Kamis, 11 April 2013

Saya Termasuk Anak yang Nyrandu

Dr Sugeng Priyadi MHum


Berbicara tentang sejarah memang tidak akan ada habisnya. Seperti yang dirasakan peneliti sejarah lokal, Dr Sugeng Priyadi MHum.
Betapa tidak, kejadian dimasa lampau akan disebut sejarah apabila diulas pada masa sekarang. Begitu juga dengan kejadian yang sedang terjadi saat ini akan menjadi sejarah pula dalam beberapa tahun mendatang.
Entah apapun yang terjadi atau hanya sebatas hal kecil, bahkan tidak begitu terasa di masyarakat. Semua akan tercover dengan label sejarah. Peneliti yang satu ini perjalanan sejarah dari kaca mata ilmiah. Tak heran jika segala kejadian di masa lampau sedang dikemasnya melalui penelitian.
Pria yang telah menamatkan doktornya di Universitas Gajah Mada (UGM) ini awalnya ia memulai penelitian di tanah pijakannya semasa kecil, Desa Kepunden, Banyumas namanya.
Waktu itu pengetahuan tentang sejarah banyak berdatangan dengan mudah, karena budaya pada eranya sangat kental ketimbang yang dirasakannya sekarang. Terlebih kedekatannya dengan sang bapak yang juga menekuni berbagai kesenian daerah sehingga apabila diceritakan saat ini juga menjadi catatan sejarah.
Latar belakang pekerjaan sang bapak berprofesi sebagai POLRI, namun meski menjadi abdi negara tetap giat melakukan kesenian daerah. Setelah ia menyaksikan aktivitas sang bapak muncullah ketertarikan untuk nimbrung ikut mendengarkan pembicaraan orang tua.
"Saya termasuk anak yang nyrandu, jadi kalau ada orang tua lagi pada ngobrol saya ikut nimbrung saja meski hanya diam dan mendengarkan. Kalau orang zaman dulu ngobrolnya tentang sejarah, kerajaan, dan kebudayaan," kata Sugeng dengan pembawaan tenang.
Sugeng kecil mulai tertarik melihat dua peti buku milik bapaknya. Karena rasa keingintahuan yang kian menggebu kemudian ia mulai membaca satu per satu. Bahkan saking asyiknya, ia menulis ulang setiap lembarnya menggunakan mesin ketik manual. Maklum pada eranya baru ada mesin ketik manual bahkan itu pun terbilang mewah karena tak semua orang memilikinya tepatnya tahun 1982.
Pria kelahiran Makassar, 5 Maret 1965 ini menulis ulang semua artikel yang telah habis dibacanya. Mulai dari berita olahraga yang ada di koran, buku-buku sejarah, dan artikel cuilan yang menjadi referensinya hingga saat ini. Bahkan hingga kini semua salinannya masih tertata rapi di almari kuno yanga ada di rumah masa kecilnya.
Tak hanya membaca bacaan tentang sejarah, Sugeng juga tak pernah ketinggalan menyaksikan pertunjukan budaya yang digelar di desanya. Bahkan ada cerita unik yang saat ini masih jelas terlintas dibenaknya. Sugeng kecil pernah ketiduran di balik tarub karena menyaksikan ketoprak hingga larut malam.
"Jam satu malam bapak saya nyari karena anaknya belum pulang. Ternyata saya ketiduran di belakang tarub kemudian digendok sama bapak, eh pas pagi sudah ada di kasur," ujarnya mengenang keasyikan masa lalu.
Kehidupan di tanah Pekunden mengawali perjalannya menekuni sejarah yang begitu asyik dan mengesankan. Ia tak ingin melewakan perjalanan panjang ini dengan sia-sia karena kondisi masyarakat pada waktu itu sudah jauh berbeda dengan saat ini.
Setelah memunyai banyak referensi dan menyaksikan langsung keluguan masyarakat zaman dulu sehingga memasuki bangku SMA ia mulai serius mengumpulkan data tentang sejarah terutama untuk kota Banyumas.
Sugeng memandang banyak keunikan yang dimiliki kota keripik ini, mulai dari kesenian, bahasa, hingga dialegnya yang sangat beragam. Sangat disayangkan bagi pria berkacamata in apabila melewatkan begitu saja tanpa diabadikan melalui sebuah karya.
Sejarah semacam inilah yang benar-benar dirasakan Sugeng karena ia tidak sebatas membaca, mendengarkan dongeng, namun ikut menjadi pelaku secara langsung. (nurhayatipipit@gmail.com)

Copas Pencurian Hak Intelektual
BUDAYA adalah icon daerah yang menjadi warisan luhur dari para pendahulu. Kebiasaan yang mereka lakukan tentu memunyai banyak makna namun saat ini sudah mulai pudar bahkan hampir hilang dari peredaran.
Hal ini juga disebabkan karena kecerdasan manusia dengan olah pikirnya sehingga menjadikan kebudayaan lain masuk dengan mudah. Tak ada salahnya karena ini menjadi tolak ukur suatu bangsa untuk terus berkembang menyetarakan diri terhadap bangsa lain. Namun seharusnya dilakukan tanpa meninggalkan budaya yang sebelumnya.
Padahal warisan luhur inilah yang akan dikenal bangsa asing. Ya, disinilah peran Sugeng Priyadi selaku dosen Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) untuk menularkan virus cinta budaya kepada mahasiswa didiknya.
Sejak tahun 1988 ia memulai karir menjadi dosen sejarah di kampus biru ini. Karirnya terus berkembang mengingat latar belakangnya sejak kecil menyukai sejarah dan budaya. Hingga ia menduduki jabatan Lektor Kepala fokusnya tetap berada pada disiplin ilmu sejarah lokal.
Kecintaan terhadap sejarah memang dikenal pria ini sejak kecil, itu pula yang menuntunnya untuk fokus pada bidang ini saat duduk di bangku kuliah strata satu (S1). Setelah menamatkan S1 di IKIP Semarang tahun 1988 kemudian Sugeng muda melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya di Universitas Gajah Mada (UGM).
Keberuntungan memang selalu berpihak padanya karena setelah lulus S1 pria ini langsung menjadi dosen di UMP.
Banyak penelitian yang dilakukan terutama berkaitan dengan bidang ilmu sosial ini, hingga memasuki pendidikan pada jenjang strata tiga ia mendapat pembiayaan untuk melakukan disertasi dari Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (TKHD) Jakarta. Tahun 2010 gelar doktor langsung disandangnya.
Sebagai pelaku pendidikan yang hampir setiap hari menjumpai kegiatan menulis, mengajar, dan berinteraksi langsung dengan mahasiswa mengharuskan bapak dua anak ini membukukan beberapa tulisannya.
Ia terus membuka-buka file lawas sebagai bahan referensi untuk menerbitkan buku dan melakukan penelitian berikutnya.
Terbukti pada tahun 2001 Sugeng menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Makna Pantangan Sabtu Pahing. Terbitnya buku pertama tentu menjadi kepuasan tersendiri baginya. Meski yang pertama ini diterbitkan setelah beberapa tulisannya juga dimuat di media masa dan jurnal terakreditasi di banyak perguruan tinggi.
Saking banyaknya karya, sehingga hampir disetiap sudut ruang kediamannya berdiri sebuah lemari yang berisi koleksi buku dan hasil tulisannya itu. Sebagai bukti fisik hingga saat ini terhitung telah terbit 12 buku dari hasil keringatnya sendiri dan menjadi bahan ajar wajib bagi beberapa perguruan tinggi lain.
Namun dari banyaknya karya tak ada satu pun yang ia upload ke dunia maya karena buku ini diperuntukkan terutama bagi insan akademisi.
"Banyak orang yang menggunakan referensi dari buku saya tapi ngga saya upload di internet. Karena media ini akan membodohi terutama bagi kalangan yang suka dengan hal praktis. Copy paste (copas) adalah pencurian terhadap hak intelektual," kata Sugeng.
Budaya semacam ini pula yang menjadi faktor lunturnya kebudayaan daerah. Sejarah tak lagi mereka kenal karena untuk mendapatkan pengetahuan sangatlah mudah.
Media ini tidak menciptakan kreativitas karena hanya menjadi pelengkap saat menyelesaikan tugas saja. Pelakunya tak lagi menginginkan bacaan untuk menambah pengetahuan atau sejarah pada masa lampau.
Kalangan yang menganut budaya semacam ini baru sebatas melakukan komunikasi secara lisan (ngobrol) padahal untuk menambah pengetahuan mereka harus mencari informasi melalui media lain satu diantaranya dengan membaca.
Kegiatan membaca akan menginspirasi setiap karya yang dihasilkan. Karena otak akan selalu bekerja dan memori akan terus membuka file-file lama.
Ia menyontohkan diri bahwa dengan membaca untuk mencari pengetahuan baru akan lebih menguntungkan ketimbang hanya copy paste. Terbukti dalam satu waktu ia bisa melakukan penelitian lebih dari satu judul atau bahkan sembari meneliti suatu daerah, juga dibarengi dengan kegiatan menulis buku.
"Sempat dimarahi sama promotor karena saat disertasi sambil melakukan penelitian ke lapangan. Pernah juga menyicipi membuat satu buku dalam waktu dua minggu ya dengan kesibukan yang lain juga," kata dia.
Meski demikian hal ini menurutnya malah akan menambah semangat dan terus mengasah pikiran. Menurutnya, seharusnya dosen tak hanya fokus ngelus-elus disertasi saja namun sambil melakukan penelitian lain.
Seperti pepatah Jawa yang dipegangnya berbunyi "Wong sing temen bakal tinemu" artinya bahwa orang yang bersungguh-sungguh mencari akan menemukan apa yang dicarinya. (fitri nurhayati)

Glewehan Dengan Mahasiswa Sudah Biasa
SEMAKIN tinggi jabatan seseorang sudah sepantasnya ia mampu menghargai orang lain siapa pun itu. Sifat ini akan menggambarkan bahwa wibawanya semakin menjadi karena srawung dengan orang lain.
Sosok Sugeng Priyadi, meski sudah dibilang berkecukupan bahkan seolah apapun bisa didapatnya namun sifat srawungnya tetap ditunjukkan terutama saat bersama dengan mahasiswa.
Seperti yang disampaikan Agni Priambodo, mahasiswa Sejarah UMP bahwa kedekatan dosennya yang satu ini seolah tak ada jarak dengan mahasiswa.
"Kalau di kelas ya dosen tapi kalau sudah di luar kelas kayak temen biasa. Ngobrol, diskusi, glewehan, ya orangnya emang enakan," kata Agni, Sabtu (1/9)
Sugeng memunyai gaya belajar sendiri yang berkesan dalam ingatan mahasiswa. Dosen yang jago pada mata kuliah Sejarah Lokal ini lebih sering melakukan pembelajaran dengan bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai pelaku sejarah. Di samping dengan mengacu pada beberapa bahan ajar lain sebagai referensi, meski ia pun juga sebagai penulis buku.
Seperti motto Cabang Olahraga (Cabor) Catur pada Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) XIII 2008 yang dianut Sugeng dalam melakukan interaksi terhadap sesama berbunyi Gens una sumus yang berarti bahwa Kami adalah satu. Tidak ada pembeda diantara mereka meskipun saat berada di dalam kelas mereka tetap memosisikan diri pada perannya masing-masing. (pit)

BioProfil:
Nama   : Dr Sugeng Priyadi MHum
Ttl        : Makassar, 5 Maret 1965
Alamat : Jalan Senopati Gang Hikmah 22, Arcawinangun Rt 01/VI Purwokerto
Istri      : Dini Siswani Mulia SPi MSi
Anak    : Naufal Magavan Muhammad Priyadi
              Kaifa Mahardhika Muhammad Priyadi
Profesi : Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)
Jabatan : Lektor Kepala FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)
Riwayat Pendidikan :
SD N 1 Pekunden, Banyumas (1977)
SMP N 1 Banyumas (1981)
SMA N 2 Purwokerto (1984) diterima PMDK
S1  Pendidikan Sejarah IKIP Semarang (1988)
S2 Sastra Indonesia dan Jawa, Universitas Gajah Mada (UGM, 1995)
S3 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM, 2010)

Telah menulis 12 buku sejak tahun 2001, diantaranya:
Tinjauan Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas (2002)
Sejarah Intelektual Banyumas (2007)
Sejarah Mentalitas Brebes (2009)
Sejarah Tradisi Penjamasan Pusaka Kalisalak dan Kalibening (Banyumas) 2011
Sejarah Lokal (2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar