Acara pemberkatan di Klenteng Hok Tek Bio beberapa waktu lalu_Pipit |
* Beberapa orang keluar dari deretan mobil yang diparkir di halaman depan Klenteng Hok Tek Bio Purwokerto. Kebanyakan orang ini mengenakan pakaian ala Tionghoa yang didominasi warna merah. Dengan rapi mereka memasuki ruang Klenteng yang di dalamnya terlihat beberapa orang sudah duduk berjejer. Tak lama kemudian lonceng dibunyikan yang menandakan bahwa acara pemberkatan akan dimulai.
Kali ini Klenteng digunakan dalam acara pemberkatan pernikahan Adi Wardoyo dan Fransisca Dwi Setyio. Adi adalah mempelai pria putra dari Jap Tjeng Tjoen dan Lie Siu Yun. Sedang Fransisca adalah mempelai putri dari pasangan Oh Budi Hartono dan Lim Hana Budi Utami.
Dengan mengenakan pakaian pengantin warna merah kedua mempelai nampak khusyu' mengikuti rangkaian acara. Mereka duduk menghadap sesembahan sembari melempar senyum tanda kebahagiaan.
Di belakangnya terdengar puji-pujian disenandungkan melalui doa dan nyanyian dari tamu yang hadir.
Ketua Klenteng, Suryana Erawan mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Hal itulah yang menjadi pertimbangan pemberkatan dilakukan di Klenteng.
Klenteng Hok Tek Bio sejak masa G 30 S/PKI awalnya memang digunakan untuk acara pemberkatan selain sebagai tempat sembayang umat Konghuchu. Namun pada tahun 1967 Klenteng hanya boleh digunakan untuk kegiatan sembayang saja. Ini berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 4 tahun 1967 yang di dalamnya berisi tentang pembatasan aktivitas masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan pluralisme di masyarakat maka kini tak ada lagi perbedaan pandangan tentang kebermanfaat Klenteng. Tempat suci umat Konghuchu ini kembali dimanfaatkan untuk berbagai acara, tak hanya persembayangan saja.
"Sejak tahun 2006 Klenteng digunakan juga untuk acara pemberkatan. Ini adalah untuk memenuhi panggilan para generasi muda yang ingin melangsungkan pernikahan di Klenteng dengan nuansa Tionghoa," kata Suryana yang ditemui disela-sela acara pemberkatan, Minggu (10/6)
Penikahan ditempat ini hanya diperuntukkan bagi kedua mempelai yang beragama Konghuchu. Apabila pengantin menganut agama yang berbeda maka harus disamakan terlebih dahulu dengan membuat surat pernyataan pribadi. Surat tersebut mengatakan bahwa ia siap bergabung dengan agama Konghuchu.
Ada beberapa aturan yang biasa dilakukan oleh pengurus Klenteng sebelum dilangsungkan pemberkatan. Mereka memberikan pendidikan tentang pernikahan. Pendidikan itu dilakukan agar keimanan calon mempelai akan semakin bertambah. Setelah itu dilakukan pelatihan upacara ceremonial yang meliputi seperti saat mempelai duduk di depan sesembahan, menyatakan kesucian, bersujud, minum anggur merah, dan rangkaian pemberkatan yang lain.
Menjelang tiga hari dilangsungkannya pemberkatan pengantin wanita dipingit agar tidak bertemu dengan pengantin pria. Hal ini bertujuan untuk membersihkan diri dan menghindari godaan.
Berdasarkan kitab Leekie bahwa pernikahan adalah menyatukan dua keluarga yang berlainan agar terjadi keselarasan bagaikan alat musik yang ditabuh harmonis. Sehingga pada saat pelaksanaan pemberkatan dua keluarga yang berbeda ini berada di belakang mempelai sembari sesekali mengucapkan doa-doa syukur dan lagu-lagu pujian.
Kedua keluarga yang berbeda ini juga harus meleksakan beberapa kewajiban dalam rangkaian acara pernikahan.
Seperti yang dikatakan WS Tigianto, Wali Majelis Agama Konghuchu Purwokerto sekaligus yang memimpin acara pemberkatan mengatakan bahwa kedua keluarga harus melakukan sembayang Jiao Dao. Sembayang ini dilakukan sebelum matahari terbit oleh masing-masing orangtua.
Mereka melakukan sembayang secara bersamaan di depan rumah milik salah satu mempelai. Pemilihan rumah yang digunakan untuk sembayang berdasarkan kesepatan keluarga yang akan menjalankan.
Sembayang kali ini tak hanya dilengkapi dengan dupa seperti yang biasa dilakukan namun ada 12 sajian yang harus ada.
"Sembayang Jiao Dao harus dilengkapi 12 macam sajian agar dapat menciptakan pondasi mahligai yang baru. Sembari pengantin diberi pendidikan tentang pernikahan," kata Tigianto yang ditemui setelah acara pemberkatan. (fitri nurhayati)
Kali ini Klenteng digunakan dalam acara pemberkatan pernikahan Adi Wardoyo dan Fransisca Dwi Setyio. Adi adalah mempelai pria putra dari Jap Tjeng Tjoen dan Lie Siu Yun. Sedang Fransisca adalah mempelai putri dari pasangan Oh Budi Hartono dan Lim Hana Budi Utami.
Dengan mengenakan pakaian pengantin warna merah kedua mempelai nampak khusyu' mengikuti rangkaian acara. Mereka duduk menghadap sesembahan sembari melempar senyum tanda kebahagiaan.
Di belakangnya terdengar puji-pujian disenandungkan melalui doa dan nyanyian dari tamu yang hadir.
Ketua Klenteng, Suryana Erawan mengatakan bahwa pernikahan adalah suatu hal yang sakral. Hal itulah yang menjadi pertimbangan pemberkatan dilakukan di Klenteng.
Klenteng Hok Tek Bio sejak masa G 30 S/PKI awalnya memang digunakan untuk acara pemberkatan selain sebagai tempat sembayang umat Konghuchu. Namun pada tahun 1967 Klenteng hanya boleh digunakan untuk kegiatan sembayang saja. Ini berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 4 tahun 1967 yang di dalamnya berisi tentang pembatasan aktivitas masyarakat Tionghoa di Indonesia.
Seiring dengan perkembangan pluralisme di masyarakat maka kini tak ada lagi perbedaan pandangan tentang kebermanfaat Klenteng. Tempat suci umat Konghuchu ini kembali dimanfaatkan untuk berbagai acara, tak hanya persembayangan saja.
"Sejak tahun 2006 Klenteng digunakan juga untuk acara pemberkatan. Ini adalah untuk memenuhi panggilan para generasi muda yang ingin melangsungkan pernikahan di Klenteng dengan nuansa Tionghoa," kata Suryana yang ditemui disela-sela acara pemberkatan, Minggu (10/6)
Penikahan ditempat ini hanya diperuntukkan bagi kedua mempelai yang beragama Konghuchu. Apabila pengantin menganut agama yang berbeda maka harus disamakan terlebih dahulu dengan membuat surat pernyataan pribadi. Surat tersebut mengatakan bahwa ia siap bergabung dengan agama Konghuchu.
Ada beberapa aturan yang biasa dilakukan oleh pengurus Klenteng sebelum dilangsungkan pemberkatan. Mereka memberikan pendidikan tentang pernikahan. Pendidikan itu dilakukan agar keimanan calon mempelai akan semakin bertambah. Setelah itu dilakukan pelatihan upacara ceremonial yang meliputi seperti saat mempelai duduk di depan sesembahan, menyatakan kesucian, bersujud, minum anggur merah, dan rangkaian pemberkatan yang lain.
Menjelang tiga hari dilangsungkannya pemberkatan pengantin wanita dipingit agar tidak bertemu dengan pengantin pria. Hal ini bertujuan untuk membersihkan diri dan menghindari godaan.
Berdasarkan kitab Leekie bahwa pernikahan adalah menyatukan dua keluarga yang berlainan agar terjadi keselarasan bagaikan alat musik yang ditabuh harmonis. Sehingga pada saat pelaksanaan pemberkatan dua keluarga yang berbeda ini berada di belakang mempelai sembari sesekali mengucapkan doa-doa syukur dan lagu-lagu pujian.
Kedua keluarga yang berbeda ini juga harus meleksakan beberapa kewajiban dalam rangkaian acara pernikahan.
Seperti yang dikatakan WS Tigianto, Wali Majelis Agama Konghuchu Purwokerto sekaligus yang memimpin acara pemberkatan mengatakan bahwa kedua keluarga harus melakukan sembayang Jiao Dao. Sembayang ini dilakukan sebelum matahari terbit oleh masing-masing orangtua.
Mereka melakukan sembayang secara bersamaan di depan rumah milik salah satu mempelai. Pemilihan rumah yang digunakan untuk sembayang berdasarkan kesepatan keluarga yang akan menjalankan.
Sembayang kali ini tak hanya dilengkapi dengan dupa seperti yang biasa dilakukan namun ada 12 sajian yang harus ada.
"Sembayang Jiao Dao harus dilengkapi 12 macam sajian agar dapat menciptakan pondasi mahligai yang baru. Sembari pengantin diberi pendidikan tentang pernikahan," kata Tigianto yang ditemui setelah acara pemberkatan. (fitri nurhayati)
*Sebelum diedit oleh redaktur SatelitPost
Tidak ada komentar:
Posting Komentar