Kamis, 11 April 2013

Rela Lepas Seragam PNS



Sudrajat

SAAT kebanyakan orang berbondong-bondong menganteri untuk mendapat giliran menjadi pegawai negeri sipil (PNS), Sudrajat malah melepasnya begitu saja. Ini dikarenakan ia lebih tergiur untuk bekerja di dunia perbankan.
Pria yang kini menjabat sebagai pimpinan cabang BRI Purwokerto awalnya melamar pekerjaan menjadi karyawan bank. Namun panggilan kerja ternyata tak kunjung menghampiri hingga ia memutuskan untuk memilih pekerjaan lain yang sedang ada peluang besar.
"Saya pernah kerja di perum perhutani, dinas pendidikan, perusahaan asuransi, sampai jadi guru SMEA juga pernah. Sempat diangkat menjadi PNS tapi setelah tiga tahun melamar jadi karyawan ternyata mendapat panggilan juga," kata Sudrajat.
Sedang merasa nyaman dengan profesinya sebagai PNS, ternyata tiga tahun lamaran pekerjaannya mendapat respon. Sempat bapak satu anak ini merasa galau untuk memilih diantara keduanya. Saat curhat dengan orangtua, waktu itu keputusan sepenuhnya dilimpahkan pada Sudrajat untuk memilihnya.  
Pria yang akrab disapa Pak Drajat ini kemudian memberanikan diri untuk melepas bajunya sebagai PNS menjadi seragam perbankan tahun 1981. Dukungan dari orang terdekat pun terus berdatangan hingga ia kembali merasa nyaman di dunia kerjanya yang baru.
Awal-awal menjalani karir sebagai karyawan bank tentu harus beradaptasi dengan lingkungan. Terlebih dengan seabreg pekerjaan yang menantinya, namun semua itu dapat dilewatinya dengan enjoy. Hal ini dikarenakan pengalamannya yang sudah melanglang di berbagai perusahaan terutama menjadi marketing. Pengalaman ini pula yang menjadi bekal sehingga tak sulit baginya untuk sekedar menyelesaikan setumpuk pekerjaan dimeja yang baru waktu.
Tak hanya itu sebagai lulusan dari FISIP tentu ia juga memunyai banyak sangu untuk berkomunikasi dengan baik terutama kepada rekan sejawatnya dan para nasabah. Hingga pria kelahiran Temanggung ini bisa terus meraih suksesnya sampai pada jabatan pimpinan cabang yang menjadi kebanggan tersendiri. Baginya dimanapun ia berada, sekalipun lingkungan yang baru dikenalnya yang terpenting adalah pandai beradaptasi dan saling menghormati dengan sesame. (nurhayatipipit@gmail.com)

Mengabdi di Kota Kelahiran Banknya
TENANG dalam pembawaan menjadi daya tarik tersendiri bagi seorang pemimpin terutama saat berkomunikasi dengan orang lain. Karakter semacam ini juga yang nampak dari wajah Sudrajat saat berkomunikasi dengan karyawan dan nasabahnya.
Di setiap tempat tugasnya ia selalu meninggalkan jejak yang berkesan karena komunikasinya yang baik dengan orang lain. Hal pula yang diyakini dapat mendatangkan kenyamanan dimanapun berada.
Pria asal Temanggung ini memunyai kesan tersendiri dengan daerah persinggahannya yaitu di Kalimantan tahun 2004 sampai 2008. Kebudayaan di daerah setempat tentu sangat berbeda dengan daerah asalnya. Namun Drajat dapat menaklukannya dengan interaksi yang baik.
"Memang ini menjadi sebuah tuntutan namun sebenarnya semua itu berasal dari jiwa kita masing-masing. Di Kalimantan budayanya unik dengan suku Banjarnya, banyak transmigran sehingga saya dapat menjumpai banyak karakter yang sangat beranekaragam," kata dia.
Kesuksesan yang diraihnya ini dulunya juga berkiblat pada seorang tetangganya. Drajat melihat bahwa bekerja diperbankan nyaman dan menyenangkan. Dengan berpakaian rapi dan image di masyarakat yang baik pula. Lantas ia juga menjatuhkan pilihan untuk bekerja di tempat yang sama.
Banyak tempat yang pernah disinggahinya mulai dari daerah asalnya yaitu BRI Parakan Temanggung, kemudian dipindahkan ke Jawa Timur tahun 1992. Setelah itu singgah di Sleman, Cirebon, Cepu, dan Solo. Berlanjut tahun 2001 menjajal kota Tasikmalaya dan Cianjur.
Hingga pengabdiannya ini dipercaya untuk memegang jabatan sebagai pimpinan cabang dan ditempatkan di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Tak cukup sampai disitu perusahaan berlanjut menempatkannya di Medan dan Ponorogo. Hingga tahun 2011 ia dikembalikan lagi dengan penempatan di daerah yang tak jauh dengan kampung halaman yaitu Purwokerto.
Disini pula yang menjadi kebanggaan tersendiri, kata Drajat karena ia berkesempatan ditempatkan di Purwokerto sebagai tempat cikal bakal lahirnya perbankan tempatnya bekerja. Jalan Wiryaatmaja menjadi tempat bersejarah yang memunyai kenangan tersendiri baginya dan bank berplat merah ini. (fitri nurhayati)

BioFile:

Nama: Drs H Sudrajat
TTL : Temanggung, 1 November 1958
Alamat : Jalan A Yani nomor 28A Purwokerto
Pendidikan : S1 FISIP
Istri : Hj Ngesti Nur Iriani
Anak: Nur Anisa Aprilia (17)
Profesi: Pimpinan Cabang BRI Purwokerto

Dari Satpam Kini Jadi Deputi BI



Rusly Albas
WAJAH sumringah selalu ditampilkan Rusly setiap kali berjumpa dengan koleganya. Ia selalu tersenyum meski tekanan kerja yang dialaminya cukup tinggi. Mengingat jabatannya sebagai Deputi Bank Indonesia (BI) Kantor Perwakilan Purwokerto mengharuskan dirinya selalu bekerja ekstra. Hal inilah yang menjadikan Rusly selalu disegani stafnya sehingga ia dikenal dengan pribadi yang ramah.
Pemilik nama lengkap Rusly Albas ini mengawali karir di tanah kelahirannya, Lhokseumawe. Menjabat posisi strategis di BI sebenarnya bukanlah cita-cita sejak kecil. Pria kelahiran 5 April 1959 ini sejak kecil berkeinginan masuk militer.
Setelah menamatkan sekolah di SMAN Lhokseumawe, Rusly remaja mendaftarkan diri ke AKABRI. Sayang, usahanya gagal saat menjumpai ujian terakhir.
Jiwa mudanya waktu itu masih menggebu sehingga ia melanjutkan pencarian kariernya di setiap lini. Kebetulan, kata dia, BI Lhokseumawe membuka lowongan pekerjaan.
"Dengan bermodal ijazah SMA tentu tidak cukup untuk mendapat jabatan strategis di BI. Saya dipekerjakan di sana tapi sebagai satpam. Tapi itu sama sekali tak masalah bagi saya," kata Rusly mengenang perjalanan karirnya.
Selama 15 tahun, Rusly muda menjalani hari-harinya duduk di pos security. Menerima tamu kemudian mengantarnya masuk ruangan serta memberi pelayanan layaknya satpam yang lain. Seperti tak pernah patah semangat, ia berusaha keras untuk bisa melanjutkan pendidikan agar bisa mengubah nasib.
Sembari bekerja, pria berkacamata ini melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Malikussaleh yang kini telah berganti nama menjadi Universitas Malikussaleh. Hingga tahun 1989, ia berhasil meraih gelar sarjana dan menjadi kebanggaan tersendiri. Betapa tidak, gelar ini didapat dari hasil kerja kerasnya sembari terus berjaga di pos.
Keinginannya untuk mengubah nasib seolah menemui titik terang hingga dua tahun kemudian ia naik jabatan menjadi staf BI dan ditempatkan di Sibolga, Sumatera Utara.
"Waktu itu ada promosi jadi saya ikut seleksi dan alhamdulillah diangkat sebagai staf. Jadi seragam saya ganti, nggak lagi pakai baju satpam," kata dia.
Pertama kali bertugas di Sibolga, ia dipercaya menjadi kepala operasional kas dan sumber daya. Hingga tahun 2002 dipindahkan ke BI Banda Aceh dengan posisi yang sama. Loyalitas dalam bekerja ditunjukkannya sehingga prestasi pun didapat sebagai bentuk hadiah dari kinerja selama itu.
Tepat tanggal 1 Juli 2004, suami Nurhayati Budiman tersebut kembali ditugaskan ke Lhokseumawe sebagai kepala seksi. Tempat ini merupakan kampung halaman tercintanya hingga ia bertekad agar bisa memberi manfaat di daerah asal. Kariernya di sini terus naik hingga 15 Oktober 2008, ia naik jabatan menjadi Deputi di Kantor BI Lhokseumawe.
Berkarier di lembaga milik negara seolah membawanya keliling negeri untuk melakukan tugas. Sampailah Rusly di Purwokerto, yang untuk pertama kalinya, dia ngantor di Kota Keripik. Meski sebelumnya, ia pernah bertandang sebentar saja untuk menjalankan tugas.
"Secara pribadi, saya berharap keberadaan saya dapat benar-benar menjalankan tugas yang dipercayakan lembaga sebagai amanah. Sehingga dapat melayani masyarakat sesuai dengan tugas dan tanggung jawab," ujar dia.
Amanah baginya adalah sesuatu yang mudah diucapkan namun sejatinya berat dalam implementasinya. Hal ini dikarenakan pertanggungjawaban amanah bukan hanya kepada lembaga saja, tetapi kata Rusly, hakikatnya adalah di yaumil mahsyar di hadapan mahkamah Allah SWT.(nurhayatipipit@gmail.com)

Tsunami yang Sisakan Banyak Cerita
TSUNAMI Aceh tidak hanya menjadi catatan sejarah bagi bangsa Indonesia. Namun juga menyisakan pengalaman yang mengakar dalam benak Ruly Albas.
Saat itu, selama dua hari, ia sempat lost contact dengan keluarga. Anak, istri, beserta keluarga besarnya ada di Aceh, sedangkan ia baru saja terbang ke Yogyakarta untuk perjalanan dinas.
"Saat terjadi gempa, saya masih ada di Bandara Malikussaleh mau ke Yogyakarta. Saat itu, ada sembilan rumah yang rusak dan seorang tetangga tidak ditemukan. Tapi luar biasa, waktu itu, ketiga anak saya sedang try out di luar kota," kata Rusly.
Mengemban amanah untuk perjalanan dinas tetap harus dilakukannya. Pasalnya, kegiatan ini merupakan tanggungjawabnya. Namun, tak bisa dipungkiri, di sisi lain, dirinya juga cemas lantaran tak ada kabar dari keluarga di Aceh.
Ayah empat anak ini pun hanya mendapat informasi dari televisi saja. Pikirannya waktu itu tentu tak karuan. Sebab, ia harus memikirkan antara tugas dan keluarga tercintanya. Keduanya, tak dapat ia tinggalkan begitu saja.
Selang dua hari kemudian, Rusly mendapat kabar dari kantor, jika tak ada korban tsunami yang berasal dari BI. Setelah mendapat kabar tersebut, ia beranjak diri untuk pulang. Apalagi kantor tempatnya bekerja ini juga harus segera beroperasi kembali.
Tak butuh waktu lama, kantornya kembali normal dan ia tetap berada di belakang meja. Sejak itulah, Rusly kian merasa sangat dekat dengan keluarga beserta mitra kerjanya di kantor. Hingga kemana pun di tugaskan bahkan sampai di Purwokerto, ia tetap memboyong keluarga.
Di Purwokerto, pendatang dari Aceh ini menyaksikan kondisi masyarakat yang cukup eksklusif, santun, ramah, dan tidak mudah terpengaruh dengan provokasi. Sekaligus memperlihatkan kerukunan hidup beragama. Menurutnya, hal ini yang mampu mewujudkan Purwokerto sebagai daerah yang aman dan nyaman bagi siapa pun.
Kondisi yang digambarkan ini jauh berbeda dengan daerah asalnya yang sering terlibat konflik. Bahkan Aceh sempat ditetapkan sebagai daerah darurat militer. Ia pun pernah mendapat ancaman lantaran menjalankan kebijakan yang dianggap merugikan sebagian kalangan.
"Jelas saya merasa terintimidasi waktu itu padahal hanya menjalankan kebijakan saja. Bentuk terornya memang tidak berbentuk fisik, paling ya mereka berbicara keras atau mengancam akan datang ke rumah. Tapi demi menjalankan kewajiban ya saya tetap lanjut saja," kata Rusly.
Dari pengalaman yang didapatnya, ia merasa beruntung ditugaskan di Purwokerto. Pihak kepolisian dan kejaksaan setempat proaktif berkoordinasi dengan lembaganya dalam penanganan berbagai kasus.
Di sini, ia bisa menghabiskan waktu dengan nyaman untuk bekerja sembari berkumpul bersama keluarga. Meski waktunya tak bisa diseimbangkan, baik untuk keluarga, bermasyarakat, maupun istirahat. Bagi dia, hari libur adalah waktu untuk berkumpul bersama keluarga. Biasanya ia lebih memilih jalan-jalan pagi atau bersepeda. (fitri nurhayati)

BioProfil:
Nama   : Rusly Albas
Ttl        : Lhokseumawe, 5 April 1959
Alamat : Jalan Malikussaleh komp BI nomor B Lhokseumawe
Profesi : Deputi Kepala Perwakilan BI Purwokerto
Istri: Nurhayati Budiman
Anak :                        
1. Ayunda Al Qadr Hayati
2. Tarina Al Kautsar
3. Muhammad Hafidh Al Mukmin
4. Muhammad Dzaky Alfajr Dirantona
Pendidikan :
S1 Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Malikussaleh
S2 Program Magister Managemen, Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh
Prestasi :
Juara 1 lomba karya tulis ilmiah se-Indonesia (1987)
Juara 2 lomba resensi buku se-Indonesia (2012)

Saya Termasuk Anak yang Nyrandu

Dr Sugeng Priyadi MHum


Berbicara tentang sejarah memang tidak akan ada habisnya. Seperti yang dirasakan peneliti sejarah lokal, Dr Sugeng Priyadi MHum.
Betapa tidak, kejadian dimasa lampau akan disebut sejarah apabila diulas pada masa sekarang. Begitu juga dengan kejadian yang sedang terjadi saat ini akan menjadi sejarah pula dalam beberapa tahun mendatang.
Entah apapun yang terjadi atau hanya sebatas hal kecil, bahkan tidak begitu terasa di masyarakat. Semua akan tercover dengan label sejarah. Peneliti yang satu ini perjalanan sejarah dari kaca mata ilmiah. Tak heran jika segala kejadian di masa lampau sedang dikemasnya melalui penelitian.
Pria yang telah menamatkan doktornya di Universitas Gajah Mada (UGM) ini awalnya ia memulai penelitian di tanah pijakannya semasa kecil, Desa Kepunden, Banyumas namanya.
Waktu itu pengetahuan tentang sejarah banyak berdatangan dengan mudah, karena budaya pada eranya sangat kental ketimbang yang dirasakannya sekarang. Terlebih kedekatannya dengan sang bapak yang juga menekuni berbagai kesenian daerah sehingga apabila diceritakan saat ini juga menjadi catatan sejarah.
Latar belakang pekerjaan sang bapak berprofesi sebagai POLRI, namun meski menjadi abdi negara tetap giat melakukan kesenian daerah. Setelah ia menyaksikan aktivitas sang bapak muncullah ketertarikan untuk nimbrung ikut mendengarkan pembicaraan orang tua.
"Saya termasuk anak yang nyrandu, jadi kalau ada orang tua lagi pada ngobrol saya ikut nimbrung saja meski hanya diam dan mendengarkan. Kalau orang zaman dulu ngobrolnya tentang sejarah, kerajaan, dan kebudayaan," kata Sugeng dengan pembawaan tenang.
Sugeng kecil mulai tertarik melihat dua peti buku milik bapaknya. Karena rasa keingintahuan yang kian menggebu kemudian ia mulai membaca satu per satu. Bahkan saking asyiknya, ia menulis ulang setiap lembarnya menggunakan mesin ketik manual. Maklum pada eranya baru ada mesin ketik manual bahkan itu pun terbilang mewah karena tak semua orang memilikinya tepatnya tahun 1982.
Pria kelahiran Makassar, 5 Maret 1965 ini menulis ulang semua artikel yang telah habis dibacanya. Mulai dari berita olahraga yang ada di koran, buku-buku sejarah, dan artikel cuilan yang menjadi referensinya hingga saat ini. Bahkan hingga kini semua salinannya masih tertata rapi di almari kuno yanga ada di rumah masa kecilnya.
Tak hanya membaca bacaan tentang sejarah, Sugeng juga tak pernah ketinggalan menyaksikan pertunjukan budaya yang digelar di desanya. Bahkan ada cerita unik yang saat ini masih jelas terlintas dibenaknya. Sugeng kecil pernah ketiduran di balik tarub karena menyaksikan ketoprak hingga larut malam.
"Jam satu malam bapak saya nyari karena anaknya belum pulang. Ternyata saya ketiduran di belakang tarub kemudian digendok sama bapak, eh pas pagi sudah ada di kasur," ujarnya mengenang keasyikan masa lalu.
Kehidupan di tanah Pekunden mengawali perjalannya menekuni sejarah yang begitu asyik dan mengesankan. Ia tak ingin melewakan perjalanan panjang ini dengan sia-sia karena kondisi masyarakat pada waktu itu sudah jauh berbeda dengan saat ini.
Setelah memunyai banyak referensi dan menyaksikan langsung keluguan masyarakat zaman dulu sehingga memasuki bangku SMA ia mulai serius mengumpulkan data tentang sejarah terutama untuk kota Banyumas.
Sugeng memandang banyak keunikan yang dimiliki kota keripik ini, mulai dari kesenian, bahasa, hingga dialegnya yang sangat beragam. Sangat disayangkan bagi pria berkacamata in apabila melewatkan begitu saja tanpa diabadikan melalui sebuah karya.
Sejarah semacam inilah yang benar-benar dirasakan Sugeng karena ia tidak sebatas membaca, mendengarkan dongeng, namun ikut menjadi pelaku secara langsung. (nurhayatipipit@gmail.com)

Copas Pencurian Hak Intelektual
BUDAYA adalah icon daerah yang menjadi warisan luhur dari para pendahulu. Kebiasaan yang mereka lakukan tentu memunyai banyak makna namun saat ini sudah mulai pudar bahkan hampir hilang dari peredaran.
Hal ini juga disebabkan karena kecerdasan manusia dengan olah pikirnya sehingga menjadikan kebudayaan lain masuk dengan mudah. Tak ada salahnya karena ini menjadi tolak ukur suatu bangsa untuk terus berkembang menyetarakan diri terhadap bangsa lain. Namun seharusnya dilakukan tanpa meninggalkan budaya yang sebelumnya.
Padahal warisan luhur inilah yang akan dikenal bangsa asing. Ya, disinilah peran Sugeng Priyadi selaku dosen Pendidikan Sejarah, Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP) untuk menularkan virus cinta budaya kepada mahasiswa didiknya.
Sejak tahun 1988 ia memulai karir menjadi dosen sejarah di kampus biru ini. Karirnya terus berkembang mengingat latar belakangnya sejak kecil menyukai sejarah dan budaya. Hingga ia menduduki jabatan Lektor Kepala fokusnya tetap berada pada disiplin ilmu sejarah lokal.
Kecintaan terhadap sejarah memang dikenal pria ini sejak kecil, itu pula yang menuntunnya untuk fokus pada bidang ini saat duduk di bangku kuliah strata satu (S1). Setelah menamatkan S1 di IKIP Semarang tahun 1988 kemudian Sugeng muda melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya di Universitas Gajah Mada (UGM).
Keberuntungan memang selalu berpihak padanya karena setelah lulus S1 pria ini langsung menjadi dosen di UMP.
Banyak penelitian yang dilakukan terutama berkaitan dengan bidang ilmu sosial ini, hingga memasuki pendidikan pada jenjang strata tiga ia mendapat pembiayaan untuk melakukan disertasi dari Yayasan Keluarga Hashim Djojohadikusumo (TKHD) Jakarta. Tahun 2010 gelar doktor langsung disandangnya.
Sebagai pelaku pendidikan yang hampir setiap hari menjumpai kegiatan menulis, mengajar, dan berinteraksi langsung dengan mahasiswa mengharuskan bapak dua anak ini membukukan beberapa tulisannya.
Ia terus membuka-buka file lawas sebagai bahan referensi untuk menerbitkan buku dan melakukan penelitian berikutnya.
Terbukti pada tahun 2001 Sugeng menerbitkan buku pertamanya yang berjudul Makna Pantangan Sabtu Pahing. Terbitnya buku pertama tentu menjadi kepuasan tersendiri baginya. Meski yang pertama ini diterbitkan setelah beberapa tulisannya juga dimuat di media masa dan jurnal terakreditasi di banyak perguruan tinggi.
Saking banyaknya karya, sehingga hampir disetiap sudut ruang kediamannya berdiri sebuah lemari yang berisi koleksi buku dan hasil tulisannya itu. Sebagai bukti fisik hingga saat ini terhitung telah terbit 12 buku dari hasil keringatnya sendiri dan menjadi bahan ajar wajib bagi beberapa perguruan tinggi lain.
Namun dari banyaknya karya tak ada satu pun yang ia upload ke dunia maya karena buku ini diperuntukkan terutama bagi insan akademisi.
"Banyak orang yang menggunakan referensi dari buku saya tapi ngga saya upload di internet. Karena media ini akan membodohi terutama bagi kalangan yang suka dengan hal praktis. Copy paste (copas) adalah pencurian terhadap hak intelektual," kata Sugeng.
Budaya semacam ini pula yang menjadi faktor lunturnya kebudayaan daerah. Sejarah tak lagi mereka kenal karena untuk mendapatkan pengetahuan sangatlah mudah.
Media ini tidak menciptakan kreativitas karena hanya menjadi pelengkap saat menyelesaikan tugas saja. Pelakunya tak lagi menginginkan bacaan untuk menambah pengetahuan atau sejarah pada masa lampau.
Kalangan yang menganut budaya semacam ini baru sebatas melakukan komunikasi secara lisan (ngobrol) padahal untuk menambah pengetahuan mereka harus mencari informasi melalui media lain satu diantaranya dengan membaca.
Kegiatan membaca akan menginspirasi setiap karya yang dihasilkan. Karena otak akan selalu bekerja dan memori akan terus membuka file-file lama.
Ia menyontohkan diri bahwa dengan membaca untuk mencari pengetahuan baru akan lebih menguntungkan ketimbang hanya copy paste. Terbukti dalam satu waktu ia bisa melakukan penelitian lebih dari satu judul atau bahkan sembari meneliti suatu daerah, juga dibarengi dengan kegiatan menulis buku.
"Sempat dimarahi sama promotor karena saat disertasi sambil melakukan penelitian ke lapangan. Pernah juga menyicipi membuat satu buku dalam waktu dua minggu ya dengan kesibukan yang lain juga," kata dia.
Meski demikian hal ini menurutnya malah akan menambah semangat dan terus mengasah pikiran. Menurutnya, seharusnya dosen tak hanya fokus ngelus-elus disertasi saja namun sambil melakukan penelitian lain.
Seperti pepatah Jawa yang dipegangnya berbunyi "Wong sing temen bakal tinemu" artinya bahwa orang yang bersungguh-sungguh mencari akan menemukan apa yang dicarinya. (fitri nurhayati)

Glewehan Dengan Mahasiswa Sudah Biasa
SEMAKIN tinggi jabatan seseorang sudah sepantasnya ia mampu menghargai orang lain siapa pun itu. Sifat ini akan menggambarkan bahwa wibawanya semakin menjadi karena srawung dengan orang lain.
Sosok Sugeng Priyadi, meski sudah dibilang berkecukupan bahkan seolah apapun bisa didapatnya namun sifat srawungnya tetap ditunjukkan terutama saat bersama dengan mahasiswa.
Seperti yang disampaikan Agni Priambodo, mahasiswa Sejarah UMP bahwa kedekatan dosennya yang satu ini seolah tak ada jarak dengan mahasiswa.
"Kalau di kelas ya dosen tapi kalau sudah di luar kelas kayak temen biasa. Ngobrol, diskusi, glewehan, ya orangnya emang enakan," kata Agni, Sabtu (1/9)
Sugeng memunyai gaya belajar sendiri yang berkesan dalam ingatan mahasiswa. Dosen yang jago pada mata kuliah Sejarah Lokal ini lebih sering melakukan pembelajaran dengan bercerita tentang pengalaman hidupnya sebagai pelaku sejarah. Di samping dengan mengacu pada beberapa bahan ajar lain sebagai referensi, meski ia pun juga sebagai penulis buku.
Seperti motto Cabang Olahraga (Cabor) Catur pada Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) XIII 2008 yang dianut Sugeng dalam melakukan interaksi terhadap sesama berbunyi Gens una sumus yang berarti bahwa Kami adalah satu. Tidak ada pembeda diantara mereka meskipun saat berada di dalam kelas mereka tetap memosisikan diri pada perannya masing-masing. (pit)

BioProfil:
Nama   : Dr Sugeng Priyadi MHum
Ttl        : Makassar, 5 Maret 1965
Alamat : Jalan Senopati Gang Hikmah 22, Arcawinangun Rt 01/VI Purwokerto
Istri      : Dini Siswani Mulia SPi MSi
Anak    : Naufal Magavan Muhammad Priyadi
              Kaifa Mahardhika Muhammad Priyadi
Profesi : Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)
Jabatan : Lektor Kepala FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP)
Riwayat Pendidikan :
SD N 1 Pekunden, Banyumas (1977)
SMP N 1 Banyumas (1981)
SMA N 2 Purwokerto (1984) diterima PMDK
S1  Pendidikan Sejarah IKIP Semarang (1988)
S2 Sastra Indonesia dan Jawa, Universitas Gajah Mada (UGM, 1995)
S3 Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada (UGM, 2010)

Telah menulis 12 buku sejak tahun 2001, diantaranya:
Tinjauan Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas (2002)
Sejarah Intelektual Banyumas (2007)
Sejarah Mentalitas Brebes (2009)
Sejarah Tradisi Penjamasan Pusaka Kalisalak dan Kalibening (Banyumas) 2011
Sejarah Lokal (2011)