AKU tidak pernah memikirkan untuk menulis sesuatu
yang indah tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan berlatar pantai. Dalam
benakku hanya ada gambaran tentang kondisi sekolah yang memperihatinkan dan
membutuhkan sedikit sentuhan mesra dari tangan-tangan generasi muda. Sebab dari
cerita SM3T angkatan sebelumnya pulau yang ada di Indonesia timur ini sungguh
miris, meski tak sedikit pula yang bercerita tentang keindahan alam yang
terkandung di dalamnya. Mengingat niatan awal saat meninggalkan tanah Jawa,
tujuanku ke provinsi yang ada di Pulau Flores ini adalah untuk menjadi
pendidik, sebagai guru bantu yang ditugaskan Dikti kepada kami.
|
Septi, Pipit, Irsyad, Mala, dan Azifa |
|
Belum genap sebulan aku tinggal di Flores, ada
banyak bisikan mesra dari penduduk setempat yang mengharuskanku untuk
mengunjungi beberapa tempat indah di pulau ini, termasuk di dalamnya adalah 17
Pulau Riung. Mulai dari rekan guru di sekolah, muridmu, tetangga baik yang
dekat maupun jauh menceritakan tentang pulau di seberang Dermaga Nangamese ini.
Tak sabar ingin membuktikan langsung surganya Flores, aku beserta rombongan
mendatanginya, Minggu (29/9).
Masih terbilang pagi saat kami memulai perjalanan
dari Dermaga Nangamese menuju pulau yang paling dekat, yaitu Pulau Kelelawar. Kapal
motor berwarna putih bertuliskan EPEN mulai meninggalkan dermaga. Kami sengaja
berangkat saat fajar belum menyingsing. Tujuannya agar cuaca belum terlalu
panas dan alam juga masih sangat bersahabat. Harapan kami waktu itu cukup
sederhana, semoga hari ini menjadi Minggu yang menyenangkan.
Dari bibir dermaga sudah terlihat hamparan pulau
yang membentang sejauh mata memandang. Bentuknya memang nampak sederhana, namun
keindahan sederet daratan diseberang laut itu didukung dengan rona siluet berlatar
langit kebiruan yang masih remang-remang. Begitu juga dengan permukaan Laut Flores
yang nampak sangat tenang dengan selimut angin pagi yang kian berhembus.
Flores pagi itu membuat aku, Azifa, Septi, Mala, dan
Irsyad tak sabar untuk menginjakkan kaki di 17 Pulau. Tak lupa juga ditemani
rekan guru dari SMP Negeri 1 Riung yang merupakan kenalan baru kami, Ibu Masran
dan Ibu Ami namanya. Meski mereka belum menikah dan umurnya tidak jauh berbeda
dengan kami namun sapaannya akrabnya tetap diawali dengan ibu karena kami terbiasa
memanggil dengan sebutan ibu guru di sekolah.
Baru beberapa mil meninggalkan daratan Nangamese
mata kami sudah dimanjakan dengan panorama alam yang berlatar langit dan air yang
tenang. Seandainya aku bisa melukisnya maka tak butuh banyak warna untuk
memperindah objek ini. Hanya warna dasar biru, kemudian disempurnakan dengan hijau,
hitam, dan sedikit polesan putih atau lain agar lukisanku lebih berbicara.
Dari 17 pulau yang berjajar rapi dan jaraknya
berdekatan yang pertama kami kunjungi adalah Pulau Kelelawar. Di seberang sana
terlihat seperti dedauan berwarna hitam menempel diranting pohon. Kapal kami
sudah mulai mendekat dengan pepohonan rindang itu. Belum usai menyaksikan
keindahan pulau yang dihuni ribuan kalong ini kapal motor yang kami tunggani
berjalan lebih lamban. Kata Ombing, sang komandan, kapal sengaja berjalan lebih
pelan agar kami bisa melihat keindahan taman laut yang ada disekeliling kapal.
Kulambaikan tangan mengarah ke air sambil sesekali
membasahinya. “Sepertinya puas sekali kalau aku bisa menyaksikan langsung taman
laut tidak hanya dari kapal saja. Mumpung sedang ada di laut, tubuhku harus
basah dengan air Flores,” aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Kami terus
melanjutkan perjalanan menuju kalong-kalong yang masih mendekap pepohonan.
Seperti sedang beristirahat, mereka nampak tenang
dan pastinya enggan untuk diganggu. Tapi kalau didiamkan saja kami tak bisa
melihat keindahan ribuan kalong yang tinggal di pulau ini. Kapal semakin
mendekat dan mengarah ke tanaman bakau yang mengelilingi pulau ini. Ombing
berteriak kencang membangunkan hewan yang suka tidur di siang hari ini. Tempatnya
terbuka, di laut bebas sehingga suara Ombing juga terdengar lantang. Tidak
menggema atau bahkan terganggu dengan kebisingan suara Ombing kecuali ribuan
kelelawar ini. Mereka terbang sejenak meninggalkan peraduannya masing-masing.
Inilah kesempatan kami untuk mengabadikan mereka meski hanya dengan kamera
poket sederhana. Setidaknya bisa menjadi barang bukti untuk kami ceritakan
dengan keluarga di kampung halaman bahwa Flores memang indah, mempesona, dan
luar biasa.
Tak ada daratan yang nyaman untuk kami singgahi di
Pulau Kelelawar, terpaksa kami tidak turun dari kapal. Paling pol kami berdiri
di ujung kapal dan berfoto dengan background langit biru, dihiasi tanaman bakau
yang keindahannya disempurnakan dengan ribuan kelelawar beterbangan.
Tak lama kami berhenti di pulau kecil ini, karena
perjalanan harus terus dilanjutkan.
Saat perjalanan menuju pulau berikutnya ternyata Ombing
menyuruh kami untuk terjun langsung ke laut. Memang tidak dalam ini terbukti
dengan tanaman dan ikan-ikan kecil yang terlihat menyambut kedatangan kami. Mereka
menampakkan diri dibeningnya air laut yang sangat transparan ini. Oh betapa
segarnya saat melihat Ombing terjun bebas dari bibir kapal. Aku tak ingin kalah
mencicipi asinnya laut bebas yang kaya akan keindahan alam ini. Akhirnya dengan
mengenakan pelampung aku juga ikut terjun membasahi diri.
|
Nyebur laut bebas dari Pulau Kalong ke Rutong |
Untuk yang pertama kalinya aku terjun ke laut
bebas dan bercengkerama langsung dengan penghuninya. Asin yang amat sangat dan mata
ini langsung terasa pedih padahal aku belum melihat dasar laut, ah akibat lupa
mengenakan kacamata. Setelah seorang teman memasangkan kacamata barulah aku
bisa mengintip dengan jelas bintang laut dan ribuan tanaman lain yang sangat
terlindungi keberadaannya. Tak lupa terlihat juga ikan kecil yang tubuhnya
bercorak indah dan bentuknya unik nan beragam.
Flores, taman lautmu sungguh indah. Mengenalkanku pada
rasa asin yang teramat dan segarnya air yang membasahi tubuh. Aku sudah
bercengkerama langsung denganmu dan ribuan penghunimu yang lain, puas rasanya.
Kapal motor terus berlayar, kini perjalanan kami
menuju Pulau Rutong atau biasa dikenal dengan pasir putihnya. Belum sampai di
pantai mata ini kembali disuguhi dengan keindahan alam yang sangat mempesona.
Kali ini warna alam memang sangat sederhana namun memanjakan mata. Hanya warna
pasir putih yang membentang disepanjang pantai dan beberapa pepohonan kering
yang sebagian telah meranggas. Airnya nampak jernih dengan perubahan warna yang
terlihat semakin kontras. Mulai dari yang paling dekat dengan kapal motor kami warnanya
sangat biru, menandakan bahwa kedalamannya masih teramat sangat. Kian mendekat
ke daratan warna laut sudah menjadi lebih cerah hingga akhirnya warna biru yang
sangat muda bahkan bening hingga warna pasir putih terlihat jelas.
Terbayar sudah impian yang kubayangkan sejak tadi
malam untuk menginjakkan kaki ke pulau pasir putih. Tak ada ragu sedikitpun untuk
kembali membasahi diri. Kubentangkan tubuh ini agar semua bagian basah oleh air
Rutong. Tak ada rasa takut akan kulit hitam atau kering nantinya, yang penting
bisa bercengkerama dengan panorama alam ini.
Terlihat seorang bocah perempuan sedang
mengumpulkan bintang laut yang mampir ke bibir pantai. Aku sedikit berkenalan
dengannya, ternyata ia datang dari Medan yang sengaja ingin berlibur di Flores
bersama keluarga. Akhirnya bintang laut tak lagi menjadi makhluk asing yang
kupegang. Nampak cantik dengan coraknya yang bervariasi dan bentuknya yang
indah. Setidaknya bisa mewakilkan gambaranku tentang bentuk bintang yang
sebenarnya. Tidak hanya membayangkan bentuk bintang yang ada di langit saja,
tapi aku bisa menyentuhnya langsung meski ini bintang laut.
Beberapa wanita tua juga nampak sibuk mengumpulkan
kerang yang nantinya akan dijual ke pasar atau untuk konsumsi sendiri. Aku juga
ikut mengumpulkannya meski hanya sekadar iseng saja. Dengan mengorek pasir
putih yang lembutnya seperti tepung, kami menemukan banyak benda unik yang tak
pernah dijumpai di daerah pegunungan tempatku berasal.
Flores memang indah, sekali lagi aku meyakinkan
diri bahwa pulau ini benar-benar indah. Sangat tepat untuk melepas penat atau
menghilangkan stress setelah menjalani banyak rutinitas.
Pulau Rutong merupakan satu dari 17 pulau yang
biasa dikunjungi wisatawan baik asing maupun domestik. Pulau ini tidak terlalu
luas, hanya berbentuk bukit yang menjulang, apabila kita menaikinya maka akan
semakin terlihat jelas bentang alam di perairan ini.
Ibu Ami mengajakku berjalan mengelilingi pulau
dengan melewati bibir pantai. Aku lebih memilih berjalan di air yang agak dalam
agar bisa berenang sambil melihat taman laut yang penghuninya sangat beraneka
ragam. Berputar di satu pulau tak membutuhkan waktu lama. Kami mengakhirinya di
tempat yang sama saat mendarat dan kembali menikmati laut bebas yang tak ada
batasnya saat dipandang. Hanya beberapa bagian saja yang dipagari pegunungan
dengan tanah gersang akibat kemarau panjang.
Matahari sudah sangat terik menerangi langit kami,
kemudian memantulkan cahayanya ke segala penjuru termasuk pulau ini. Sudah puas
rasanya mengelilingi pulau, kini tinggal perut yang sudah mulai keroncongan. Jajanan
bekal kami sudah habis dimakan selama perjalanan menuju Rutong. Ah tapi perut
ini masih saja meminta asupan makanan. Tak apalah rasa lapar dibayar dengan
tontonan alam yang indah, kami berharap rasa lapar ini segera pergi jauh dari
perut.
Baru dua pulau, tentu masih terbayang dengan
keindahan pulau lain yang mempunyai karakteristik tersendiri setiap kali
dikunjungi. Sekarang kami kembali berlayar menuju pulau berikutnya. Namanya Pulau
Tiga, merupakan pulau terakhir yang kami kunjungi. Kebanyakan wisatawan hanya
mengunjungi tiga pulau, karena sisanya yang lain mempunyai gambaran yang hampir
sama.
Kalau Pasir Putih lebih banyak menghadirkan hewan laut yang singgah di bibir
pantai, Pulau Tiga sedikit berbeda. Ia lebih banyak disinggahi ikan laut yang
beranekaragam. Nelayan pun mencari tangkapan ikan di pulau ini. Saat turun dari
kapal motor, terlihat sebuah kapal besar yang di dalamnya banyak ikan kecil
sedang dijemur. Baunya sangat menyengat saat kami melintas di sampingnya.
Ombing dan Irsyad membantu nelayan ini untuk mendorong kapal agar sedikit
menjauh dari pantai.
Ternyata Pulau Tiga juga lebih banyak menarik para
turis asing, karena tempatnya lebih sepi dan banyak pepohonan untuk berteduh. Ikannya
lebih banyak, bahkan saat menyelam dekat tanaman tembakau mereka akan terlihat
lebih jelas. Ada ribuan ikan disana, saat kami menyelam untuk melihat langsung
keindahan mereka, ikan-ikan ini juga tidak pergi malah semakin mendekat. Bisa
bercengkerama dengan ikan kecil sungguh mengasyikkan. Hingga penyelaman kami
berhenti di pantai yang lebih sepi. Kami berteduh di balik pohon besar, rehat
sejenak untuk saling bercerita dengan bahasa masing-masing. Sebagai
pemersatunya kami bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia.
Ombing menirukan gaya bahasa orang Lengkosambi,
sebuah desa yang ada di Kecamatan Riung tempat Mala mengajar. Kami tertawa
terbahak-bahak karena bahasanya yang unik. Meski tidak tahu apa maksudnya tapi
kami tetap tertawa karena Ombing menirukannya dengan sangat lucu. Cepat, kasar,
keras, dan sedikit membentak khas cara berbicara orang NTT. Jangan kaget kalau
berbicara dengan penduduk asli pulau ini. Kalaupun menggunakan bahasa persatuan
tetap saja susunan katanya tidak baku seperti Bahasa Indonesia. Apapun itu,
kami tetap tertawa.
Langit sudah sangat terik, baju kami pun sudah
mulai kering. Tak mempedulikan hal itu, kalau saja masih berkesempatan
mengunjungi pulau lain tentu akan kami kunjungi. Tapi sepertinya pesiar pertama
dicukupkan dulu, lain waktu pasti kami akan datang lagi.
17 Pulau
Riung, kau adalah indah yang dapat kami jamah
kau
adalah rindu yang dapat kami cumbu
diujung
pandanganku ada panorama cantik yang kau gambarkan
pesiar
pertamaku membuat nona jatuh hati padamu
Jumat, 5 Oktober 2013
00.16 WITA