Jangan
heran, karena pemilik nama Maria Felisitas T. Bei ini memang baru duduk di
kelas 2 SMA. Saya mendapatinya saat menjadi guru SM-3T di SMA S Kejora Riung,
Nusa Tenggara Timur. Di kelas XI Bahasa yang saat itu sedang jam kosong saya
mengenal Elsa. Saat itu iseng saja mengisi kelas kosong karena guru yang
bersangkutan sedang dinas luar, kebetulan pada minggu pertama penempatan di
sekolah ini saya belum mendapat jadwal mengajar.
Di kelas
yang saat itu dindingnya masih kasar dan jendelanya tak berkaca saya
mengenalkan diri, diikuti para siswa satu per satu. Ternyata tanpa dipancing lebih
mendalam beberapa siswa dengan sukarela memperkenalkan diri masing-masing
termasuk Elsa. Dikatakan bahwa gadis berparas gemuk ini adalah yang usianya
paling tua di kelas, diikuti siswa lain yang usianya terpaut lima sampai enam
tahun lebih muda. Melihat sekilas wajah Elsa saya pikir tidak ada perbedaan
yang mendasar dengan siswa lainnya. Apalagi saat mereka membaur dan melakukan
aktivitas di kelas secara bersama-sama.
Ikatan
rambut yang menjadi ciri khasnya ini menjadikan dandanan Elsa terpaksa masih
seperti ABG. Namun tidak demikian untuk soal keberaniannya saat unjuk gigi di
depan kelas. Percaya dirinya muncul tanpa benteng penghalang sedikit pun saat
saya meminta mereka untuk meramaikan kelas dengan sukarela usai sesi perkenalan.
Elsa adalah siswa pertama yang mengangkat tangan untuk bersedia memberikan
hiburan dalam kelas. Ia menyanyi sendirian dengan membawakan lagu Air Susu
Mama. Berdiri di depan kelas dengan pakaian rapi, sepatu hitam, dan senyum
malu-malu sambil sesekali membuang pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
Sontak
kelas menjadi tenang menyaksikan keberanian Elsa bernyanyi sendiri di depan
kelas yang tentunya hal ini tidak pernah dilakukan siswa lain. Keberanian gadis
bermata bulat ini pula yang memicu siswa lain untuk ikut unjuk keberanian di
depan kelas. Mereka tak ingin kalah dengan Elsa meski siswa lainnya maju dengan
membawa teman, ada yang berdua, bahkan bertiga.
Gadis yang
duduk di kursi pojok kiri tepatnya nomor dua dari depan ini mendapat applause
meriah saat menyudahi penampilannya. Setiap kali saya menjatuhkan pandangan
padanya karena kagum, Elsa hanya tersenyum malu. Sejak itulah saya mengira
kalau siswa di sekolah ini mempunyai keberanian dan rasa percaya diri yang
tinggi. Namun anggapan ini saya bantah sendiri setelah menjumpai karakter siswa
yang beragam bahkan penilaian untuk beberapa kelas dengan tingkatan yang
berbeda pula. Sampai sekarang yang masih meninggalkan kesan percaya diri luar biasa adalah Elsa.
Keesokan
harinya usai apel pagi seorang guru menghampiri saya di kantor, Maria Selviana
Koka Owa namanya. Guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ini juga
dipercaya menjadi wali kelas Elsa. “Ibu kemarin masuk kelas Bahasa? Bagaimana
pertama masuk kelas itu bu?” tanya dia.
Saya
menceritakan keasyikan saat berada di kelasnya selama dua jam pelajaran,
termasuk kesan pertama saya pada Elsa. Ibu Selvi bercerita tentang Elsa
menjadikan saya semakin yakin bahwa siswa yang satu ini memang menjadi
perhatian banyak kalangan, entah karena percaya dirinya, usianya, atau faktor
lain yang belum saya ketahui dengan detail.
Dikatakan
bahwa Elsa kecil dulunya pernah jatuh dari tempat tidur hingga mengakibatkan
benturan di kepala. Saat itu memang tidak parah namun dokter mengatakan
kejadian ini mungkin dampaknya akan terasa saat si gadis memasuki usia remaja
atau dewasa. Seharusnya sekarang ia sudah duduk di bangku kuliah atau bahkan sudah lulus sarjana. Tak salah
dugaanku, bahwa anak ini istimewa dan membutuhkan perhatian khusus dalam
perkembangan belajarnya.
Kejadian masa
kecil itu pula, kata Selvi yang membuat gadis ini sering sakit di sekolah. Bisa
sampai pingsan atau kejang seperti orang ayan. Penyebabnya sederhana, hanya
karena kelelahan, pikiran stress, atau suasana hati yang tidak menyenangkan.
Apalagi duduk di kelas dua SMA tentu ia harus menjumpai materi pelajaran yang
tingkat kesulitannya mulai tinggi. “Makanya dia tidak boleh kelelahan dan
pikirannya juga tidak boleh stress,” ujarnya Selvi.
Sering
orangtua Elsa datang ke sekolah untuk menjemput anak pertamanya ini. Selvi
mengakui si bungsu dari tiga bersaudara ini memang rajin dan ulet meski secara
kepandaian ia terbilang lambat apabila dibandingkan siswa lain di kelasnya.
Beruntung siswa lain mempunyai sifat terbuka dan memahami kondisi Elsa. Keterlambatan
Elsa dalam memahami pelajaran atau bersosialisasi juga dimungkinkan akibat
kecelakaan semasa kecil.
“Semangat
belajarnya tinggi, biarpun pemahamannya terbilang lambat. Tapi kita harus terus
memberi semangat pada Elsa,”ujarnya.
Rajin yang
dimaksud Selviana saya buktikan tidak hanya saat berada di kelas mengerjakan
soal ujian sampai waktu habis saja, namun saya juga melihat keuletannya saat ia
menenteng keranjang cukup besar berisikan mangga aromanis. Setiap musim panen
ia membawanya ke sekolah untuk dijual kepada guru atau teman-temannya.
Dijualnya seharga Rp 10 ribu untuk satu plastik berisi empat sampai lima lima mangga
tergantung besarnya.
“Buat
bantu orangtua bu,” kata Elsa saat ditanya kenapa menjual mangga. Hal yang
dilakukan Elsa ini belum tentu dengan mudah dilakukan siswa lain di sekolahnya.
Rasa percaya diri gadis Flores yang satu ini seharusnya dapat menginspirasi
siswa lain setidaknya saat berada di dalam kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar