Minggu, 13 Juli 2014

Sering Pingsan, Elsa Tetap Percaya Diri

Paras dewasa nampak dari wajahnya yang sederhana, sebanding dengan usianya yang sudah lewat 23 tahun. Biasanya gadis di usia ini sedang sibuk memikirkan dandanan atau bahkan gandengan lawan jenis yang akan diajak seriusan, namun hal itu tidak berlaku bagi Elsa. Di usia yang seharusnya sudah memasuki fase dewasa ini ia masih berperilaku  layaknya ABG yang sedang menikmati masa pubertas.
Jangan heran, karena pemilik nama Maria Felisitas T. Bei ini memang baru duduk di kelas 2 SMA. Saya mendapatinya saat menjadi guru SM-3T di SMA S Kejora Riung, Nusa Tenggara Timur. Di kelas XI Bahasa yang saat itu sedang jam kosong saya mengenal Elsa. Saat itu iseng saja mengisi kelas kosong karena guru yang bersangkutan sedang dinas luar, kebetulan pada minggu pertama penempatan di sekolah ini saya belum mendapat jadwal mengajar.
Di kelas yang saat itu dindingnya masih kasar dan jendelanya tak berkaca saya mengenalkan diri, diikuti para siswa satu per satu. Ternyata tanpa dipancing lebih mendalam beberapa siswa dengan sukarela memperkenalkan diri masing-masing termasuk Elsa. Dikatakan bahwa gadis berparas gemuk ini adalah yang usianya paling tua di kelas, diikuti siswa lain yang usianya terpaut lima sampai enam tahun lebih muda. Melihat sekilas wajah Elsa saya pikir tidak ada perbedaan yang mendasar dengan siswa lainnya. Apalagi saat mereka membaur dan melakukan aktivitas di kelas secara bersama-sama.
Ikatan rambut yang menjadi ciri khasnya ini menjadikan dandanan Elsa terpaksa masih seperti ABG. Namun tidak demikian untuk soal keberaniannya saat unjuk gigi di depan kelas. Percaya dirinya muncul tanpa benteng penghalang sedikit pun saat saya meminta mereka untuk meramaikan kelas dengan sukarela usai sesi perkenalan. Elsa adalah siswa pertama yang mengangkat tangan untuk bersedia memberikan hiburan dalam kelas. Ia menyanyi sendirian dengan membawakan lagu Air Susu Mama. Berdiri di depan kelas dengan pakaian rapi, sepatu hitam, dan senyum malu-malu sambil sesekali membuang pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
Sontak kelas menjadi tenang menyaksikan keberanian Elsa bernyanyi sendiri di depan kelas yang tentunya hal ini tidak pernah dilakukan siswa lain. Keberanian gadis bermata bulat ini pula yang memicu siswa lain untuk ikut unjuk keberanian di depan kelas. Mereka tak ingin kalah dengan Elsa meski siswa lainnya maju dengan membawa teman, ada yang berdua, bahkan bertiga.
Gadis yang duduk di kursi pojok kiri tepatnya nomor dua dari depan ini mendapat applause meriah saat menyudahi penampilannya. Setiap kali saya menjatuhkan pandangan padanya karena kagum, Elsa hanya tersenyum malu. Sejak itulah saya mengira kalau siswa di sekolah ini mempunyai keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Namun anggapan ini saya bantah sendiri setelah menjumpai karakter siswa yang beragam bahkan penilaian untuk beberapa kelas dengan tingkatan yang berbeda pula. Sampai sekarang yang masih meninggalkan kesan percaya diri  luar biasa adalah Elsa.
Keesokan harinya usai apel pagi seorang guru menghampiri saya di kantor, Maria Selviana Koka Owa namanya. Guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ini juga dipercaya menjadi wali kelas Elsa. “Ibu kemarin masuk kelas Bahasa? Bagaimana pertama masuk kelas itu bu?” tanya dia.
Saya menceritakan keasyikan saat berada di kelasnya selama dua jam pelajaran, termasuk kesan pertama saya pada Elsa. Ibu Selvi bercerita tentang Elsa menjadikan saya semakin yakin bahwa siswa yang satu ini memang menjadi perhatian banyak kalangan, entah karena percaya dirinya, usianya, atau faktor lain yang belum saya ketahui dengan detail.
Dikatakan bahwa Elsa kecil dulunya pernah jatuh dari tempat tidur hingga mengakibatkan benturan di kepala. Saat itu memang tidak parah namun dokter mengatakan kejadian ini mungkin dampaknya akan terasa saat si gadis memasuki usia remaja atau dewasa. Seharusnya sekarang ia sudah duduk di bangku kuliah  atau bahkan sudah lulus sarjana. Tak salah dugaanku, bahwa anak ini istimewa dan membutuhkan perhatian khusus dalam perkembangan belajarnya.
Kejadian masa kecil itu pula, kata Selvi yang membuat gadis ini sering sakit di sekolah. Bisa sampai pingsan atau kejang seperti orang ayan. Penyebabnya sederhana, hanya karena kelelahan, pikiran stress, atau suasana hati yang tidak menyenangkan. Apalagi duduk di kelas dua SMA tentu ia harus menjumpai materi pelajaran yang tingkat kesulitannya mulai tinggi. “Makanya dia tidak boleh kelelahan dan pikirannya juga tidak boleh stress,” ujarnya Selvi.
Sering orangtua Elsa datang ke sekolah untuk menjemput anak pertamanya ini. Selvi mengakui si bungsu dari tiga bersaudara ini memang rajin dan ulet meski secara kepandaian ia terbilang lambat apabila dibandingkan siswa lain di kelasnya. Beruntung siswa lain mempunyai sifat terbuka dan memahami kondisi Elsa. Keterlambatan Elsa dalam memahami pelajaran atau bersosialisasi juga dimungkinkan akibat kecelakaan semasa kecil.
“Semangat belajarnya tinggi, biarpun pemahamannya terbilang lambat. Tapi kita harus terus memberi semangat pada Elsa,”ujarnya.
Rajin yang dimaksud Selviana saya buktikan tidak hanya saat berada di kelas mengerjakan soal ujian sampai waktu habis saja, namun saya juga melihat keuletannya saat ia menenteng keranjang cukup besar berisikan mangga aromanis. Setiap musim panen ia membawanya ke sekolah untuk dijual kepada guru atau teman-temannya. Dijualnya seharga Rp 10 ribu untuk satu plastik berisi empat sampai lima lima mangga tergantung besarnya.
“Buat bantu orangtua bu,” kata Elsa saat ditanya kenapa menjual mangga. Hal yang dilakukan Elsa ini belum tentu dengan mudah dilakukan siswa lain di sekolahnya. Rasa percaya diri gadis Flores yang satu ini seharusnya dapat menginspirasi siswa lain setidaknya saat berada di dalam kelas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar