RAMADAN
datang lagi. Kali ini aku menikmatinya di tanah Flores yang kata orang penuh
pesona. Dulu aku mengenal Flores hanya dari buku IPS semasa SD, tapi kali ini
tidak. Aku berjibaku dengannya selama setahun dan mengunjungi titik-titik
tertentu yang menjadi destinasi para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
|
Berfoto dengan Varanus Komodoensi di Pulau Komodo |
Setahun
ditugaskan mengajar di daerah terdepan, terluar, dan tertinggal (3T) membuatku
lebih mudah untuk mengenal Indonesia lebih dekat. Meski baru setengahnya tanah
Flores yang kujamah tapi setidaknya sudah tertunaikan mimpiku mengunjungi pulau
bagian timur di Indonesia.
Ada
satu destinasi istimewa yang kukunjungi dari sekian banyak tempat yang ada,
Pulau Komodo. Satu titik di Indonesia yang terdaftar sebagai keajaiban dunia.
Libur semester genap aku bersama tiga belas teman seperjuangan lain menyeberang
dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo, tepatnya tanggal 8 Juli 2014.
Tak
mudah untuk sampai ke Labuan Bajo yang letaknya ada di ujung barat Flores,
karena sekarang aku berdomisili di Riung, Kabupaten Ngada letaknya ada di
Flores tengah. Terlebih masing-masing dari kami bertugas di daerah pelosok yang
penuh dengan keterbatasan. Untuk bisa menyeberang ke Pulau Komodo kami harus
melewati Kabupaten Manggarai Timur, Manggarai Tengah, barulah Labuan Bajo.
Perjalananku
kali ini sudah memasuki Bulan Ramadan. Dari awal kami memang berniat menjadi
backpacker untuk sampai di titik-titik indah Provinsi Nusa Tenggara Timur ini.
Niatan melancong mengunjungi situs warisan dunia UNESCO tertunaikan sudah.
|
Di Aimere sebelum memulau perjalanan |
Sebelumnya
kukenalkan dulu personel SM-3T Ngada yang melancong ke Pulau Komodo. Ada Rahmat
sesepuh yang kami tuakan, Dimas dan Rifqi backpacker sejati, Eko sang
koordinator, Herpry fotografer handal, Anggi si gendut yang memakai syal warna
pink, Arif Koordinator SM-3T Ngada, Irsyad yang logatnya sudah mirip orang
Flores, Dyah gadis santai yang ikut-ikutan backpacker sepertiku, Septi si
empunya kaki SNSD, Yanti yang hobi manjat gunung, Hida remaja pondok yang
tomboy, dan Tya bu guru yang narsis tiap ada kamera.
Selasa,
8 Juli 2014
Biasanya
usai sahur aku kembali menarik selimut, pagi ini tidak. Kali ini aku menarik
tas ransel dan beberapa perlengkapan lain untuk perjalanan yang cukup jauh.
Bergegas mengenakan jaket, kaus kaki, slayer, dan sarung tangan. Batok kepala
dibungkus dengan helm kemudian menguncinya.
“Sudah
siap melakukan perjalanan? mari kita berdoa dulu semoga perjalanan lancar,”
kata Eko, koordinatorku.
Akhirnya
dengan mantap kami siap melakukan perjalanan setelah sehari sebelumnya gagal
gara-gara kekurangan motor. Rahmat kesana-kemari mencari motor sewaan akhirnya
berjodoh dengan tukang ojek yang merelakan motornya kami sewa untuk tiga sampai
empat hari ke depan. Dapat enam motor sewaan, sedang aku meminjam motor guru
yang sedang liburan ke Atambua. Kebetulan selama liburan motornya nganggur bisa
kugunakan. Meski tak semua motor terbilang sehat tapi berkat nekat dan pasrah
yang sudah melekat dihati kami tetap berangkat.
Perjalanan
dimulai dari Aimere, kontrakan Herpry yang sama-sama mengajar di daerah 3T. Sebelumnya
kami mengambil posisi melingkar, tepatnya di ruang tamu yang masih berantakan.
Kami memanjatkan doa yang dipimpin Rahmat sebagai orang yang dituakan. Usianya
memang terpaut beberapa tahun dari kami, tapi ia seperti menjadi muda kembali
“Saya
seperti salah komunitas bergabung dengan kalian. Tak apalah yang penting kita
liburan ke Pulau Komodo,” ledek Rahmat.
Impianku
mengunjungi Loh Liang tempat bersarangnya Komodo akan terwujud. Bersama sebelas
teman yang semuanya adalah guru SM-3T Kabupaten Ngada. Liburan kami semoga
menyenangkan.
Selepas
dari Aimere kemudian memasuki Borong Ibukota Manggarai Barat. Sepuluh kilometer
perjalanan masih dalam masa percobaan. Ternyata salah satu motor kami ada yang
onar dan harus ganti oli. Berhenti sejenak di sebuah bengkel pinggir jalan.
Maklum motor pinjaman ini tidak terlalu sehat untuk perjalanan jauh.
Ting...
Sebuah
pesan singkat muncul dari aplikasi BBMku. Seorang teman sesama SM-3T yang
kukenal diinstragram berpesan agar kami mampir dirumahnya. Ia berasal dari
Malang yang ditempatkan di Manggarai Tengah, Cancar lebih tepatnya. Sambil
menunggu motor sehat kembali aku sempatkan membalas pesannya.
Setengah
jam berlalu, kami melanjutkan perjalanan masih dengan kecepatan rendah.
Mengingat motor-motor kami adalah hasil pinjaman yang tidak terjamin kesehatan
mesinnya. Dengan kecepatan yang sedang ini, aku bisa tahu desa-desa yang kami
lewati. Masing-masing tidak ada yang mendahului karena memang dari awal kami
sudah mengatur siasat berkendara. Kalau ada satu yang bermasalah maka semuanya
harus toleran. Disitu aku merasakan kekeluargaan yang sangat erat dari teman seperjuangan.
Perjalanan
dari Aimere dan sepanjang Manggarai menjadi lebih menyenangkan. Menyusuri
pantai melalui jalan rusak yang menghubungkan kabupaten satu dengan lainnya.
Setelah pemandangan laut habis, kemudian digantikan dengan pemandangan di kanan
kiri yang berganti menjadi pohon dan perbukitan. Beberaja jam kemudian kami
memasuki Ruteng, Ibukota Manggarai Tengah. Tanpa disadari setengah hari
diperjalanan. Akhirnya istirahat di Masjid Kubah Hijau Kota Manggarai.
Kembali
aku menilik ponsel yang sedari tadi kubiarkan diam. Beberapa pesan singkat
mulai bermunculan dilayar datar ini. Salah satunya dari Asis, kenalanku di
instragram. Katanya dia menunggu kami di perempatan Cancar.
“Pokoknya
kalian harus mampir. Disini ada sawah laba-laba lo,” katanya merayu.
Sampai
diperempatan Cancar sudah menunggu seorang pria bertopi dan mengenakan kaus
putih. Awalnya aku tak mengenali pria itu. Setelah ia mendekati kami barulah
kusadari kalau ia Asis yang baru pertama kali kujumpai. Beberapa kali aku hanya
melihatnya di instagram saat ia mengunjungi tempat-tempat indah di Flores
sepertiku.
Mampir
di Cancar dan mengenal beberapa teman baru dari Malang, sungguh menyenangkan.
Serupa wisata rohani yang membasahi jiwa saat bertemu dengan teman seperjuangan
di daerah 3T. Tak lama dan tak ada suguhan di rumah mereka, karena kami semua
masih bertahan untuk tetap puasa Insya Allah sampai maghrib nanti. Disini cukup
mengabadikan cerita dan berfoto dengan mereka SM-3T Ruteng asli Malang.
|
Di Cancar, penempatan SM-3T teman2 UM |
Roda
motor kami kembali berputar melintasi jalan beraspal, masih rusak. Sesekali
berhenti mengisi bensin sambil mencari sebuah bangunan berkubah yang dinamakan
masjid untuk salat ashar. Sedari tadi tak ada masjid yang muncul di depan mata
yang ada hanya gereja dan rumah naja (kayu) di pinggir jalan. Kalau tidak yang
ada hanya tebing tinggi yang telah longsor. Alhasil jalannya licin, menanjak,
dan berkelok tajam.
Hampir
setengah enam kami belum salat ashar. Akhirnya berhenti dan bertanya pada
penduduk setempat. Katanya masjid ada diujung gang yang beraspal rusak.
Harusnya jalan kami masih lurus, kali ini harus belok kiri untuk mendapati
masjid. Aku tak percaya kalau orang Flores menunjukkan jalan yang katanya
dekat, ternyata masjidnya masih lumayan jauh dan waktu ashar hampir habis.
Masjid
yang belum sempurna pengerjaannya ini belum memiliki nama. Katanya hanya ada
satu masjid, kalau mau cari lagi harus ke kota. Sambil melepas penat,
meletakkan ransel yang sedari menempel di pundak, aku menghembuskan nafas
perlahan. Masjid ini letaknya memang di pinggir jalan, tapi di belakangnya
membentang sawah yang luas.
Cukup
beristirahat dan bergegas kembali ke jalan utama. Perut sudah mulai
keroncongan, mungkin mengingatkanku kalau sebentar lagi maghrib tiba. Akhirnya
perjalanan kami perlambat untuk mendapati warung makan untuk mencari sajian
buka puasa. Jauh-jauh dari Jawa sampai Flores yang didapat tetap saja warung
Jawa. Sudah seharian kami diperjalanan. Senja juga mulai menyingsing
mengantarkan kegelapan di bumi pertiwi. Ada kepuasan tersendiri, meski perjalanan
jauh tapi kami tetap berpuasa.
Perjalanan
berlanjut masih ke arah barat. Kali ini jalan rusak tak begitu jelas jadi harus
lebih berhati-hati lagi. Yang seharusnya dua jam sudah sampai Labuan Bajo kali
ini tiga setengah baru sampai. Apalagi tadi siang diguyur hujan jadi licin oleh
lumpur.
Mata
sudah mulai lelah dan badan juga terasa lebih berat menahan beban. Mungkin
karena kelelahan. Tapi seketika lamanya mataku langsung membelalak melihat
gemerlap lampu yang berwarna di kejauhan. Ini seperti di kota tapi lebih
romantis dan hangat. Kulihat kapal-kapal menepi ditandai dengan lampu-lampu
malam yang tak bersuara.
“Itu
pelabuhan sudah kelihatan,” kata Irsyad.
Melihat
lampu-lampu itu lelahku mulai terbayar. Meski belum lunas tapi setidaknya sudah
berkurang. Tempat ini ramai oleh turis asing dan wisatawan lokal. Teringat
belum dapat penginapan segera kami menuju Kodim. Disana ada kenalan yang bisa
dimintai bantuan mencari penginapan dan kapal untuk besok pagi nyeberang pulau.
Ternyata kenalan Rifqi yang ada di Kodim sedang libur, terpaksa kami mencari
penginapan sendiri. Kata orang penginapan yang murah di Hotel Pelangi. Bergegas
menuju kesana tanpa memilah tempat yang lain.
Rifqi
dan Eko meloby hotel dan ditetapkan harga lima puluh ribu per kepala. Kami ada
dua belas kepala akhirnya memesan empat kamar. Di hotel kami juga berkenalan
dengan guru SM-3T yang ditempatkan di Kupang. Dapat kenalan baru lagi teman
seperjuangan. Tengah malam baru aku bisa memejamkan mata.
Rabu,
9 Juli 2014
Bangun
kesiangan akhirnya hanya bisa sahur sepotong roti saja. Tapi niat berpuasa
masih tertanam kuat, semoga sampai maghrib nanti. Semalam Rifqi sudah memesan
kapal jadi pagi harinya kami tinggal menuju ke pelabuhan.
|
Di kapal menuju Pulau Komodo |
Matahari
pagi masih hangat, kami menunggu kapten kapal untuk menyeberang Pulau Komodo
destinasi utama liburan kali ini. Akhirnya pukul 08.00 WITA kapal meninggalkan
pelabuhan. Pandangan menyapu semua tepi yang dikelilingi pulau. Di baliknya
langit biru yang masih meneduhkan menjadi penyempurna keindahan satu titik di
Indonesia. Empat jam di kapal kami menghalau beberapa pulau kecil seperti Pulau
Bidadari, Rinca, dan pulau-pulau lain yang belum kukenal satu per satu.
Setelah
mendarat di dermaga Pulau Komodo kami disambut oleh para ranger yang siap
memandu perjalanan kami. Alih-alih agar perjalanan aman dari serangan binatang
buas yang dilindungi ini. Kami memilih rute midle way yang dipandu Mas Gugus
dkk sebagai tim ranger. Mereka membawa kayu yang bagian ujungnya berbentuk V.
Katanya kalau-kalau ada Komodo yang menyerang maka senjata itu yang akan
langsung beraksi menjepit leher hewan spesies kadal ini.
|
Bersama Varanus Komodoensis |
Belum
berjumpa dengan komodo terlebih dahulu kami disuguhi rusa-rusa liar yang sedang
berjemur. Perjalanan dilanjutkan sampai akhirnya kami melihat seekor binatang
yang sedang berteduh di bawah pohon. Dia sendirian. Kulitnya mirip dengan warna
tanah yang kering. Kata Mas Gugus saat itu sedang musim kawin hewan buas ini, jadi
mereka tidak banyak bermunculan.
Pelan-pelan
kami mengabadikan gambarnya secara bergiliran. Hewan ini seperti berpose saat
kami menjepretnya, tapi tetap harus ekstra hati-hati. Meski penglihatannya
tidak jelas, namun Komodo mengandalkan indera penciuman untuk memburu
mangsanya. Kalau ada bau darah sedikit saja ia sudah langsung menyerang.
Akhirnya tertunaikan sudah berfoto langsung dengan binatang yang menjadi satu
keajaiban dunia ini. Meski pun hanya melihat satu ekor saja.
Hari
yang sama kami melanjutkan penyeberangan ke Pulau Pink yang kata orang wajib
dikunjungi kalau liburan disini. Kapal kami terpaksa tak bisa menepi karena
laut sedang surut. Akhirnya kapal kecil menjemput kami di zona neritik Pink
Beach. Menghabiskan waktu disini, mengisi botol minuman dengan pasir pink, dan
akhirnya kami menyudahi snorkeling di pink beach.
Liburan
kami sudahi di dua pulau ini. Kapal kembali menuju Labuan Bajo pada sore hari.
Kami masih menahan diri untuk berpuasa. Alhamdulillah sampai juga waktu maghrib
saat masih berada di kapal. Aku menyaksikan langsung matahari tenggelam
menandakan kalau waktu berpuasa sudah habis.
“Nikmat
sekali buka puasa di kapal dengan makanan seadanya,” kata Rifqi.
Pihak
kapal hanya menyediakan air panas satu termos, teh, dan gula. Sedang kami hanya
membawa air mineral dua botol besar dan beberapa roti sisa sahur tadi. Tetap
nikmat karena dinikmati bersama-sama.
Sampai
di pelabuhan kami menyegerakan diri menuju hotel dan bersih-bersih diri.
Menyegerakan untuk mencari santapan buka puasa yang sebenarnya. Setelah ituah
barulah free time untuk masing-masing, menyiapkan tenaga untuk kembali ke Ngada
besok pagi. Sampai jumpa Komodo, sampai jumpa Pink Beach, sampai jumpa Labuan
Bajo kelak aku aku akan mengunjungimu lagi. (*)
oleh
Fitri Nurhayati