Kamis, 12 Desember 2013

Ora Utang ya Ora Due Modal

TIAP kali mendengar kisah sukses para pengusaha, cerita mereka tak pernah lepas dari ikhwal tentang perjuangan yang seolah tanpa batas. Tak terkecuali untuk pengadaan modal saat memulai usaha. Sebagian menjadi pengusaha karena memang mempunyai modal, namun sebagian lainnya hanya berbekal nekat dan keterampilan saja.
Modal kerap menjadi kendala bagi seseorang untuk menuju sukses dalam berwirausaha seperti yang dialami Sri Budiarto. Pengusaha ini sempat nekat mendatangi bank untuk mengajukan pinjaman modal demi pengembangan bisnisnya. Awalnya pria berusia 45 tahun ini hanya berjualan bumbu dapur di Pasar Wage Purwokerto. Dengan kenekatannya meminjam modal di bank kini ia telah menjadi suplayer bumbu dapur untuk hotel dan restoran besar yang ada di Purwokerto dan luar kota.
Berurusan dengan bank kerap mendatangkan rasa takut tersendiri bagi mereka  yang baru memulai usaha. Kebanyakan masyarakat masih enggan berhubungan langsung dengan perbankan karena memandang bahwa prosesnya sulit, berbelit, dan menerapkan bunga yang tinggi.
Budiarto meyakini dengan cara berhutanglah dirinya bisa mendapatkan modal yang besarnya sesuai dengan kebutuhan. Menurutnya tak perlu ada ketakutan, yang penting adanya keyakinan dan tetap berusaha untuk bisa mengembalikan pinjaman. Budiarto memantapkan hati memilih cara ini setelah mendapat nasihat dari sang ibu.
Waktu itu ia membutuhkan banyak modal setelah kiosnya terbakar tepatnya tahun 2008. Dari musibah ini ia tidak bisa memulai usaha lagi karena tak mempunyai kios dan stok barangnya juga ikut ludes terbakar. Sebagai pengusaha rasa cemas tentu menghampirinya karena berjualan bumbu dapur di pasar adalah satu-satunya usaha yang dimiliki. Tak ada usaha lain yang bisa diharapkan.  
Kenekatannya meminjam modal di bank kemudian berujung pada sebuah kisah sukses yang dinikmatinya saat ini. Ia berpegang pada prinsip berwirausaha yang diyakininya hingga saat ini yaitu "Ora utang ya ora due modal”. Prinsip ini pula yang mengantarkannya pada gerbang sukses menjadi suplayer bumbu dapur.
Saat dirinya membutuhkan banyak modal dalam waktu dekat, yang bisa memberi pinjaman hanyalah bank. Alhasil hingga saat ini ia tak pernah enggan apalagi ragu untuk kembali berhubungan dengan bank. Saat ini pinjaman modal tinggal dimanfaatkannya untuk penambahan stok dan pengembangan usaha. Bahkan kios yang ditempatinya juga sudah menjadi milik pribadi, bukan lagi sewa.  
Kala itu ada beberapa bank yang didatangi, namun tidak semuanya dapat memenuhi permintaan Budiarto untuk berhutang. Hingga pencarian modal terus dilakukan dan pada akhirnya ia berhenti di sebuah bank berpelat merah. Saat mengajukan pinjaman modal di bank milik pemerintah ini ia tidak menjumpai banyak kesulitan. Pada akhirnya Budiarto  berhasil mendapat tambahan modal sebesar Rp 250 juta untuk dilunasi dalam jangka waktu tertentu. Baginya jumlah ini tentu tidak sedikit namun ia meyakini pasti bisa mengembalikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Menurutnya apabila ada usaha pasti pemasukan akan terus didapat untuk bisa membayar angsuran setiap bulannya. Baginya tak perlu ada ketakutan untuk berhubungan langsung dengan pemilik modal. Karena pengusaha harus siap mengambil risiko, satu diantaranya dengan memilih cara ini. Meski begitu pengusaha juga tak boleh sembarangan memilih pemodal yang siap memberi pinjaman, mereka tetap harus selektif agar pada akhirnya tidak dirugikan.
Budiarto merasakan bank yang memberikan pinjaman modal kepadanya dapat memberikan layanan cepat sehingga kebutuhan bisa langsung terpenuhi. Selain itu bank milik pemerintah ini juga dirasa bersifat ngemong atau membimbing, dan ngewongke atau memberikan perhatian kepada debiturnya. Sehingga ada kedekatan secara personal, tidak hanya hubungan antara pemilik dan peminjam modal saja. Setelah hutangnya lunas ia akan kembali melakukan pinjaman, bahkan kalau diperbolehkan dalam jumlah yang lebih besar.
            Dengan kemudahan yang diberikan bank kepada nasabahnya baik debitur maupun kreditur maka akan mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Alhasil mulailah bermunculan pengusaha-pengusaha kecil yang dapat mengembangkan usaha secara mandiri. Hal ini juga akan berdampak pada percepatan pertumbuhan ekonomi baik di tataran lokal maupun nasional. Apalagi saat ini melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakaan akan melambat. Tentu peran serta para pelaku usaha akan sangat dibutuhkan untuk membangkitkan perekonomian di Indonesia. Dimulai dari tingkatan pengusaha kecil hingga akhirnya akan terus berkembang hingga pengusaha berskala nasional.
Berdasarkan data yang dilansir Bank Indonesia, perekonomian dunia tahun 2013 diperkirakan tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya. World Bank dan Consensus Forecast menurunkan prakiraan pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,1% (year of year) dan 3,2% (year of year). Ekonomi Eropa masih dalam periode kontraksi sejalan resesi di Prancis serta kondisi Spanyol dan Italia yang masih lemah.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan melambat pada triwulan II dan III yaitu hanya tumbuh 5,9 persen. Perlambatan ini dipengaruhi karena lebih rendahnya pertumbuhan konsumsi rumahtangga dan investasi.
Berdasarkan data yang dilansir dari situs www.setkab.com bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan II-2013 sebesar 5,81% (yoy). Data ini sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) diakui Bank Indonesia (BI) lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar 5,9 % (yoy). Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi kebijakan bersama pemerintah dalam mengelola perekonomian agar dapat tumbuh lebih seimbang dan sehat, di tengah proses pemulihan ekonomi dunia yang belum sesuai dengan harapan.
Kenyataan berbeda terlihat dalam pertumbuhan ekonomi regional yang menunjukkan angka cukup tinggi. Di eks Karesidenan Banyumas, aset bank umum pada triwulan II tahun 2013 tumbuh 20,1 persen (year of year), artinya lebih tinggi daripada triwulan I yaitu 18,03 persen (yoy). Sedangkan kreditnya tumbuh menjadi 22,84 persen (yoy) pada triwulan II dari 22,65 persen (yoy) pada triwulan I. Berbeda dengan aset yang dimiliki BPR yang bisa dikatakan tumbuh lebih lambat dibanding bank umum. Aset BPR pada triwulan II yaitu 14,76 persen (yoy) dari 16,06 persen (yoy) pada triwulan I. Sedangkan untuk kreditnya tumbuh 5,52 persen (yoy) pada triwulan II dari 10,66 persen (yoy) pada triwulan I.
Dengan begitu Banyumas merupakan kabupaten yang penghimpunan dana maupun penyaluran kreditnya paling banyak ketimbang kabupaten lain di sekitarnya. Sebagian besar kreditnya disalurkan dalam bentuk kredit modal kerja dan sebagian besar dana yang dihimpun dalam bentuk tabungan, deposito, dan giro. Namun rasio antara jumlah penerima kredit dengan penyimpan dana masih belum seimbang.
Dari jumlah penduduk 4.944.050 jiwa yang tersebar di Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga baru 38,7 persennya yang menyimpan dana di bank dan hanya 7 persen yang menerima kredit. Perbandingan yang masih jauh ini seharusnya menjadi peluang bagi perbankan untuk memberikan inovasi dalam menyalurkan kreditnya kepada masyarakat. Untuk itulah prospek penyaluran kredit masih sangat terbuka demi pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Perbankan seharusnya mempunyai inovasi untuk menarik minat masyarakat menggunakan jasa kreditnya. Bisa melalui penawaran bunga rendah yang masih mengacu pada ketentuan Bank Indonesia atau kemudahan lain agar layanan kreditnya bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.

Melihat potensi penyaluran kredit yang masih sangat berpeluang ini perbankan harus lebih kompetitif dalam melayani masyarakat. Apalagi untuk tataran nasional hanya beberapa bank saja yang diberi kepercayaan untuk menyalurkan kredit. Seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah). Program KUR pertama kali digulirkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  pada tahun 2007 ini telah banyak menciptakan cerita sukses di balik penyaluran KUR kepada usaha kecil di berbagai daerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar