TIAP kali mendengar kisah sukses para pengusaha, cerita
mereka tak pernah lepas dari ikhwal tentang perjuangan yang seolah tanpa batas.
Tak terkecuali untuk pengadaan modal saat memulai usaha. Sebagian menjadi
pengusaha karena memang mempunyai modal, namun sebagian lainnya hanya berbekal nekat
dan keterampilan saja.
Modal kerap menjadi kendala bagi seseorang untuk menuju
sukses dalam berwirausaha seperti yang dialami Sri Budiarto. Pengusaha ini
sempat nekat mendatangi bank untuk mengajukan pinjaman modal demi pengembangan bisnisnya.
Awalnya pria berusia 45 tahun ini hanya berjualan bumbu dapur di Pasar Wage
Purwokerto. Dengan kenekatannya meminjam modal di bank kini ia telah menjadi
suplayer bumbu dapur untuk hotel dan restoran besar yang ada di Purwokerto dan
luar kota.
Berurusan dengan bank kerap mendatangkan rasa takut
tersendiri bagi mereka yang baru memulai
usaha. Kebanyakan masyarakat masih enggan berhubungan langsung dengan perbankan
karena memandang bahwa prosesnya sulit, berbelit, dan menerapkan bunga yang
tinggi.
Budiarto meyakini dengan cara berhutanglah dirinya bisa
mendapatkan modal yang besarnya sesuai dengan kebutuhan. Menurutnya tak perlu
ada ketakutan, yang penting adanya keyakinan dan tetap berusaha untuk bisa
mengembalikan pinjaman. Budiarto memantapkan hati memilih cara ini setelah
mendapat nasihat dari sang ibu.
Waktu itu ia membutuhkan banyak modal setelah kiosnya terbakar
tepatnya tahun 2008. Dari musibah ini ia tidak bisa memulai usaha lagi karena
tak mempunyai kios dan stok barangnya juga ikut ludes terbakar. Sebagai
pengusaha rasa cemas tentu menghampirinya karena berjualan bumbu dapur di pasar
adalah satu-satunya usaha yang dimiliki. Tak ada usaha lain yang bisa
diharapkan.
Kenekatannya meminjam modal di bank kemudian berujung
pada sebuah kisah sukses yang dinikmatinya saat ini. Ia berpegang pada prinsip berwirausaha
yang diyakininya hingga saat ini yaitu "Ora utang ya ora due modal”. Prinsip
ini pula yang mengantarkannya pada gerbang sukses menjadi suplayer bumbu dapur.
Saat dirinya membutuhkan banyak modal dalam waktu dekat,
yang bisa memberi pinjaman hanyalah bank. Alhasil hingga saat ini ia tak pernah
enggan apalagi ragu untuk kembali berhubungan dengan bank. Saat ini pinjaman
modal tinggal dimanfaatkannya untuk penambahan stok dan pengembangan usaha.
Bahkan kios yang ditempatinya juga sudah menjadi milik pribadi, bukan lagi
sewa.
Kala itu ada beberapa bank yang didatangi, namun tidak
semuanya dapat memenuhi permintaan Budiarto untuk berhutang. Hingga pencarian modal
terus dilakukan dan pada akhirnya ia berhenti di sebuah bank berpelat merah.
Saat mengajukan pinjaman modal di bank milik pemerintah ini ia tidak menjumpai banyak
kesulitan. Pada akhirnya Budiarto berhasil
mendapat tambahan modal sebesar Rp 250 juta untuk dilunasi dalam jangka waktu
tertentu. Baginya jumlah ini tentu tidak sedikit namun ia meyakini pasti bisa
mengembalikan dalam waktu yang telah ditentukan.
Menurutnya apabila ada usaha pasti pemasukan akan terus
didapat untuk bisa membayar angsuran setiap bulannya. Baginya tak perlu ada
ketakutan untuk berhubungan langsung dengan pemilik modal. Karena pengusaha
harus siap mengambil risiko, satu diantaranya dengan memilih cara ini. Meski
begitu pengusaha juga tak boleh sembarangan memilih pemodal yang siap memberi
pinjaman, mereka tetap harus selektif agar pada akhirnya tidak dirugikan.
Budiarto merasakan bank yang memberikan pinjaman modal
kepadanya dapat memberikan layanan cepat sehingga kebutuhan bisa langsung
terpenuhi. Selain itu bank milik pemerintah ini juga dirasa bersifat ngemong
atau membimbing, dan ngewongke atau memberikan perhatian kepada debiturnya. Sehingga
ada kedekatan secara personal, tidak hanya hubungan antara pemilik dan peminjam
modal saja. Setelah hutangnya lunas ia akan kembali melakukan pinjaman, bahkan
kalau diperbolehkan dalam jumlah yang lebih besar.
Dengan kemudahan
yang diberikan bank kepada nasabahnya baik debitur maupun kreditur maka akan
mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Alhasil mulailah bermunculan pengusaha-pengusaha
kecil yang dapat mengembangkan usaha secara mandiri. Hal ini juga akan berdampak
pada percepatan pertumbuhan ekonomi baik di tataran lokal maupun nasional.
Apalagi saat ini melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakaan akan
melambat. Tentu peran serta para pelaku usaha akan sangat dibutuhkan untuk
membangkitkan perekonomian di Indonesia. Dimulai dari tingkatan pengusaha kecil
hingga akhirnya akan terus berkembang hingga pengusaha berskala nasional.
Berdasarkan data yang dilansir Bank Indonesia,
perekonomian dunia tahun 2013 diperkirakan tumbuh lebih rendah dari perkiraan
sebelumnya. World Bank dan Consensus Forecast menurunkan prakiraan pertumbuhan
ekonomi global menjadi 3,1% (year of year) dan 3,2% (year of year). Ekonomi
Eropa masih dalam periode kontraksi sejalan resesi di Prancis serta kondisi
Spanyol dan Italia yang masih lemah.
Sedangkan pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan
melambat pada triwulan II dan III yaitu hanya tumbuh 5,9 persen. Perlambatan
ini dipengaruhi karena lebih rendahnya pertumbuhan konsumsi rumahtangga dan
investasi.
Berdasarkan data yang dilansir dari situs www.setkab.com bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan
II-2013 sebesar 5,81% (yoy). Data ini sebagaimana dirilis Badan Pusat Statistik
(BPS) diakui Bank Indonesia (BI) lebih rendah dari perkiraan sebelumnya sebesar
5,9 % (yoy). Bank Indonesia akan memperkuat koordinasi kebijakan bersama
pemerintah dalam mengelola perekonomian agar dapat tumbuh lebih seimbang dan
sehat, di tengah proses pemulihan ekonomi dunia yang belum sesuai dengan
harapan.
Kenyataan berbeda terlihat dalam pertumbuhan ekonomi
regional yang menunjukkan angka cukup tinggi. Di eks Karesidenan Banyumas, aset
bank umum pada triwulan II tahun 2013 tumbuh 20,1 persen (year of year),
artinya lebih tinggi daripada triwulan I yaitu 18,03 persen (yoy). Sedangkan
kreditnya tumbuh menjadi 22,84 persen (yoy) pada triwulan II dari 22,65 persen
(yoy) pada triwulan I. Berbeda dengan aset yang dimiliki BPR yang bisa
dikatakan tumbuh lebih lambat dibanding bank umum. Aset BPR pada triwulan II
yaitu 14,76 persen (yoy) dari 16,06 persen (yoy) pada triwulan I. Sedangkan
untuk kreditnya tumbuh 5,52 persen (yoy) pada triwulan II dari 10,66 persen
(yoy) pada triwulan I.
Dengan begitu Banyumas merupakan kabupaten yang
penghimpunan dana maupun penyaluran kreditnya paling banyak ketimbang kabupaten
lain di sekitarnya. Sebagian besar kreditnya disalurkan dalam bentuk kredit
modal kerja dan sebagian besar dana yang dihimpun dalam bentuk tabungan,
deposito, dan giro. Namun rasio antara jumlah penerima kredit dengan penyimpan
dana masih belum seimbang.
Dari jumlah penduduk 4.944.050 jiwa yang tersebar di
Banjarnegara, Banyumas, Cilacap, dan Purbalingga baru 38,7 persennya yang
menyimpan dana di bank dan hanya 7 persen yang menerima kredit. Perbandingan
yang masih jauh ini seharusnya menjadi peluang bagi perbankan untuk memberikan
inovasi dalam menyalurkan kreditnya kepada masyarakat. Untuk itulah prospek
penyaluran kredit masih sangat terbuka demi pertumbuhan ekonomi di masyarakat.
Perbankan seharusnya mempunyai inovasi untuk menarik minat masyarakat
menggunakan jasa kreditnya. Bisa melalui penawaran bunga rendah yang masih
mengacu pada ketentuan Bank Indonesia atau kemudahan lain agar layanan
kreditnya bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Melihat potensi penyaluran kredit yang masih sangat
berpeluang ini perbankan harus lebih kompetitif dalam melayani masyarakat.
Apalagi untuk tataran nasional hanya beberapa bank saja yang diberi kepercayaan
untuk menyalurkan kredit. Seperti Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia
(BRI), Bank Mandiri, Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Bukopin, Bank Syariah
Mandiri, dan Bank Negara Indonesia Syariah (BNI Syariah). Program KUR pertama
kali digulirkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2007 ini telah banyak menciptakan
cerita sukses di balik penyaluran KUR kepada usaha kecil di berbagai daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar