Murid SMAKER Riung, Flores, NTT |
Aku mempersilakan siapa saja yang ingin mencoba menuliskan nama dan
cita-citanya Ternyata tidak ada satu pun yang berani maju di depan kelas
HAMPIR seminggu masuk sekolah aku masih belum mendapat jadwal
mengajar. Ada dua kelas yang kebetulan jamnya kosong karena guru pengampu jadwalnya
bentrok dengan jadwal mengajar di sekolah lain. Hal ini sudah biasa terjadi
bahkan hampir di semua sekolah. Tak heran apabila siswa sering ketinggalan
materi pelajaran.
Beberapa guru masih disibukkan dengan persiapan kunjungan kerja
perdana Kepala Dinas PKPO Kabupaten Ngada. Maklum kunjungan ini merupakan yang
pertama dilakukan oleh orang nomor satu di Dinas PKPO setelah sebulan ia
menjabat. Untuk itulah butuh persiapan yang matang, terlebih kunjungan ini
melibatkan seluruh sekolah baik negeri maupun swasta yang ada di Kecamatan
Riung. Kebetulan sekolahku ketempatan untuk kunja perdana ini.
Waktu itu kelas 3 IPS 1 dan 2 yang kosong, seharusnya mereka
belajar TIK. Dua kelas ini terpaksa digabung karena satu ruangan sedang
direnovasi untuk sementara waktu.
Daripada duduk di ruang guru aku memilih masuk kelas yang kosong.
Ada waktu dua jam untukku bercakap-cakap dengan mereka. Seperti di kelas lain
aku selalu mengenalkan diri dan sedikit menceritakan profil singkat tentang
diriku sendiri. Bukan apa-apa tujuannya hanya memberi motivasi kepada mereka
untuk terus belajar. Kalau perlu sampai mereka merantau ke tanah orang dan
kembali ke kampung halaman untuk membangun kampung halamannya.
TIK sebenarnya adalah pelajaran yang sangat menyenangkan, seperti
pengalamanku dulu saat duduk di bangku SMP. Selain bisa mengenal teknologi aku
juga tidak perlu banyak berfikir seperti halnya saat mata pelajaran yang lain.
Mapel yang satu ini tinggal praktik langsung, tinggal klik dan layar akan
berubah dengan seketika. Mengenal teknologi seperti komputer waktu itu memang
sangat luar biasa, maklum kami orang desa yang sebelumnya tidak pernah mengenal
teknologi yang terbilang canggih ini. Tak heran jika muridku saat ini merasakan
hal yang sama, hanya saja persentase praktik mereka lebih sedikit ketimbang
teori, bahkan nyaris tidak ada praktik sama sekali.
Bahkan KBM sudah berjalan hampir dua bulan namun guru mapel TIK
sama sekali belum pernah masuk kelas. Siswa hanya diberi tugas mengerjakan soal
yang ada dalam buku paket, membaca materi sendiri, dan memahaminya sendiri.
Sudah salah kaprah pembelajaran semacam ini. Tapi apa mau dikata kondisi
sekolah yang tidak memungkinkan.
“Kalian pernah belajar komputer?” tanyaku dalam kelas.
“Pernah bu waktu SMP tapi sudah lupa. Diajari ngetik saja,” kata
seorang anak.
Dalam benakku seharusnya mereka sudah tak asing dengan komputer
tapi pada kenyataannya tidak. Pelajaran ini butuh praktik sehingga siswa bisa
memahami langsung apa yang mereka pelajari.
“Sekarang tutup bukunya. Kita belajar ngetik yaa,”
“Asyik...”
Kebetulan aku membawa laptop dan terpaksa aku juga meminjam netbook
milik Septi yang waktu itu sedang duduk santai di ruang guru. Ia bersedia
membantuku untuk mengawasi anak-anak saat belajar mengetik. Hanya ada dua
laptop di dalam kelas, tak apa setidaknya mereka bisa menyentuh yang namanya
komputer.
Sebelumnya kujelaskan beberapa bagian yang di dalamnya, mulai dari
layar monitor, keyboard, mouse, dan coolpad yang aku bawa. Meski sebenarnya
aku juga tidak menguasai semua piranti
dalam teknologi ini. Ternyata sebagian dari mereka masih ada yang ingat, ada
yang menirukan suaraku saat menyebutkan beberapa perangkat keras ini.
Satu per satu aku menyuruh mereka menulis nama dan cita-cita yang
ingin dicapai kelak setelah mereka dewasa. Tujuanku tidak hanya belajar saja,
namun aku juga ingin membangun motivasi belajar siswa untuk meraih cita-cita.
Semua siswa kegirangan saat laptop kusiapkan di depan kelas. Aku
mempersilakan siapa saja yang ingin mencoba menulis nama dan cita-citanya.
Ternyata tidak ada satu pun yang berani maju ke depan kelas.
“Takut laptop bu guru rusak,” kata Maria Yein yang saat itu duduk di kursi
deretan paling depan.
Aku sedikit tergelitik dengan pengakuan mereka. Lugu, jujur, tapi
sebenarnya mempunyai semangat belajar yang tinggi. Sebenarnya sekolah punya
beberapa unit komputer, kelihatannya ada enam komputer yang masih baru hanya
saja sepertinya jarang sekali digunakan. Ini karena terbatasnya tenaga pengajar
yang terbilang mumpuni di bidangnya, kalau pun ada mereka harus membagi waktu
dengan kelas atau sekolah lain.
Aku memandu mereka agar semua siswa bisa mencoba mengetik di
laptopku. Mulai dari Yein yang kebetulan memang duduk di kursi paling depan.
Kemudian diikuti siswa lain yang duduk disampingnya. Setelah seorang siswa maju
untuk praktik maka siswa lain sudah tak lagi segan untuk mencoba kegiatan yang
sama.
Dua jam pelajaran terasa sangat cepat. Hasil dari tulisan mereka
memberitahukan padaku bahwa sebenarnya anak-anak ini punya cita-cita yang luar
biasa. Ada yang ingin menjadi guru, polisi, tentara, dokter, ahli
matematika, jadi pastor, dll.
Di luar sana terdengar lonceng berbunyi nyaring pertanda sudah
waktunya ganti pelajaran. Aku bergegas menutup pertemuan kali ini dan kukatakan
suatu saat aku akan kembali ke kelas ini, kalau ada jadwal mengajar atau hanya
ingin menengok mereka di kelas.
Aku bergegas mematikan laptop dan segera menuju ruang guru. Mama
Sisi sudah bersiap diri untuk masuk ke ruang kelas yang sama.
“Nah begitu bu Fit anak-anak senang kalau belajar komputer apalagi
praktik langsung. Sekarang gantian saya yang masuk kelas,” kata Mama Sisi
sembari membawa Buku Matematika yang akan disampaikan kepada siswaku tadi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar