|
Pipit Nurhayati, Kamis (3/1) |
Jejaring sosial menjadi
sarana empuk yang dapat menyalurkan ide baik berupa tulisan, gambar, maupun
animasi. Media ini seolah menjadi wadah yang paling efektif untuk
mempublikasikan karya seseorang. Disinilah gudangnya karya yang secara instan
dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hampir semua kalangan
mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa tak pernah absen membuka jaringan
ini. Mereka juga tak pernah absen meninggalkan jejak setelah membuka sebuah
situs tertentu. Ada saja yang patut untuk dikomentari atau bahkan hanya sebatas
tanda baca sekalipun. Media ini menghubungkan komunikasi antar pengguna yang
jaraknya tidak dekat namun seolah keduanya saling berhadapan langsung.
Tentunya banyak manfaat
yang dapat diambil dalam penggunaan jejaring sosial ini. Namun karena dimanjakan
dengan teknologi yang terus berkembang, seolah daya kritis masyarakat terhadap
kondisi sosial malah menurun. Kecuali pada media masa elektronik yang memang
memunyai fungsi sebagai kontrol sosial dan pemberi informasi kepada khalayak
umum.
Sebagaimana empat
fungsi media yang bertindak sebagai pemberi informasi, edukasi, transformasi,
dan kontrol sosial. Hendaknya memang selalu meng-update karya jurnalistik melalui jejaring sosial sehingga tetap
eksis mengkritisi kondisi sosial di masyarakat.
Berbicara tentang
sebuah karya baik berupa tulisan maupun gambar tentu berasal dari hasil daya pikir dan
imajinasi seorang kreator. Karya ini tak akan terlepas dari adanya penjelasan
berupa kata yang tertata rapi menjadi kalimat dan pada akhirnya mampu mewakili
pesan yang ingin disampaikan. Bisa berupa
karya visual maupun auditori.
Tulisan tentu akan
mewakilkan ide bahkan yang bersifat general sekalipun. Dalam lirik-liriknya tentu
ada sebuah pesan dari hasil olah pikir sang penulis dengan perpaduan emosi sebagai
bumbunya. Emosi dalam hal ini tidak sebatas mencaci-maki atau perasaaan lain
yang negatif karena pada hakikatnya emosi adalah luapan perasaan seseorang.
Hendaknya tulisan ini memang tak jauh panggang dari api untuk mengkritisi
kondisi sosial yang sedang terjadi.
Wadah yang bernama
jejaring sosial ini bisa kita imajikan sebagai ruangan kecil yang di dalamnya dapat
menampung ide apapun. Namun masih jarang yang memanfaatkan media ini sebagai wadah
yang seharusnya digunakan untuk menganalisis kondisi di masyarakat.
Yang disayangkan adalah
banyak dijumpai lirik-lirik manis yang tertuang di media maya tidak bersifat
general sehingga tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada
dasarnya lirik semacam ini hendaknya tidak perlu diketahui publik karena karena
hanya menjadi ruang pengaduan masalah atau konflik yang sedang dialami pribadi penulisnya.
Ketika bait yang
disampaikan hanyalah sebuah pengaduan semata tentu tidak akan memberi
kebermanfaatan terhadap para penikmat media ini. Bisa dipastikan tulisan yang
ada di jejaring sosial ini berupa lirik kegalauan dari personal penulisnya.
Sedangkan kegalauan terhadap kondisi sosial di masyarakat porsinya terbilang
kecil bila dibandingkan dengan emosi pribadi yang dituangkan.
Setiap karya tentu
berasal dari keringat yang menguras pikiran dari penulisnya, bahkan dengan
menguras emosi hingga hadir sebuah karya yang apik. Adanya kebebasan terhadap
daya pikir inilah yang menjadikan seorang penulis seolah enggan untuk menguras
ide dalam mengkritisi kondisi sosial. Mereka lebih nyaman ketika tulisannya dihadapkan
dengan konflik pribadi yang dialami.
Kegalauan secara
personal yang dituangkan dalam sebuah tulisan mendapat porsi lebih banyak
karena hal ini memang menjadi hak dari penulisnya. Terlihat jelas apabila
dibandingkan antara kemurungan kolektif masyarakat yang tidak dapat mengakses
media maya dengan nasib pribadi yang emosinya selalu berganti.
Padahal konflik
dimasyarakat terbilang massif dan hampir dijumpai diseluruh lapisan, namun tak
terjamah oleh mereka kalangan pembaharu yang mampu mengakses media maya.
Agaknya jarang kita jumpai kemurungan kolektif yang disampaikan melalui sebuah
tulisan seperti yang pernah dituliskan oleh W.S. Rendra dengan sajak-sajak
perlawanannya.
Penikmat media maya
agaknya lebih memilih bergulat dengan kegalauan personal yang diakibatkan
karena kerinduan, cinta, pencarian jati diri, bahkan sampai hubungan dengan
tuhannya. Ini sebenarnya menjadi masalah personal yang seharusnya telah selesai
dalam pribadi masing-masing tanpa harus dipublikasikan. Setidaknya sekiranya akan
dipublikasikan pun tidak menggeser daya analisis terhadap permasalahan kolektif
di masyarakat.
Bahasa yang disampaikan
mencoba memainkan peran untuk mewakilkan tingkat emosi yang sedang dialami
penulisnya. Ia menjumpai kondisi sosial yang bergejolak di masyarakat hingga
mampu menggelitik emosi untuk dituangkan dalam kritik yang disampaikan dalam
sebuah tulisan. Karya ini akan bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara
massif karena hampir seluruh penikmatnya merasakan langsung kondisi sosial yang
tidak stabil.
Berbeda dengan hasil
karya yang kita jumpai saat ini. Bahasanya cenderung memainkan peran dalam
menuangkan ide pribadi yang disampaikan untuk pribadi pula. Jarang hadir bahasa
dalam sebuah karya yang disampaikan untuk menghantam pelanggaran yang
menimbulkan kesenjangan sosial.
Memang tak dapat
dipungkiri bahwa media maya membawa kebermanfaatan, hanya saja penikmatnya
jarang sekali yang memadukan untuk menganalisis tatanan sosial kemasyarakatan.
Entah karena ketidaktahuan mereka atau tidak adanya daya kritis terhadap
kesenjangan sosial yang terjadi.
Padahal disamping konflik
pribadi, secara personal makhluk sosial tak dapat terlepas dari kehidupan
bermasyarakat yang masih mengalami disharmoni. Masih banyak dibutuhkan kritik
bersifat membangun untuk menganalisa kondisi yang terjadi. Baik persoalan antar
masyarakat maupun dengan lingkungannya. Kritik ini bisa disampaikan berupa
tulisan dengan bahasa yang menggairahkan emosi untuk membangkitkan semangat
perlawanan demi perubahan yang progesif.
Entah sebab apa ide
yang muncul tidak berakar dari fenomena sosial yang sedang terjadi. Bisa jadi
sebagian dari mereka memang benar-benar tidak tahu, tidak mau tahu, atau bahkan
menganggap kondisi ini sudah berada di zona nyaman. Atau bisa jadi fenomena
dimasyarakat tak lagi dianggap penting karena menjadi tanggung jawab negara dan
kalangan tertentu saja yang berkaitan langsung.
Lebih parahnya ketika
sebagian dari mereka tidak menemukan kemurungan di masyarakat sehingga
membuatnya tetap nyaman dengan kondisi saat ini. Pada akhirnya ide mereka
alihkan untuk menguasai emosi pribadi dengan sebatas pengaduan, curahan hati,
dan pengharapan terhadap tuhan.
Apabila sudah terjadi
hal semacam ini maka siapa lagi yang akan menguras emosi untuk kepentingan
masyarakat secara kolektif dengan berbagai ide liar untuk mengkritisi polemik
di masyarakat.
Hal ini dapat kita ketahui
bahwa kepiawaian mereka membahasakan ide berupa tulisan bukanlah untuk analisa sosial
secara kritis, namun merupakan bakat yang jatuh dari langit sebagai kebiasaan
semata. Dimana media maya ini menjadi ruang tanpa batas untuk menulis, mengolah
pikiran, menuangkan emosi pribadi yang tidak lebih menjadi sebatas rutinitas
tidak penting.
Sebenarnya ada hal
menarik yang sepatutnya dikaji kembali dalam era klik seperti saat ini. Sebab
secara nyata masih banyak tangan-tangan yang belum pandai mengoperasikan jejaring
sosial untuk menyampaikan ide yang bersifat massif. Ide disini dapat
disampaikan secepat kilat untuk diketahui khalayak umum dan menjadi bahan
kajian dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa ditarik asumsi sederhana bahwa jejaring
sosial buatan manusia ini mampu meringankan kerja mereka, bermanfaat untuk
mendekatkan yang jauh, dan yang mampu menampung ide tanpa batas telah mampu
melakukan seleksi sosial dimasyarakat dengan tingkat analisis dan daya kritis
yang rendah.
Sejak dini individu
dapat melatih diri mengemukakan gagasan yang logis dengan mentradisikan
kebiasaan bernalar dengan pertimbangan emosi pribadi. Tak ada lagi bahasa
sebagai pedang untuk memerangi konflik dimasyarakat, kesenjangan sosial, atau
permasalahan massif lainnya. Padahal melalui tulisan yang tersebar di media
maya sangatlah efektif untuk sampai dihampir seluruh kalangan. Tulisan seharusnya
mampu mewakilkan ide yang tak sampai saat digulirkan melalui ucapan dan
tindakan. (Pipit Nurhayati)