)
BioProfil:
Nama
: Dr Sugeng Priyadi MHum
Ttl
: Makassar, 5 Maret 1965
Alamat
: Jalan Senopati Gang Hikmah 22, Arcawinangun Rt 01/VI Purwokerto
Istri
: Dini Siswani Mulia SPi MSi
Anak : Naufal Magavan Muhammad Priyadi
Kaifa
Mahardhika Muhammad Priyadi
Profesi
: Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)
Jabatan
: Lektor Kepala FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)
Riwayat
Pendidikan :
SD
N 1 Pekunden, Banyumas (1977)
SMP
N 1 Banyumas (1981)
SMA
N 2 Purwokerto (1984) diterima PMDK
S1 Pendidikan Sejarah IKIP Semarang (1988)
S2
Sastra Indonesia dan Jawa, Universitas Gajah Mada (UGM, 1995)
S3
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM, 2010)
Telah
menulis 12 buku sejak tahun 2001, diantaranya:
Tinjauan
Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas (2002)
Sejarah
Intelektual Banyumas (2007)
Sejarah
Mentalitas Brebes (2009)
Sejarah
Tradisi Penjamasan Pusaka Kalisalak dan Kalibening (Banyumas) 2011
Sejarah
Lokal (2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar