Foto ilustrasi (cahyadi-takariawan.web.id) |
Semangat
itu menular saat aku menyaksikan mama Gina sibuk dengan buku tulisnya yang
tebal-tebal. Ada yang bersampul merah, hijau, biru, dan kuning, namun semuanya
sudah usang dimakan usia. Ia menumpuknya rapi di meja kerjanya yang sudah
penuh. Katanya biar mudah mencari sewaktu-waktu.
Buku
itu dibukanya setiap musim ujian kenaikan kelas. Kadang membuka untuk mencari
referensi soal atau untuk menambahkan tulisan di halaman baru berupa kumpulan
soal. Aku meniliknya perlahan. Satu per satu dirangkainya dengan rapi soal-soal
yang akan dikeluarkan saat ulangan. Lengkap dengan kelas, semester, mata
pelajaran, dan tahun ajarnya.
Masih
ada waktu dua hari yang diberikan bagian kurikulum untuk para guru mengumpulkan
soal. Kali ini aku lihat kesibukan mama Gina semakin memadat. Ia mengampu dua
mata pelajaran untuk semua kelas. Kelas satu waktu itu masih umum, belum
penjurusan. Berbeda dengan kelas dua yang sudah terbagi jurusan IPA, IPS, dan
Bahasa.
Kusaksikan
sesekali ia melempar tangannya ke depan. Mungkin untuk mengendurkan otot atau
memberikan jeda pada tulisan yang sudah terlalu banyak. Di jarinya terselip bolpoin
hitam yang tintanya hampir habis. Kalau dihitung tiap semester ia harus
menyusun delapan paket soal yang berbeda, tentunya dengan tulisan tangan karena
mama Gina tak dapat mengoperasikan komputer.
“Ada
yang bisa saya bantu bu? Sepertinya pekerjaanya masih banyak,” tanyaku.
“Oh
tidak bu terimasih. Besok saja saya minta tolong ibu ketik soal ini. Biar karyawan
TU bisa langsung menggandakan,” jawabnya.
Kalau
hanya sekadar mengetik soal yang sudah ada aku sangat tidak keberatan. Apalagi
melihat mama Gina yang sedari tadi tidak beranjak dari mejanya. Sampai jam
sekolah selesai ia masih tetap setia di depan buku yang memenuhi mejanya. Aku
menemaninya dengan kesibukanku sendiri.
Ia
harus menyelesaikan pekerjaan ini dalam waktu berhari-hari sedang aku hanya
beberapa jam saja. Tinggal menggunakan laptop dan pekerjaan terselesaikan
dengan cepat. Berbeda dengan mama Gina yang harus tulis tangan, membuka buku
berlembar-lembar, mencari tiap halaman, dan memutihkan kata dengan tipeX kalau
salah.
“Saya
tidak bisa kerja dengan itu barang jadi lama begini bu,” katanya sambil
menunjuk laptopku.
Lewat
senyum tipis aku menyatakan kebanggaan padanya. Seorang guru yang tetap
semangat menjalankan tugasnya yang seabreg tanpa mengenal IT. Kalau aku jadi
dia mungkin sudah enggan dan memilih kabur atau menjiplak soal lama. Tapi mama
Gina tetap mengupdate soal yang akan diberikan kepada anak didiknya.
Kata
karyawan TU, mama Gina adalah guru paling rajin yang selalu tepat waktu
menyetor soal. Meski bebannya yang paling banyak, namun ia juga yang paling
disiplin. Kulihat buku-buku di depannya bukan hanya kumpulan soal saja, tapi
lengkap dengan perangkat pembelajaran yang juga ditulis tangan. Katanya dari
awal menjadi guru ia mengarsipkan semuanya dengan tulisan tangan. Kalau pun ada
yang diketik itu pasti pemberian orang atau hanya photo copy saja.
“Ini
kalau mendadak ada supervisi saya sudah siap. Semuanya ada di buku-buku ini,”
ujarnya.
Mama
Gina telah menjadi guru tetap yayasan yang mengajar di sekolah ini.
Pengabdiannya selama bertahun-tahun melekatkan jiwa disiplin yang luar biasa
pada dirinya. Apalagi di tengah gejolak kebijakan pemerintah tentang guru yang
harus melek IT. Di usianya yang tak lagi muda kupikirakan akan kesulitan bagi
mama Gina mengimbangi derasnya arus teknologi.
Padahal
guru dituntut untuk selalu mengupdate pengetahuan baik akademik maupun non
akademik. Aku jadi berfikir disinilah letak keistimewaan mama Gina. Saat yang
lain sibuk dengan arus globalisasi pendidikan, ia masih tetap mempertahankan
hakikat pendidikan. Menurutnya pendidikan yang terpenting adalah penanaman moral
dan karakter pada anak sebagai bekal meraih ilmu pengetahuan. Pendidikan adalah
sebentuk pengabdiannya kepada negeri dengan caranya sendiri. Keterbatasan mama
Gina akan IT tak pernah menjadi hambatan untuk tetap mendedikasikan diri untuk
dunia pendidikan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar