Dewan Guru SMA Kejora Riung, Flores, NTT |
Hal ini terjadi di beberapa sekolah yang sudah menerapkan Kurikulum
2013 (K13). Konsep pembelajaran tematik mengacu pada tema-tema tertentu sehingga
beberapa mata pelajaran dikerucutkan menjadi satu pembahasan atau satu buku
saja. Berbeda dengan pembelajaran di SD, pembelajaran di SMA tidak menerapkan
pembelajaran tematik namun menerapkan konsep based-learning. Dalam
konsep ini, peserta didik harus aktif di dalam kelas untuk menguasai materi tertentu.
Menurut Nurhadi, M.Si (Dosen Pendidikan Geografi-red), K13 adalah kurikulum yang
istimewa. Seistimewa konsepnya, tingkat kerumitannya pun sepadan. Mulai dari
persiapan guru sebelum melakukan pembelajaran, sampai pada tahap penilaian. Keaktifan
siswa menjadi tujuan utama untuk membentuk karakter mereka. Diharapkan ketika
terjun di masyarakat nanti, mereka sudah memiliki sifat jujur, disiplin, dan
mandiri.
Berbicara soal
pendidikan di Indonesia, masih ada 1001 masalah yang menyelimuti. Beragam
solusi ditawarkan pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Satu diantaranya
adalah melalui K13 yang berbasis karakter. Entah karakter seperti apa yang
dimaksudkan karena sejauh ini para pelakunya pun masih meraba-raba. Hasilnya
pun belum nampak jelas. Apalagi hanya beberapa sekolah yang menyatakan siap
menerapkan K13, sedang yang lainnya masih dengan kurikulum sebelumnya (KTSP-red). Seperti yang tercantum dalam
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 160 Tahun
2014 tentang Pemberlakuan Kurikulum Tahun 2006 dan Kurikulum 2013, tidak semua
sekolah siap untuk merubah mindset, pola, dan konsep mengajar.
Ki Hadjar
Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, pernah berujar bahwa pendidik hanya bisa
merawat, bukan memaksa. Tapi pemerintah saat ini memaksakan penyeragaman anak sekolah
di Indonesia. Jika diperhatikan secara mendasar, sebenarnya bukan persoalan
kurikulum yang perlu dipusingkan sebagai tawaran solusi mengatasi masalah
pendidikan. Pada kenyataanya, yang paling memiliki pengaruh dalam memajukan
pendidikan dan mencerdaskan anak-anak bangsa adalah guru.
Di balik
pembicaraan soal sistem yang rumit, kurikulum, peraturan menteri, seminar yang
berderet, bahkan alokasi dana pendidikan yang mencapai 20 persen, sejatinya
guru lah yang berdiri di depan kelas menemani anak-anak menuntut ilmu. Namun
begitu, melihat guru di Indonesia pun tak terlepas dari berbagai masalah. Mulai
dari pendistribusian guru yang tidak merata, kesejahteraannya yang tidak
terjamin, hingga yang paling urgent adalah kompetensi guru yang masih
perlu ditingkatkan. Kalau sudah begini, bagaimana akan tercapai proses pembelajaran yang baik jika K13
belum betul-betul dikuasai para guru. Pemerintah hendaknya menjamin kompetensi
guru, mempersiapkannya agar benar-benar mampu dan siap mendidik. Hadirnya
mereka di sekolah bukan hanya mengajar, namun juga memberi inspirasi para
siswa.
Pada kurikulum
yang baru ini, peran utama guru adalah sebagai fasilitator di dalam kelas.
Salah besar jika banyak orang menganggap bahwa peran guru di dalam kelas lebih
ringan dari yang sebelumnya. Pada prinsipnya, menjadi fasilitator tugasnya jauh
lebih berat. Ia tidak hanya bertanggungjawab meningkatkan aspek pengetahuan
saja, namun juga harus mempertimbangkan aspek spiritual, sosial, dan
keterampilan anak. Maka hendaknya pemerintah mematangkan kompetensi guru demi
lancarnya proses pembelajaran di kelas. (*)
oleh Fitri Nurhayati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar