Jumat, 12 September 2014

Menilik Varanus Komodoensis

RAMADAN datang lagi. Kali ini aku menikmatinya di tanah Flores yang kata orang penuh pesona. Dulu aku mengenal Flores hanya dari buku IPS semasa SD, tapi kali ini tidak. Aku berjibaku dengannya selama setahun dan mengunjungi titik-titik tertentu yang menjadi destinasi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara. 
Berfoto dengan Varanus Komodoensi di Pulau Komodo
Setahun ditugaskan mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) membuatku lebih mudah untuk mengenal Indonesia lebih dekat. Meski baru setengahnya tanah Flores yang kujamah tapi setidaknya sudah tertunaikan mimpiku mengunjungi pulau bagian timur di Indonesia.
Ada satu destinasi istimewa yang kukunjungi dari sekian banyak tempat yang ada, Pulau Komodo. Satu titik di Indonesia yang terdaftar sebagai keajaiban dunia. Libur semester genap aku bersama tiga belas teman seperjuangan lain menyeberang dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo, tepatnya tanggal 8 Juli 2014.
Tak mudah untuk sampai ke Labuan Bajo yang letaknya ada di ujung barat Flores, karena sekarang aku berdomisili di Riung, Kabupaten Ngada letaknya ada di Flores tengah. Terlebih masing-masing dari kami bertugas di daerah pelosok yang penuh dengan keterbatasan. Untuk bisa menyeberang ke Pulau Komodo kami harus melewati Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai Tengah, barulah Labuan Bajo.
Perjalananku kali ini sudah memasuki Bulan Ramadan. Dari awal kami memang berniat menjadi backpacker untuk sampai di titik-titik indah Provinsi Nusa Tenggara Timur ini. Niatan melancong mengunjungi situs warisan dunia UNESCO tertunaikan sudah.
Di Aimere sebelum memulau perjalanan
Sebelumnya kukenalkan dulu personel SM-3T Ngada yang melancong ke Pulau Komodo. Ada Rahmat sesepuh yang kami tuakan, Dimas dan Rifqi backpacker sejati, Eko sang koordinator, Herpry fotografer handal, Anggi si gendut yang memakai syal warna pink, Arif Koordinator SM-3T Ngada, Irsyad yang logatnya sudah mirip orang Flores, Dyah gadis santai yang ikut-ikutan backpacker sepertiku, Septi si empunya kaki SNSD, Yanti yang hobi manjat gunung, Hida remaja pondok yang tomboy, dan Tya bu guru yang narsis tiap ada kamera.


Selasa, 8 Juli 2014
Biasanya usai sahur aku kembali menarik selimut, pagi ini tidak. Kali ini aku menarik tas ransel dan beberapa perlengkapan lain untuk perjalanan yang cukup jauh. Bergegas mengenakan jaket, kaus kaki, slayer, dan sarung tangan. Batok kepala dibungkus dengan helm kemudian menguncinya.
“Sudah siap melakukan perjalanan? mari kita berdoa dulu semoga perjalanan lancar,” kata Eko, koordinatorku.
Akhirnya dengan mantap kami siap melakukan perjalanan setelah sehari sebelumnya gagal gara-gara kekurangan motor. Rahmat kesana-kemari mencari motor sewaan akhirnya berjodoh dengan tukang ojek yang merelakan motornya kami sewa untuk tiga sampai empat hari ke depan. Dapat enam motor sewaan, sedang aku meminjam motor guru yang sedang liburan ke Atambua. Kebetulan selama liburan motornya nganggur bisa kugunakan. Meski tak semua motor terbilang sehat tapi berkat nekat dan pasrah yang sudah melekat dihati kami tetap berangkat.
Perjalanan dimulai dari Aimere, kontrakan Herpry yang sama-sama mengajar di daerah 3T. Sebelumnya kami mengambil posisi melingkar, tepatnya di ruang tamu yang masih berantakan. Kami memanjatkan doa yang dipimpin Rahmat sebagai orang yang dituakan. Usianya memang terpaut beberapa tahun dari kami, tapi ia seperti menjadi muda kembali
“Saya seperti salah komunitas bergabung dengan kalian. Tak apalah yang penting kita liburan ke Pulau Komodo,” ledek Rahmat.
Impianku mengunjungi Loh Liang tempat bersarangnya Komodo akan terwujud. Bersama sebelas teman yang semuanya adalah guru SM-3T Kabupaten Ngada. Liburan kami semoga menyenangkan.
Selepas dari Aimere kemudian memasuki Borong Ibukota Manggarai Barat. Sepuluh kilometer perjalanan masih dalam masa percobaan. Ternyata salah satu motor kami ada yang onar dan harus ganti oli. Berhenti sejenak di sebuah bengkel pinggir jalan. Maklum motor pinjaman ini tidak terlalu sehat untuk perjalanan jauh.
Ting...
Sebuah pesan singkat muncul dari aplikasi BBMku. Seorang teman sesama SM-3T yang kukenal diinstragram berpesan agar kami mampir dirumahnya. Ia berasal dari Malang yang ditempatkan di Manggarai Tengah, Cancar lebih tepatnya. Sambil menunggu motor sehat kembali aku sempatkan membalas pesannya.
Setengah jam berlalu, kami melanjutkan perjalanan masih dengan kecepatan rendah. Mengingat motor-motor kami adalah hasil pinjaman yang tidak terjamin kesehatan mesinnya. Dengan kecepatan yang sedang ini, aku bisa tahu desa-desa yang kami lewati. Masing-masing tidak ada yang mendahului karena memang dari awal kami sudah mengatur siasat berkendara. Kalau ada satu yang bermasalah maka semuanya harus toleran. Disitu aku merasakan kekeluargaan yang sangat erat dari teman seperjuangan.
Perjalanan dari Aimere dan sepanjang Manggarai menjadi lebih menyenangkan. Menyusuri pantai melalui jalan rusak yang menghubungkan kabupaten satu dengan lainnya. Setelah pemandangan laut habis, kemudian digantikan dengan pemandangan di kanan kiri yang berganti menjadi pohon dan perbukitan. Beberaja jam kemudian kami memasuki Ruteng, Ibukota Manggarai Tengah. Tanpa disadari setengah hari diperjalanan. Akhirnya istirahat di Masjid Kubah Hijau Kota Manggarai.
Kembali aku menilik ponsel yang sedari tadi kubiarkan diam. Beberapa pesan singkat mulai bermunculan dilayar datar ini. Salah satunya dari Asis, kenalanku di instragram. Katanya dia menunggu kami di perempatan Cancar.
“Pokoknya kalian harus mampir. Disini ada sawah laba-laba lo,” katanya merayu.
Sampai diperempatan Cancar sudah menunggu seorang pria bertopi dan mengenakan kaus putih. Awalnya aku tak mengenali pria itu. Setelah ia mendekati kami barulah kusadari kalau ia Asis yang baru pertama kali kujumpai. Beberapa kali aku hanya melihatnya di instagram saat ia mengunjungi tempat-tempat indah di Flores sepertiku.
Mampir di Cancar dan mengenal beberapa teman baru dari Malang, sungguh menyenangkan. Serupa wisata rohani yang membasahi jiwa saat bertemu dengan teman seperjuangan di daerah 3T. Tak lama dan tak ada suguhan di rumah mereka, karena kami semua masih bertahan untuk tetap puasa Insya Allah sampai maghrib nanti. Disini cukup mengabadikan cerita dan berfoto dengan mereka SM-3T Ruteng asli Malang.
Di Cancar, penempatan SM-3T teman2 UM
Roda motor kami kembali berputar melintasi jalan beraspal, masih rusak. Sesekali berhenti mengisi bensin sambil mencari sebuah bangunan berkubah yang dinamakan masjid untuk salat ashar. Sedari tadi tak ada masjid yang muncul di depan mata yang ada hanya gereja dan rumah naja (kayu) di pinggir jalan. Kalau tidak yang ada hanya tebing tinggi yang telah longsor. Alhasil jalannya licin, menanjak, dan berkelok tajam.
Hampir setengah enam kami belum salat ashar. Akhirnya berhenti dan bertanya pada penduduk setempat. Katanya masjid ada diujung gang yang beraspal rusak. Harusnya jalan kami masih lurus, kali ini harus belok kiri untuk mendapati masjid. Aku tak percaya kalau orang Flores menunjukkan jalan yang katanya dekat, ternyata masjidnya masih lumayan jauh dan waktu ashar hampir habis.
Masjid yang belum sempurna pengerjaannya ini belum memiliki nama. Katanya hanya ada satu masjid, kalau mau cari lagi harus ke kota. Sambil melepas penat, meletakkan ransel yang sedari menempel di pundak, aku menghembuskan nafas perlahan. Masjid ini letaknya memang di pinggir jalan, tapi di belakangnya membentang sawah yang luas.
Cukup beristirahat dan bergegas kembali ke jalan utama. Perut sudah mulai keroncongan, mungkin mengingatkanku kalau sebentar lagi maghrib tiba. Akhirnya perjalanan kami perlambat untuk mendapati warung makan untuk mencari sajian buka puasa. Jauh-jauh dari Jawa sampai Flores yang didapat tetap saja warung Jawa. Sudah seharian kami diperjalanan. Senja juga mulai menyingsing mengantarkan kegelapan di bumi pertiwi. Ada kepuasan tersendiri, meski perjalanan jauh tapi kami tetap berpuasa.
Perjalanan berlanjut masih ke arah barat. Kali ini jalan rusak tak begitu jelas jadi harus lebih berhati-hati lagi. Yang seharusnya dua jam sudah sampai Labuan Bajo kali ini tiga setengah baru sampai. Apalagi tadi siang diguyur hujan jadi licin oleh lumpur.
Mata sudah mulai lelah dan badan juga terasa lebih berat menahan beban. Mungkin karena kelelahan. Tapi seketika lamanya mataku langsung membelalak melihat gemerlap lampu yang berwarna di kejauhan. Ini seperti di kota tapi lebih romantis dan hangat. Kulihat kapal-kapal menepi ditandai dengan lampu-lampu malam yang tak bersuara.
“Itu pelabuhan sudah kelihatan,” kata Irsyad.
Melihat lampu-lampu itu lelahku mulai terbayar. Meski belum lunas tapi setidaknya sudah berkurang. Tempat ini ramai oleh turis asing dan wisatawan lokal. Teringat belum dapat penginapan segera kami menuju Kodim. Disana ada kenalan yang bisa dimintai bantuan mencari penginapan dan kapal untuk besok pagi nyeberang pulau. Ternyata kenalan Rifqi yang ada di Kodim sedang libur, terpaksa kami mencari penginapan sendiri. Kata orang penginapan yang murah di Hotel Pelangi. Bergegas menuju kesana tanpa memilah tempat yang lain.
Rifqi dan Eko meloby hotel dan ditetapkan harga lima puluh ribu per kepala. Kami ada dua belas kepala akhirnya memesan empat kamar. Di hotel kami juga berkenalan dengan guru SM-3T yang ditempatkan di Kupang. Dapat kenalan baru lagi teman seperjuangan. Tengah malam baru aku bisa memejamkan mata.

Rabu, 9 Juli 2014
Bangun kesiangan akhirnya hanya bisa sahur sepotong roti saja. Tapi niat berpuasa masih tertanam kuat, semoga sampai maghrib nanti. Semalam Rifqi sudah memesan kapal jadi pagi harinya kami tinggal menuju ke pelabuhan.
Di kapal menuju Pulau Komodo
Matahari pagi masih hangat, kami menunggu kapten kapal untuk menyeberang Pulau Komodo destinasi utama liburan kali ini. Akhirnya pukul 08.00 WITA kapal meninggalkan pelabuhan. Pandangan menyapu semua tepi yang dikelilingi pulau. Di baliknya langit biru yang masih meneduhkan menjadi penyempurna keindahan satu titik di Indonesia. Empat jam di kapal kami menghalau beberapa pulau kecil seperti Pulau Bidadari, Rinca, dan pulau-pulau lain yang belum kukenal satu per satu.
Setelah mendarat di dermaga Pulau Komodo kami disambut oleh para ranger yang siap memandu perjalanan kami. Alih-alih agar perjalanan aman dari serangan binatang buas yang dilindungi ini. Kami memilih rute midle way yang dipandu Mas Gugus dkk sebagai tim ranger. Mereka membawa kayu yang bagian ujungnya berbentuk V. Katanya kalau-kalau ada Komodo yang menyerang maka senjata itu yang akan langsung beraksi menjepit leher hewan spesies kadal ini.
Bersama Varanus Komodoensis
Belum berjumpa dengan komodo terlebih dahulu kami disuguhi rusa-rusa liar yang sedang berjemur. Perjalanan dilanjutkan sampai akhirnya kami melihat seekor binatang yang sedang berteduh di bawah pohon. Dia sendirian. Kulitnya mirip dengan warna tanah yang kering. Kata Mas Gugus saat itu sedang musim kawin hewan buas ini, jadi mereka tidak banyak bermunculan.
Pelan-pelan kami mengabadikan gambarnya secara bergiliran. Hewan ini seperti berpose saat kami menjepretnya, tapi tetap harus ekstra hati-hati. Meski penglihatannya tidak jelas, namun Komodo mengandalkan indera penciuman untuk memburu mangsanya. Kalau ada bau darah sedikit saja ia sudah langsung menyerang. Akhirnya tertunaikan sudah berfoto langsung dengan binatang yang menjadi satu keajaiban dunia ini. Meski pun hanya melihat satu ekor saja.
Hari yang sama kami melanjutkan penyeberangan ke Pulau Pink yang kata orang wajib dikunjungi kalau liburan disini. Kapal kami terpaksa tak bisa menepi karena laut sedang surut. Akhirnya kapal kecil menjemput kami di zona neritik Pink Beach. Menghabiskan waktu disini, mengisi botol minuman dengan pasir pink, dan akhirnya kami menyudahi snorkeling di pink beach.
Liburan kami sudahi di dua pulau ini. Kapal kembali menuju Labuan Bajo pada sore hari. Kami masih menahan diri untuk berpuasa. Alhamdulillah sampai juga waktu maghrib saat masih berada di kapal. Aku menyaksikan langsung matahari tenggelam menandakan kalau waktu berpuasa sudah habis.
“Nikmat sekali buka puasa di kapal dengan makanan seadanya,” kata Rifqi.
Pihak kapal hanya menyediakan air panas satu termos, teh, dan gula. Sedang kami hanya membawa air mineral dua botol besar dan beberapa roti sisa sahur tadi. Tetap nikmat karena dinikmati bersama-sama.
Sampai di pelabuhan kami menyegerakan diri menuju hotel dan bersih-bersih diri. Menyegerakan untuk mencari santapan buka puasa yang sebenarnya. Setelah ituah barulah free time untuk masing-masing, menyiapkan tenaga untuk kembali ke Ngada besok pagi. Sampai jumpa Komodo, sampai jumpa Pink Beach, sampai jumpa Labuan Bajo kelak aku aku akan mengunjungimu lagi. (*)

oleh Fitri Nurhayati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar