Kamis, 22 November 2012

Terimakasih Maria

Cukup sering aku mendengar dan membaca doa. Tapi jarang sekali ada penghayatan khusus terhadapnya. Bagiku doa bukanlah sebatas komunikasi kepada tuhan, namun sebuah pengaduan yang aku sampaikan ketika tak mampu menyampaikannya kepada orang lain.
Seperti mengunjungi jasadku sendiri saat senandung doa ia dendangkan untuk Maria. Bukan karena ia adalah ayah dari anakku, tapi karena ia belahan jiwa yang baru saja tersenyum. Lima tahun kami bersama di bawah naungan pernikahan. Aku tidak pernah menyangka pertemuan di bangku kuliah membawa pada cinta sejati yang baru aku rasakan.
Tampan, itu kesan pertama. Tubuh tinggi tegap, rambut hitam ikal, wajah berseri dengan kumis manis bertengger di atas bibirnya. Aku begitu terpesona dalam kesederhanaannya. Dia menciumku setidaknya dua kali sehari. Pagi menjelang kerja dan malam hari setelah pulang. Aku pikir memang dia bukan pria romantis yang menunjukkan rasa sayangnya dengan ciuman. Kami jarang sekali bergurau diwaktu luang. Bahkan ketika makan malam dalam satu meja, tidak pernah ada perbincangan panjang. Hanya terdengar denting piring yang beradu dengan sendok dan garpu.
Suatu ketika musim kemarau mengawalinya untuk tersenyum liar, seliar angin senja melengkapi desir ombak di dermaga dekat rumah kami. Tak pernah kudapati ia tersenyum liar selama aku menyandang status sebagai Nyonya Roni. Seorang wanita mengunjungi rumah dengan gayanya yang begitu anggun. Ia mengaku rekan kerja Mas Roni, suamiku yang saat ini menjalani bisnis bersama. Candaan mereka terdengar begitu renyah di pelataran rumah. Mungkin dari wanita itulah suamiku mengenal tawa yang begitu liar.
Wanita mana yang tidak menitikkan air mata ketika sang suami tertawa liar dengan wanita lain di teras rumah. Terlebih hal itu tidak pernah dilakukan dengannya. Agar tidak menimbulkan fitnah, aku beranikan diri ikut bergabung bersama mereka, meskipun tidak diajak.
“Maria,” uluran tangannya hangat. Deretan gigi putihnya menebar pesona siapapun yang memandang.
“Laksmi,” aku menyambutnya. Teriring senyum yang berusaha memunafikkan diri dengan kecemburuan.
Ia membawa singkong melepuh untuk kami sekeluarga. Mas Roni terlihat sangat menikmati makanan itu dengan mata saling bertatap. Hatiku terasa sakit, bahkan lebih sakit ketimbang saat Mas Roni lebih memilih lembur di kantor hingga pagi, lebih sakit daripada saat Mas Roni lupa dengan hari ulangtahun pernikahan kami, dan melebihi sakit ketika operasi caesar saat aku melahirkan anaknya. Aku tidak bertanya apakah suamiku mencintai wanita itu, karena sepertinya aku sudah tahu jawabannya.
***
Kemarau menjadikan kami enggan pergi keluar rumah. Begitu juga dengan suamiku, ia lebih memilih duduk di depan komputer yang membuatku tak berani mengganggunya. Tanpa sengaja ketika ia meninggalkan komputernya di kamar, aku membaca email yang ditujukan untuk Maria.
Seketika mataku terasa panas. Ternyata suamiku tidak pernah mencintaiku. Ia tidak pernah bahagia dengan kebersamaan kami selama ini. Pantas saja senyum liar tak pernah ia alamatkan padaku. Mas Roni lebih memilih rekan kerjanya yang begitu anggun. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk tidak menangis. Kembali aku melatih diri menjadi orang munafik di depannya. Hanya pengaduan pada tuhan lewat komunikasi di atas sajadahku.
Aku tetap berusaha menjadi istri yang baik. “Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutup pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari pintu manapun yang dia kehendaki tanpa dihisab. Wanita yang taat akan suaminya, ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan, semuanya beristighfar baginya selama ia taat kepada suami dan meridhoinya.”  Begitu pelajaran yang aku dapatkan dari pengajian di mushola ba’da maghrib. 
***
Hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kami yang ke-lima. Tahun lalu Mas Roni tidak pulang ke rumah. Ia lebih memilih lembur di kantor. Tapi hari ini ia pulang lebih awal. Hatiku terang menerima senyumnya seperti malam memasang lilinnya.
“Cinta, aku ingat hari ini adalah hari ulangtahun pernikahan kita,” katanya dengan lembut yang seumur hidup baru aku dengar.
Peristiwa kemarin begitu saja aku lupakan ketika mendengar rayuannya. Cemburu menjadikanku dekat dengan Sang Pencipta yang membalikkan hati manusia dengan seketika. Ia mengajakku ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) di Kota ini. Kami mengunjungi nisan yang di atasnya bertuliskan Maria Prabandari.
“Ia mengajarkanku untuk mencintaimu sepenuh hati, Laksmi. Kau istri yang taat kepadaku meskipun aku membuatmu sakit hati,” katanya.
Ternyata suamiku mengetahui emailnya pernah aku baca tanpa sengaja. Maria meninggal akibat kecelakan di Bandung kemarin sore. Wanita itu telah mengajarkan senyum pada suamiku, mendekatkanku padaNya lewat rasa cemburu yang dibuatnya. Tapi senyumnya adalah senyum yang terakhir. Selamat jalan Maria, Innalillahiwainna ilaihi roji’un.


*Cerpen ini juga dimuat di Buku Kado Untuk Pasutri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar