Muridku lagi diskusi di dalam kelas |
Saya memperhatikan anak-anak SD
yang sangat rajin ini, namun seketika terlintas sebuah keheranan saat melihat
seorang guru yang memukul muridnya. Terdengar samar-samar, guru itu juga
mengeluarkan omelan karena siswa didiknya ini dianggap datang terlambat. Dengan
seketika tiga anak yang baru datang ini berbaris untuk mendapat giliran dijewer
dan dipukul menggunakan sebilah kayu. Setelah itu guru piket juga melakukan hal
yang sama kepada siswa yang sedang memungut sampah di bawah pohon. Satu per
satu siswa ini dipukul karena membersihkan halaman tidak menggunakan sapu lidi.
Alasan yang sepele untuk
menjatuhkan sanksi kepada anak usia SD ini
sempat menjadi perbincangan saya dengan rekan guru selama perjalanan menuju
SMA, tempat kami mengajar. Tindakan guru yang kami jumpai ini sebenarnya sudah
terbilang tindak kekerasan di lingkungan sekolah. Ada sedikit keheranan karena
perlakukan ini jarang kami jumpai di Jawa. Ternyata di Indonesia bagian timur
pendidikan masih erat kaitannya dengan tindak kekerasan yang telah dianggap
lumrah. Alhasil tercipta pula generasi yang mempunyai perilaku sama dengan pola
didikan yang didapatnya di sekolah.
Kekerasan guru kepada siswa
dianggap lumrah karena hampir semua sekolah juga menerapkan pola asuh yang
sama. Baik kepada siswa SD, SMP, maupun SMA. Jarang atau bahkan nyaris tidak
ada sanksi yang diberikan kepada guru seperti yang diterapkan di Jawa, mengingat
kebiasaan ini sudah mendarah daging dalam dunia pendidikan di Indonesia Timur.
Awalnya ada sebuah keanehan saat
saya menjumpai seorang guru menjewer, memukul, dan membentak siswa. Alasannya
karena siswa melakukan kesalahan atau hanya sekedar tidak mampu memahami materi
pelajaran dengan baik. Selama berada di NTT perlakuan ini nyaris saya jumpai
setiap hari. Bahkan tidak hanya dilakukan guru kepada siswanya, namun orangtua
kepada anak pun juga sama. Saya sempat bertanya kepada guru dan orangtua
mengapa anak harus diperlakukan dengan keras. Tujuannya adalah agar anak menjadi pribadi
yang penurut, rajin, dan disiplin. Namun pada kenyataannya bukan tujuan utama
yang tercapai, malahan tercipta generasi yang berani membangkang, berwatak
keras, dan bermental ciut dalam proses pembelajaran di sekolah.
Akibat dari kebiasaan ini siswa
semakin merasa terbebani karena harus memenuhi tuntutan sekolah untuk menjadi
pribadi yang rajin, disiplin, dan pandai di bawah tekanan pola didik yang
keras. Padahal usia sekolah adalah masanya pencarian jati diri seorang anak.
Mereka dalam tataran identifikasi atau proses meniru apa yang dilihatnya. Tugas
guru dan orangtua hanya mengarahkan atau mengawasi proses perkembangan mereka,
bukan meminta banyak tuntutan kepada anak. Sekalipun tujuannya dianggap baik,
namun seharusnya dilakukan dengan cara pendekatan kepada anak, bukan kekerasan
secara fisik dan psikis.
Memang tidak salah dalam
kehidupan kita harus menghadapi banyak hal di luar kendali, namun pembentukan karakter
anak tidaklah demikian. Karakter merupakan hasil pilihan dan cara
pembentukannya. NTT memang dikenal dengan pola pendidikannya yang keras
menyesuaikan dengan karakter penduduk yang keras pula. Berbeda dengan di Jawa,
sekali saja guru memukul siswa maka urusannya akan berkepanjangan.
Kebiasaan memukul dan menjewer
siswa ini tidak seimbang dengan tingkat
kesadaran akan pentingnya proses pendidikan demi perkembangan si anak. Alhasil
tercipta generasi yang hanya bisa tunduk terhadap perintah tanpa
mempertimbangkan manfaatnya bagi diri sendiri. Pola pikir anak tidak dapat
berkembang dengan baik karena hanya menjadi objek dari pola asuh yang salah.
Mereka tidak mendapat kesempatan untuk berfikir kritis atau menikmati masa-masa
keemasaannya, hanya dijejali dengan tuntutan dari guru atau orang tua saja.
Padahal lingkungan sekolah
merupakan satu wadah yang dapat memberi pengaruh besar terhadap pendidikan
karakter anak. Hal ini bisa diwujudkan dengan dukungan guru yang setiap
perkataannya didengar oleh anak. Kecerdasan siswa tidak hanya diukur dengan
hasil akademik yang memuaskan, namun juga ketercapaian pembentukan karakter
siswa dalam kehidupan sehari-hari.
Orang-orang dengan karakter buruk
cenderung mempersalahkan keadaan mereka ketimbang mengatasi persoalan bagaimana
untuk memanfaatkan keadaan dengan keterbatasan yang ada. Atau kebanyakan orang
hanya mengukur tingkat kecerdasan dari besarnya materi yang didapat, dalam hal
ini adalah nilai akhir di sekolah. Mereka sering menyatakan bahwa cara mereka
dibesarkanlah yang salah, kesulitan keuangan, perlakuan orang lain atau kondisi
lainnya yang menciptakan karakter keras.
Apalagi mulai dari keluarga sudah
diterapkan pola asuh yang keras terhadap anak alhasil mereka membawanya sampai
di sekolah. Sesampai di sekolah anak juga mendapat perlakuan yang sama dari
gurunya masing-masing. Begitu seterusnya yang terjadi dari generasi ke generasi
di NTT. Dampak ini kemudian dikembalikan pada anak dengan label kecerdasan
rendah dan lambat dalam menerima pelajaran. Kalau pun banyak anak yang
melakukan pelanggaran sekolah atau tidak disiplin ini menjadi persoalan yang
wajar. Mengingat usia sekolah merupakan masa pencarian jati diri seorang anak.
Apabila di beberapa daerah seperti halnya di Indoneia Timur terjadi kenakalan
remaja yang terbilang tidak wajar, saya pikir ini merupakan kegagalan pola asuh
baik dalam keluarga maupun sekolah.
Karakter tidak bisa diwariskan,
tidak bisa dibeli, dan tidak bisa ditukar. Karakter harus dibangun dan
dikembangkan secara sadar hari demi hari melalui suatu proses yang tidak
instan. Karakter bukanlah suatu bawaan sejak lahir yang tidak dapat diubah lagi
seperti sidik jari. Perlu diketahui bahwa anak mempunyai potensi untuk menjadi
seorang pribadi yang berkarakter apabila hal itu diupayakan. (*)
Fitri Nurhayati, S.Pd
Guru SM-3T Kabupaten Ngada, NTT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar