Seperti mengunjungi jasadku sendiri saat senandung
doa ia dendangkan untuk Maria. Bukan karena ia adalah ayah dari anakku, tapi karena
ia belahan jiwa yang baru saja tersenyum. Lima tahun kami bersama di bawah
naungan pernikahan. Aku tidak pernah menyangka pertemuan di bangku kuliah
membawa pada cinta sejati yang baru aku rasakan.
Tampan, itu kesan pertama. Tubuh tinggi tegap,
rambut hitam ikal, wajah berseri dengan kumis manis bertengger di atas
bibirnya. Aku begitu terpesona dalam kesederhanaannya. Dia menciumku setidaknya
dua kali sehari. Pagi menjelang kerja dan malam hari setelah pulang. Aku pikir
memang dia bukan pria romantis yang menunjukkan rasa sayangnya dengan ciuman. Kami
jarang sekali bergurau diwaktu luang. Bahkan ketika makan malam dalam satu meja,
tidak pernah ada perbincangan panjang. Hanya terdengar denting piring yang
beradu dengan sendok dan garpu.
Suatu ketika musim kemarau mengawalinya untuk
tersenyum liar, seliar angin senja melengkapi desir ombak di dermaga dekat
rumah kami. Tak pernah kudapati ia tersenyum liar selama aku menyandang status sebagai
Nyonya Roni. Seorang wanita mengunjungi rumah dengan gayanya yang begitu
anggun. Ia mengaku rekan kerja Mas Roni, suamiku yang saat ini menjalani bisnis
bersama. Candaan mereka terdengar begitu renyah di pelataran rumah. Mungkin
dari wanita itulah suamiku mengenal tawa yang begitu liar.
Wanita mana yang tidak menitikkan air mata ketika
sang suami tertawa liar dengan wanita lain di teras rumah. Terlebih hal itu
tidak pernah dilakukan dengannya. Agar tidak menimbulkan fitnah, aku beranikan
diri ikut bergabung bersama mereka, meskipun tidak diajak.
“Maria,” uluran tangannya hangat. Deretan gigi
putihnya menebar pesona siapapun yang memandang.
“Laksmi,” aku menyambutnya. Teriring senyum yang berusaha
memunafikkan diri dengan kecemburuan.
Ia membawa singkong melepuh untuk kami sekeluarga.
Mas Roni terlihat sangat menikmati makanan itu dengan mata saling bertatap.
Hatiku terasa sakit, bahkan lebih sakit ketimbang saat Mas Roni lebih memilih
lembur di kantor hingga pagi, lebih sakit daripada saat Mas Roni lupa dengan
hari ulangtahun pernikahan kami, dan melebihi sakit ketika operasi caesar saat aku melahirkan anaknya. Aku
tidak bertanya apakah suamiku mencintai wanita itu, karena sepertinya aku sudah
tahu jawabannya.
***
Kemarau menjadikan kami enggan pergi keluar rumah. Begitu
juga dengan suamiku, ia lebih memilih duduk di depan komputer yang membuatku
tak berani mengganggunya. Tanpa sengaja ketika ia meninggalkan komputernya di
kamar, aku membaca email yang ditujukan untuk Maria.
Seketika mataku terasa panas. Ternyata suamiku tidak
pernah mencintaiku. Ia tidak pernah bahagia dengan kebersamaan kami selama ini.
Pantas saja senyum liar tak pernah ia alamatkan padaku. Mas Roni lebih memilih
rekan kerjanya yang begitu anggun. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk
tidak menangis. Kembali aku melatih diri menjadi orang munafik di depannya.
Hanya pengaduan pada tuhan lewat komunikasi di atas sajadahku.
Aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. “Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya
akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari
pintu manapun yang dia kehendaki tanpa dihisab. Wanita yang taat akan suaminya,
ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya
beristighfar baginya selama ia taat kepada suami dan meridhoinya.” Begitu pelajaran yang aku dapatkan dari
pengajian di mushola ba’da maghrib.
***
Hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kami yang
ke-lima. Tahun lalu Mas Roni tidak pulang ke rumah. Ia lebih memilih lembur di
kantor. Tapi hari ini ia pulang lebih awal. Hatiku terang menerima senyumnya
seperti malam memasang lilinnya.
“Cinta, aku ingat hari ini adalah hari ulangtahun
pernikahan kita,” katanya dengan lembut yang seumur hidup baru aku dengar.
Peristiwa kemarin begitu saja aku lupakan ketika
mendengar rayuannya. Cemburu menjadikanku dekat dengan Sang Pencipta yang
membalikkan hati manusia dengan seketika. Ia mengajakku ke Tempat Pemakaman
Umum (TPU) di Kota ini. Kami mengunjungi nisan yang di atasnya bertuliskan Maria
Prabandari.
“Ia mengajarkanku untuk mencintaimu sepenuh hati,
Laksmi. Kau istri yang taat kepadaku meskipun aku membuatmu sakit hati,”
katanya.
Ternyata suamiku mengetahui emailnya pernah aku baca
tanpa sengaja. Maria meninggal akibat kecelakan di Bandung kemarin sore. Wanita
itu telah mengajarkan senyum pada suamiku, mendekatkanku padaNya lewat rasa
cemburu yang dibuatnya. Tapi senyumnya adalah senyum yang terakhir. Selamat jalan
Maria, Innalillahiwainna ilaihi roji’un.
*Cerpen ini juga dimuat di Buku Kado Untuk Pasutri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar