Kamis, 03 Januari 2013

Tak Ada Lagi Bahasa Perlawanan


Pipit Nurhayati, Kamis (3/1) 
Jejaring sosial menjadi sarana empuk yang dapat menyalurkan ide baik berupa tulisan, gambar, maupun animasi. Media ini seolah menjadi wadah yang paling efektif untuk mempublikasikan karya seseorang. Disinilah gudangnya karya yang secara instan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hampir semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa tak pernah absen membuka jaringan ini. Mereka juga tak pernah absen meninggalkan jejak setelah membuka sebuah situs tertentu. Ada saja yang patut untuk dikomentari atau bahkan hanya sebatas tanda baca sekalipun. Media ini menghubungkan komunikasi antar pengguna yang jaraknya tidak dekat namun seolah keduanya saling berhadapan langsung.
Tentunya banyak manfaat yang dapat diambil dalam penggunaan jejaring sosial ini. Namun karena dimanjakan dengan teknologi yang terus berkembang, seolah daya kritis masyarakat terhadap kondisi sosial malah menurun. Kecuali pada media masa elektronik yang memang memunyai fungsi sebagai kontrol sosial dan pemberi informasi kepada khalayak umum.
Sebagaimana empat fungsi media yang bertindak sebagai pemberi informasi, edukasi, transformasi, dan kontrol sosial. Hendaknya memang selalu meng-update karya jurnalistik melalui jejaring sosial sehingga tetap eksis mengkritisi kondisi sosial di masyarakat. 
Berbicara tentang sebuah karya baik berupa tulisan maupun gambar  tentu berasal dari hasil daya pikir dan imajinasi seorang kreator. Karya ini tak akan terlepas dari adanya penjelasan berupa kata yang tertata rapi menjadi kalimat dan pada akhirnya mampu mewakili pesan yang ingin disampaikan. Bisa  berupa karya visual maupun auditori.
Tulisan tentu akan mewakilkan ide bahkan yang bersifat general sekalipun. Dalam lirik-liriknya tentu ada sebuah pesan dari hasil olah pikir sang penulis dengan perpaduan emosi sebagai bumbunya. Emosi dalam hal ini tidak sebatas mencaci-maki atau perasaaan lain yang negatif karena pada hakikatnya emosi adalah luapan perasaan seseorang. Hendaknya tulisan ini memang tak jauh panggang dari api untuk mengkritisi kondisi sosial yang sedang terjadi.
Wadah yang bernama jejaring sosial ini bisa kita imajikan sebagai ruangan kecil yang di dalamnya dapat menampung ide apapun. Namun masih jarang yang memanfaatkan media ini sebagai wadah yang seharusnya digunakan untuk menganalisis kondisi di masyarakat.
Yang disayangkan adalah banyak dijumpai lirik-lirik manis yang tertuang di media maya tidak bersifat general sehingga tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada dasarnya lirik semacam ini hendaknya tidak perlu diketahui publik karena karena hanya menjadi ruang pengaduan masalah atau konflik yang sedang dialami pribadi  penulisnya.
Ketika bait yang disampaikan hanyalah sebuah pengaduan semata tentu tidak akan memberi kebermanfaatan terhadap para penikmat media ini. Bisa dipastikan tulisan yang ada di jejaring sosial ini berupa lirik kegalauan dari personal penulisnya. Sedangkan kegalauan terhadap kondisi sosial di masyarakat porsinya terbilang kecil bila dibandingkan dengan emosi pribadi yang dituangkan.
Setiap karya tentu berasal dari keringat yang menguras pikiran dari penulisnya, bahkan dengan menguras emosi hingga hadir sebuah karya yang apik. Adanya kebebasan terhadap daya pikir inilah yang menjadikan seorang penulis seolah enggan untuk menguras ide dalam mengkritisi kondisi sosial. Mereka lebih nyaman ketika tulisannya dihadapkan dengan konflik pribadi yang dialami.
Kegalauan secara personal yang dituangkan dalam sebuah tulisan mendapat porsi lebih banyak karena hal ini memang menjadi hak dari penulisnya. Terlihat jelas apabila dibandingkan antara kemurungan kolektif masyarakat yang tidak dapat mengakses media maya dengan nasib pribadi yang emosinya selalu berganti.
Padahal konflik dimasyarakat terbilang massif dan hampir dijumpai diseluruh lapisan, namun tak terjamah oleh mereka kalangan pembaharu yang mampu mengakses media maya. Agaknya jarang kita jumpai kemurungan kolektif yang disampaikan melalui sebuah tulisan seperti yang pernah dituliskan oleh W.S. Rendra dengan sajak-sajak perlawanannya.
Penikmat media maya agaknya lebih memilih bergulat dengan kegalauan personal yang diakibatkan karena kerinduan, cinta, pencarian jati diri, bahkan sampai hubungan dengan tuhannya. Ini sebenarnya menjadi masalah personal yang seharusnya telah selesai dalam pribadi masing-masing tanpa harus dipublikasikan. Setidaknya sekiranya akan dipublikasikan pun tidak menggeser daya analisis terhadap permasalahan kolektif di masyarakat.
Bahasa yang disampaikan mencoba memainkan peran untuk mewakilkan tingkat emosi yang sedang dialami penulisnya. Ia menjumpai kondisi sosial yang bergejolak di masyarakat hingga mampu menggelitik emosi untuk dituangkan dalam kritik yang disampaikan dalam sebuah tulisan. Karya ini akan bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara massif karena hampir seluruh penikmatnya merasakan langsung kondisi sosial yang tidak stabil.
Berbeda dengan hasil karya yang kita jumpai saat ini. Bahasanya cenderung memainkan peran dalam menuangkan ide pribadi yang disampaikan untuk pribadi pula. Jarang hadir bahasa dalam sebuah karya yang disampaikan untuk menghantam pelanggaran yang menimbulkan kesenjangan sosial.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa media maya membawa kebermanfaatan, hanya saja penikmatnya jarang sekali yang memadukan untuk menganalisis tatanan sosial kemasyarakatan. Entah karena ketidaktahuan mereka atau tidak adanya daya kritis terhadap kesenjangan sosial yang terjadi.
Padahal disamping konflik pribadi, secara personal makhluk sosial tak dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat yang masih mengalami disharmoni. Masih banyak dibutuhkan kritik bersifat membangun untuk menganalisa kondisi yang terjadi. Baik persoalan antar masyarakat maupun dengan lingkungannya. Kritik ini bisa disampaikan berupa tulisan dengan bahasa yang menggairahkan emosi untuk membangkitkan semangat perlawanan demi perubahan yang progesif.
Entah sebab apa ide yang muncul tidak berakar dari fenomena sosial yang sedang terjadi. Bisa jadi sebagian dari mereka memang benar-benar tidak tahu, tidak mau tahu, atau bahkan menganggap kondisi ini sudah berada di zona nyaman. Atau bisa jadi fenomena dimasyarakat tak lagi dianggap penting karena menjadi tanggung jawab negara dan kalangan tertentu saja yang berkaitan langsung.
Lebih parahnya ketika sebagian dari mereka tidak menemukan kemurungan di masyarakat sehingga membuatnya tetap nyaman dengan kondisi saat ini. Pada akhirnya ide mereka alihkan untuk menguasai emosi pribadi dengan sebatas pengaduan, curahan hati, dan pengharapan terhadap tuhan.
Apabila sudah terjadi hal semacam ini maka siapa lagi yang akan menguras emosi untuk kepentingan masyarakat secara kolektif dengan berbagai ide liar untuk mengkritisi polemik di masyarakat.
Hal ini dapat kita ketahui bahwa kepiawaian mereka membahasakan ide berupa tulisan bukanlah untuk analisa sosial secara kritis, namun merupakan bakat yang jatuh dari langit sebagai kebiasaan semata. Dimana media maya ini menjadi ruang tanpa batas untuk menulis, mengolah pikiran, menuangkan emosi pribadi yang tidak lebih menjadi sebatas rutinitas tidak penting.
Sebenarnya ada hal menarik yang sepatutnya dikaji kembali dalam era klik seperti saat ini. Sebab secara nyata masih banyak tangan-tangan yang belum pandai mengoperasikan jejaring sosial untuk menyampaikan ide yang bersifat massif. Ide disini dapat disampaikan secepat kilat untuk diketahui khalayak umum dan menjadi bahan kajian dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa ditarik asumsi sederhana bahwa jejaring sosial buatan manusia ini mampu meringankan kerja mereka, bermanfaat untuk mendekatkan yang jauh, dan yang mampu menampung ide tanpa batas telah mampu melakukan seleksi sosial dimasyarakat dengan tingkat analisis dan daya kritis yang rendah.
Sejak dini individu dapat melatih diri mengemukakan gagasan yang logis dengan mentradisikan kebiasaan bernalar dengan pertimbangan emosi pribadi. Tak ada lagi bahasa sebagai pedang untuk memerangi konflik dimasyarakat, kesenjangan sosial, atau permasalahan massif lainnya. Padahal melalui tulisan yang tersebar di media maya sangatlah efektif untuk sampai dihampir seluruh kalangan. Tulisan seharusnya mampu mewakilkan ide yang tak sampai saat digulirkan melalui ucapan dan tindakan. (Pipit Nurhayati)

2 komentar:

  1. terlebih lagi..
    jejaring sosial membuat si pemakai menjadi semakin jauh dari dunia sosial yang nyata, mereka asyik masyuk dengan dunia maya. yang bahkan membuat mereka tidak menjadi akrab dengan orang-orang disekitarnya... saya kira begitu.. :)

    BalasHapus
  2. Lebih pasnya begitu Pipit Sri Mularsih :)
    Terimakasih atas kunjungannya... Selamat Berkarya.

    BalasHapus