Titut, Budayawan Banyumas bersama boneka cowongan koleksinya |
NYONG kuwe mung ikhtiar, nguri-nguri budaya Banyumas men ora musnah. Begitu
penggalan kalimat dalam adegan pembuatan film pendek yang berjudul Wir
Kanthong, Minggu (5/8). Skenario dalam film ini sengaja dibuat olah
Saeran Samsidi untuk mengikuti festival film indie di tingkat Jawa
Tengah.
Sosok Wir Kanthong adalah masyarakat dari kalangan biasa yang menekuni seni tradisional. Ia menjadi penari ebeg dan pemain cowongan. Saking cintanya kepada kebudayaan daerah sehingga ia terus menekuni budaya ini hingga ekonominya terbilang berantakan.
"Ini realita yang terjadi di daerah sekitar kita. Bahwa pelaku budaya Banyumasan tergolong dari kalangan ekonomi bawah sehingga penghasilannya tidak seberapa. Bahkan terkadang tersisihkan di kalangan masyarakat," kata Saeran Samsidi, Minggu (5/8).
Pekerjaan Wir Kanthong menjadi penari ebeg dan pemain cowongan mendapat tekanan dari masyarakat sekitar. Terlebih dari pemuka agama yang tinggal satu kompleks dengannya. Bahkan perhatian dari pemerintah pun tidak didapatnya terbukti dengan banyaknya gunjingan yang kerap dirasakan.
Tak hanya tekanan dari masyarakat bahkan sang istri, Ratem juga tak setuju dengan pekerjaannya itu. Menjadi penari ebeg dan pemain cowongan dianggap musyrik karena menyimpan setan dalam rumahnya, hampir semua orang mengecam pekerjaan Wir Kanthong.
Namun berbeda dengan anak sulungnya, Bedor yang malah berlaku sebaliknya. Ia sangat setuju dengan pekerjaan sang bapak untuk memertahankan budaya Banyumasan.
"Kye kan budaya men ora ilang dadi aja dicampur karo agama," kata Bedor sembari membela sang bapak.
Bedor termasuk anak yang cerdas bahkan ia juga mendapat beasiswa dari sekolah dan rajin mengaji namun pola pikirnya tetap terbuka untuk menerima kebudayaan yang dipertahankan oleh sang bapak. Pengajian yang diikuti tidak bersifat normatif yang melarang berbagai kebudayaan untuk terus dipertahankan.
Anak ini berguru seni tradisional pada Kyai Brewok. Ia diajarkan bahwa ada perbedaan antara budaya dengan agama sehingga keduanya tidak dapat dicampur-adukkan.
Kyai Brewok yang dimainkan oleh Titut, tokoh budayawan Banyumas mengatakan bahwa budaya hanya sebatas kreativitas yang mengandung filosofi tentang kehidupan. Maknanya sangat indah apabila manusia memahami secara komprehensif, bukan sebatas budaya agama yang seperti Budaya Arab.
Seperti halnya ebeg yang mengandung makna tentang perjuangan para prajurit pada zaman Kerajaan Majapahit yang mengendarai kuda. Makna lain juga disampaikannya bahwa ebeg sebagai simbol perlawanan terhadap nafsu yang sering tak dikendalikan oleh manusia. Filosofi ini digambarkan dalam tarian ebeg yang menggunakan properti kuda lumping yang terkena indang (mendem).
Titut juga menjelaskan bahwa pertunjukan cowongan juga menjadi simbol usaha manusia untuk meminta rizki kepada tuhan agarnya tanahnya tetap subur.
"Sekolang-kolang mateng ditutur udan-udan," kata Titut membacakan mantra dalam permainan cowongan.
Mantra itu mengartikan bahwa manusia sedang menunggu musim hujan agar bumi yang dipijaknya tetap tumbuh subur.
Properti dalam pertunjukan ini menggunakan bathok kelapa yang kosong kemudian ditusuk dengan jerami. Ini menggambarkan bahwa realita yang terjadi di bumi ini sudah mengalami kekeringan. Sehingga manusia memohon kepada tuhan dengan menengadahkan bathok kelapa sebagai simbolnya. (fitri nurhayati)
Sosok Wir Kanthong adalah masyarakat dari kalangan biasa yang menekuni seni tradisional. Ia menjadi penari ebeg dan pemain cowongan. Saking cintanya kepada kebudayaan daerah sehingga ia terus menekuni budaya ini hingga ekonominya terbilang berantakan.
"Ini realita yang terjadi di daerah sekitar kita. Bahwa pelaku budaya Banyumasan tergolong dari kalangan ekonomi bawah sehingga penghasilannya tidak seberapa. Bahkan terkadang tersisihkan di kalangan masyarakat," kata Saeran Samsidi, Minggu (5/8).
Pekerjaan Wir Kanthong menjadi penari ebeg dan pemain cowongan mendapat tekanan dari masyarakat sekitar. Terlebih dari pemuka agama yang tinggal satu kompleks dengannya. Bahkan perhatian dari pemerintah pun tidak didapatnya terbukti dengan banyaknya gunjingan yang kerap dirasakan.
Tak hanya tekanan dari masyarakat bahkan sang istri, Ratem juga tak setuju dengan pekerjaannya itu. Menjadi penari ebeg dan pemain cowongan dianggap musyrik karena menyimpan setan dalam rumahnya, hampir semua orang mengecam pekerjaan Wir Kanthong.
Namun berbeda dengan anak sulungnya, Bedor yang malah berlaku sebaliknya. Ia sangat setuju dengan pekerjaan sang bapak untuk memertahankan budaya Banyumasan.
"Kye kan budaya men ora ilang dadi aja dicampur karo agama," kata Bedor sembari membela sang bapak.
Bedor termasuk anak yang cerdas bahkan ia juga mendapat beasiswa dari sekolah dan rajin mengaji namun pola pikirnya tetap terbuka untuk menerima kebudayaan yang dipertahankan oleh sang bapak. Pengajian yang diikuti tidak bersifat normatif yang melarang berbagai kebudayaan untuk terus dipertahankan.
Anak ini berguru seni tradisional pada Kyai Brewok. Ia diajarkan bahwa ada perbedaan antara budaya dengan agama sehingga keduanya tidak dapat dicampur-adukkan.
Kyai Brewok yang dimainkan oleh Titut, tokoh budayawan Banyumas mengatakan bahwa budaya hanya sebatas kreativitas yang mengandung filosofi tentang kehidupan. Maknanya sangat indah apabila manusia memahami secara komprehensif, bukan sebatas budaya agama yang seperti Budaya Arab.
Seperti halnya ebeg yang mengandung makna tentang perjuangan para prajurit pada zaman Kerajaan Majapahit yang mengendarai kuda. Makna lain juga disampaikannya bahwa ebeg sebagai simbol perlawanan terhadap nafsu yang sering tak dikendalikan oleh manusia. Filosofi ini digambarkan dalam tarian ebeg yang menggunakan properti kuda lumping yang terkena indang (mendem).
Titut juga menjelaskan bahwa pertunjukan cowongan juga menjadi simbol usaha manusia untuk meminta rizki kepada tuhan agarnya tanahnya tetap subur.
"Sekolang-kolang mateng ditutur udan-udan," kata Titut membacakan mantra dalam permainan cowongan.
Mantra itu mengartikan bahwa manusia sedang menunggu musim hujan agar bumi yang dipijaknya tetap tumbuh subur.
Properti dalam pertunjukan ini menggunakan bathok kelapa yang kosong kemudian ditusuk dengan jerami. Ini menggambarkan bahwa realita yang terjadi di bumi ini sudah mengalami kekeringan. Sehingga manusia memohon kepada tuhan dengan menengadahkan bathok kelapa sebagai simbolnya. (fitri nurhayati)
hormat buat mas Titut yg terus berusaha mempertahankan budaya banyumasan di era blackbarry sekarang ini.... dan salut untuk penulis fitri nurhayati yg peduli dengan tokoh budaya daerah...
BalasHapusTerimakasih Mas Yodha Studio, semoga tetap terus berkarya. Ditunggu kritik dan saran yang membangun.
BalasHapusmbak pipit, kalo boleh tahu foto diatas punya siapa.. kalo boleh minta ijin pingin bikin lukisan dengan model seperti foto diatas... rencana untuk acara budaya juga. nama fotografer akan saya cantumkan dikarya, lukisannya gaya WPAP ( Wedha's Pop Art Portrait)seperti poto profilku ... terimakasih...
BalasHapusSilakan kalau bermanfaat dipakai saja. Itu saya yang motret mas. Kalau udah jadi share hasil karyanya yaaa...
BalasHapus