Jumat, 04 Oktober 2013

Bersentuhan dengan Laut Flores


AKU tidak pernah memikirkan untuk menulis sesuatu yang indah tentang Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan berlatar pantai. Dalam benakku hanya ada gambaran tentang kondisi sekolah yang memperihatinkan dan membutuhkan sedikit sentuhan mesra dari tangan-tangan generasi muda. Sebab dari cerita SM3T angkatan sebelumnya pulau yang ada di Indonesia timur ini sungguh miris, meski tak sedikit pula yang bercerita tentang keindahan alam yang terkandung di dalamnya. Mengingat niatan awal saat meninggalkan tanah Jawa, tujuanku ke provinsi yang ada di Pulau Flores ini adalah untuk menjadi pendidik, sebagai guru bantu yang ditugaskan Dikti kepada kami.
Septi, Pipit, Irsyad, Mala, dan Azifa
Belum genap sebulan aku tinggal di Flores, ada banyak bisikan mesra dari penduduk setempat yang mengharuskanku untuk mengunjungi beberapa tempat indah di pulau ini, termasuk di dalamnya adalah 17 Pulau Riung. Mulai dari rekan guru di sekolah, muridmu, tetangga baik yang dekat maupun jauh menceritakan tentang pulau di seberang Dermaga Nangamese ini. Tak sabar ingin membuktikan langsung surganya Flores, aku beserta rombongan mendatanginya, Minggu (29/9).
Masih terbilang pagi saat kami memulai perjalanan dari Dermaga Nangamese menuju pulau yang paling dekat, yaitu Pulau Kelelawar. Kapal motor berwarna putih bertuliskan EPEN mulai meninggalkan dermaga. Kami sengaja berangkat saat fajar belum menyingsing. Tujuannya agar cuaca belum terlalu panas dan alam juga masih sangat bersahabat. Harapan kami waktu itu cukup sederhana, semoga hari ini menjadi Minggu yang menyenangkan.
Dari bibir dermaga sudah terlihat hamparan pulau yang membentang sejauh mata memandang. Bentuknya memang nampak sederhana, namun keindahan sederet daratan diseberang laut itu didukung dengan rona siluet berlatar langit kebiruan yang masih remang-remang. Begitu juga dengan permukaan Laut Flores yang nampak sangat tenang dengan selimut angin pagi yang kian berhembus.
Flores pagi itu membuat aku, Azifa, Septi, Mala, dan Irsyad tak sabar untuk menginjakkan kaki di 17 Pulau. Tak lupa juga ditemani rekan guru dari SMP Negeri 1 Riung yang merupakan kenalan baru kami, Ibu Masran dan Ibu Ami namanya. Meski mereka belum menikah dan umurnya tidak jauh berbeda dengan kami namun sapaannya akrabnya tetap diawali dengan ibu karena kami terbiasa memanggil dengan sebutan ibu guru di sekolah.
Baru beberapa mil meninggalkan daratan Nangamese mata kami sudah dimanjakan dengan panorama alam yang berlatar langit dan air yang tenang. Seandainya aku bisa melukisnya maka tak butuh banyak warna untuk memperindah objek ini. Hanya warna dasar biru, kemudian disempurnakan dengan hijau, hitam, dan sedikit polesan putih atau lain agar lukisanku lebih berbicara.
Dari 17 pulau yang berjajar rapi dan jaraknya berdekatan yang pertama kami kunjungi adalah Pulau Kelelawar. Di seberang sana terlihat seperti dedauan berwarna hitam menempel diranting pohon. Kapal kami sudah mulai mendekat dengan pepohonan rindang itu. Belum usai menyaksikan keindahan pulau yang dihuni ribuan kalong ini kapal motor yang kami tunggani berjalan lebih lamban. Kata Ombing, sang komandan, kapal sengaja berjalan lebih pelan agar kami bisa melihat keindahan taman laut yang ada disekeliling kapal.
Kulambaikan tangan mengarah ke air sambil sesekali membasahinya. “Sepertinya puas sekali kalau aku bisa menyaksikan langsung taman laut tidak hanya dari kapal saja. Mumpung sedang ada di laut, tubuhku harus basah dengan air Flores,” aku hanya bisa menggerutu dalam hati. Kami terus melanjutkan perjalanan menuju kalong-kalong yang masih mendekap pepohonan.
Seperti sedang beristirahat, mereka nampak tenang dan pastinya enggan untuk diganggu. Tapi kalau didiamkan saja kami tak bisa melihat keindahan ribuan kalong yang tinggal di pulau ini. Kapal semakin mendekat dan mengarah ke tanaman bakau yang mengelilingi pulau ini. Ombing berteriak kencang membangunkan hewan yang suka tidur di siang hari ini. Tempatnya terbuka, di laut bebas sehingga suara Ombing juga terdengar lantang. Tidak menggema atau bahkan terganggu dengan kebisingan suara Ombing kecuali ribuan kelelawar ini. Mereka terbang sejenak meninggalkan peraduannya masing-masing. Inilah kesempatan kami untuk mengabadikan mereka meski hanya dengan kamera poket sederhana. Setidaknya bisa menjadi barang bukti untuk kami ceritakan dengan keluarga di kampung halaman bahwa Flores memang indah, mempesona, dan luar biasa.
Tak ada daratan yang nyaman untuk kami singgahi di Pulau Kelelawar, terpaksa kami tidak turun dari kapal. Paling pol kami berdiri di ujung kapal dan berfoto dengan background langit biru, dihiasi tanaman bakau yang keindahannya disempurnakan dengan ribuan kelelawar beterbangan.
Tak lama kami berhenti di pulau kecil ini, karena perjalanan harus terus dilanjutkan.
Saat perjalanan menuju pulau berikutnya ternyata Ombing menyuruh kami untuk terjun langsung ke laut. Memang tidak dalam ini terbukti dengan tanaman dan ikan-ikan kecil yang terlihat menyambut kedatangan kami. Mereka menampakkan diri dibeningnya air laut yang sangat transparan ini. Oh betapa segarnya saat melihat Ombing terjun bebas dari bibir kapal. Aku tak ingin kalah mencicipi asinnya laut bebas yang kaya akan keindahan alam ini. Akhirnya dengan mengenakan pelampung aku juga ikut terjun membasahi diri.
Nyebur laut bebas dari Pulau Kalong ke Rutong
Untuk yang pertama kalinya aku terjun ke laut bebas dan bercengkerama langsung dengan penghuninya. Asin yang amat sangat dan mata ini langsung terasa pedih padahal aku belum melihat dasar laut, ah akibat lupa mengenakan kacamata. Setelah seorang teman memasangkan kacamata barulah aku bisa mengintip dengan jelas bintang laut dan ribuan tanaman lain yang sangat terlindungi keberadaannya. Tak lupa terlihat juga ikan kecil yang tubuhnya bercorak indah dan bentuknya unik nan beragam.
Flores, taman lautmu sungguh indah. Mengenalkanku pada rasa asin yang teramat dan segarnya air yang membasahi tubuh. Aku sudah bercengkerama langsung denganmu dan ribuan penghunimu yang lain, puas rasanya.
Kapal motor terus berlayar, kini perjalanan kami menuju Pulau Rutong atau biasa dikenal dengan pasir putihnya. Belum sampai di pantai mata ini kembali disuguhi dengan keindahan alam yang sangat mempesona. Kali ini warna alam memang sangat sederhana namun memanjakan mata. Hanya warna pasir putih yang membentang disepanjang pantai dan beberapa pepohonan kering yang sebagian telah meranggas. Airnya nampak jernih dengan perubahan warna yang terlihat semakin kontras. Mulai dari yang paling dekat dengan kapal motor kami warnanya sangat biru, menandakan bahwa kedalamannya masih teramat sangat. Kian mendekat ke daratan warna laut sudah menjadi lebih cerah hingga akhirnya warna biru yang sangat muda bahkan bening hingga warna pasir putih terlihat jelas.
Terbayar sudah impian yang kubayangkan sejak tadi malam untuk menginjakkan kaki ke pulau pasir putih. Tak ada ragu sedikitpun untuk kembali membasahi diri. Kubentangkan tubuh ini agar semua bagian basah oleh air Rutong. Tak ada rasa takut akan kulit hitam atau kering nantinya, yang penting bisa bercengkerama dengan panorama alam ini.
Terlihat seorang bocah perempuan sedang mengumpulkan bintang laut yang mampir ke bibir pantai. Aku sedikit berkenalan dengannya, ternyata ia datang dari Medan yang sengaja ingin berlibur di Flores bersama keluarga. Akhirnya bintang laut tak lagi menjadi makhluk asing yang kupegang. Nampak cantik dengan coraknya yang bervariasi dan bentuknya yang indah. Setidaknya bisa mewakilkan gambaranku tentang bentuk bintang yang sebenarnya. Tidak hanya membayangkan bentuk bintang yang ada di langit saja, tapi aku bisa menyentuhnya langsung meski ini bintang laut.
Beberapa wanita tua juga nampak sibuk mengumpulkan kerang yang nantinya akan dijual ke pasar atau untuk konsumsi sendiri. Aku juga ikut mengumpulkannya meski hanya sekadar iseng saja. Dengan mengorek pasir putih yang lembutnya seperti tepung, kami menemukan banyak benda unik yang tak pernah dijumpai di daerah pegunungan tempatku berasal.
Flores memang indah, sekali lagi aku meyakinkan diri bahwa pulau ini benar-benar indah. Sangat tepat untuk melepas penat atau menghilangkan stress setelah menjalani banyak rutinitas.
Pulau Rutong merupakan satu dari 17 pulau yang biasa dikunjungi wisatawan baik asing maupun domestik. Pulau ini tidak terlalu luas, hanya berbentuk bukit yang menjulang, apabila kita menaikinya maka akan semakin terlihat jelas bentang alam di perairan ini.
Ibu Ami mengajakku berjalan mengelilingi pulau dengan melewati bibir pantai. Aku lebih memilih berjalan di air yang agak dalam agar bisa berenang sambil melihat taman laut yang penghuninya sangat beraneka ragam. Berputar di satu pulau tak membutuhkan waktu lama. Kami mengakhirinya di tempat yang sama saat mendarat dan kembali menikmati laut bebas yang tak ada batasnya saat dipandang. Hanya beberapa bagian saja yang dipagari pegunungan dengan tanah gersang akibat kemarau panjang.
Matahari sudah sangat terik menerangi langit kami, kemudian memantulkan cahayanya ke segala penjuru termasuk pulau ini. Sudah puas rasanya mengelilingi pulau, kini tinggal perut yang sudah mulai keroncongan. Jajanan bekal kami sudah habis dimakan selama perjalanan menuju Rutong. Ah tapi perut ini masih saja meminta asupan makanan. Tak apalah rasa lapar dibayar dengan tontonan alam yang indah, kami berharap rasa lapar ini segera pergi jauh dari perut.
Baru dua pulau, tentu masih terbayang dengan keindahan pulau lain yang mempunyai karakteristik tersendiri setiap kali dikunjungi. Sekarang kami kembali berlayar menuju pulau berikutnya. Namanya Pulau Tiga, merupakan pulau terakhir yang kami kunjungi. Kebanyakan wisatawan hanya mengunjungi tiga pulau, karena sisanya yang lain mempunyai gambaran yang hampir sama.
Kalau Pasir Putih lebih banyak menghadirkan hewan laut yang singgah di bibir pantai, Pulau Tiga sedikit berbeda. Ia lebih banyak disinggahi ikan laut yang beranekaragam. Nelayan pun mencari tangkapan ikan di pulau ini. Saat turun dari kapal motor, terlihat sebuah kapal besar yang di dalamnya banyak ikan kecil sedang dijemur. Baunya sangat menyengat saat kami melintas di sampingnya. Ombing dan Irsyad membantu nelayan ini untuk mendorong kapal agar sedikit menjauh dari pantai.
Ternyata Pulau Tiga juga lebih banyak menarik para turis asing, karena tempatnya lebih sepi dan banyak pepohonan untuk berteduh. Ikannya lebih banyak, bahkan saat menyelam dekat tanaman tembakau mereka akan terlihat lebih jelas. Ada ribuan ikan disana, saat kami menyelam untuk melihat langsung keindahan mereka, ikan-ikan ini juga tidak pergi malah semakin mendekat. Bisa bercengkerama dengan ikan kecil sungguh mengasyikkan. Hingga penyelaman kami berhenti di pantai yang lebih sepi. Kami berteduh di balik pohon besar, rehat sejenak untuk saling bercerita dengan bahasa masing-masing. Sebagai pemersatunya kami bercakap-cakap menggunakan Bahasa Indonesia.
Ombing menirukan gaya bahasa orang Lengkosambi, sebuah desa yang ada di Kecamatan Riung tempat Mala mengajar. Kami tertawa terbahak-bahak karena bahasanya yang unik. Meski tidak tahu apa maksudnya tapi kami tetap tertawa karena Ombing menirukannya dengan sangat lucu. Cepat, kasar, keras, dan sedikit membentak khas cara berbicara orang NTT. Jangan kaget kalau berbicara dengan penduduk asli pulau ini. Kalaupun menggunakan bahasa persatuan tetap saja susunan katanya tidak baku seperti Bahasa Indonesia. Apapun itu, kami tetap tertawa.
Langit sudah sangat terik, baju kami pun sudah mulai kering. Tak mempedulikan hal itu, kalau saja masih berkesempatan mengunjungi pulau lain tentu akan kami kunjungi. Tapi sepertinya pesiar pertama dicukupkan dulu, lain waktu pasti kami akan datang lagi.

17 Pulau Riung, kau adalah indah yang dapat kami jamah
kau adalah rindu yang dapat kami cumbu
diujung pandanganku ada panorama cantik yang kau gambarkan
pesiar pertamaku membuat nona jatuh hati padamu

Jumat, 5 Oktober 2013
00.16 WITA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar