Rambutnya ikal, kasar, hitam, dan kaku. Matanya tajam tetapi
menenteramkan. Senyumnya menampakkan lesung pipit yang membuat setiap orang
ingin mencibirnya. Sikapnya tegas, pendiriannya pun membaja. Kesetiaan tak
pernah lekang bagai karang. Kejujuran menjadi modal, dan kecerdasan menjadi
perisai hidupnya.
“Lelaki pertama yang aku kagumi.” Demikian
pujianku setiap merayunya.
Suara lelaki itu akan mengguntur bila ia berang, namun akan
terdengar bagai lagu penawar rindu bila ia senang. Dalam dirinya mengalir
kebijaksanaan dan ketulusan. Pada seisi gubug ini mengalir keringat sucinya. Dari
dalam dada ia mengemban seribu amanah, aku, Si Mbok, dan Syarif.
Sudah dua tahun lelaki itu tak pernah lagi mengunjungi gubug kami.
Gubug tua yang mengenalkan aku tentang hidup dan kehidupan. Dari dalam gubug ini aku
mendengar pertengkaran Si Mbok dengan
lelaki ini, hampir setiap malam. Aku selalu mengintip bersama angin malam dari
lubang pagar bambu yang sudah usang. Permasalahan tentang kebutuhan keluarga yang
tidak pernah tercukupi. Sebenarnya hal itu adalah permasalahan
klasik dalam setiap rumah tangga.
***
Sabtu pagi, lelaki itu berpamitan akan pergi
ke Jakarta untuk bekerja agar dapat mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. “Agar Si Mbok tidak ngomel lagi”, katanya.
Pagi itu sungguh menambah ketidakberdayaan hari kemarin.
Sebulan sekali lelaki itu pulang dengan menenteng satu kilogram
apel merah kesukaanku. Bekerja di Jakarta cukup menambah pemasukan keluarga
kami sehingga kehidupan kami terasa lebih harmonis dari sebelumnya. Bahkan aku
tidak lagi mendengar perselisihan di sudut ruangan pada malam hari. Karena
pertemuan kami untuk berkumpul memang sangat terbatas. Begitu juga dengan Si Mbok, ia terlihat sangat menikmati
kebersamaan ini.
“Kelak kau akan menjadi
orang sukses nak,” gumamnya sambil membelai rambutku dengan mesra. Belaian
lelaki pertama yang aku kagumi yang jarang sekali aku rasakan. Sungguh
pertemuan yang membuatku tak ingin mengakhirinya.
Namun memasuki tahun pertama bekerja di Jakarta, intensitas
kepulangan lelaki itu mulai jarang. Si Mbok
mulai cemas dengan kondisi ini. Betapa tidak, lelaki lain yang satu kampung
dengan kami sudah pulang, bahkan sudah berangkat lagi. Kian hari lelaki itu
sama sekali tak memunculkan tubuh perkasanya lagi. Kami kelimpungan harus
mencari ke Jakarta. Jakarta sangat luas, tempat kerjanya pun tidak menetap.
Aku ingat, lelaki itu pernah bercerita tentang pekerjaanya menjadi
penjahit borongan. Penghasilannya akan lebih banyak apabila mendapat orderan
yang banyak pula. Biasanya ia menjahit pakaian seragam dari perusahaan atau
instansi tertentu, jadi penghasilannya tidak menentu.
Karena kecemasan Si Mbok yang sudah tidak karuan, aku beranikan diri untuk menyusul
lelaki itu ke Jakarta. Kepergianku itu, disusul kecemasan Si Mbok dan Syarif yang sangat besar. Seorang gadis yang belum pernah pergi ke kota metropolitan
sendirian,
memberanikan diri pergi hanya berbekal alamat yang
pernah lelaki itu tinggalkan di gubug kami.
***
Inikah Kota Jakarta yang pernah ia ceritakan, kota yang kata orang
sesak oleh para pendatang untuk mencari pekerjaan. Jalan Kembang Sepatu, Pasar
Senin Jakarta Pusat. Di depan perusahaan konveksi berplang “Indira” aku melihat
lelaki itu turun dari Mobil Avanza menggandeng wanita hamil usia paruh baya.
Kami beradu pandang kemudian aku tersenyum dan menyapanya
berulang-ulang. Namun sayang,
ia tidak mengenaliku lagi, gadis yang dulu pernah dibelainya.
Lelaki pertama yang kukagumi, ternyata pandai mengobral janji. Bapak rela mengkhianati dan meninggalkan Si Mbok, aku, dan Syarif demi kesuksesannya
dan wanita lain.
“Maaf,
Bapak. Kini aku - anakmu - tidak mengagumimu lagi.”
*Cerpen ini dimuat di Buku Kado untuk Pasutri
ada sedih yg sulit terungkap disitu,..kamu hebat,kamu kuat,semangat..jdilah wanita yg beda,.jadikan smua mslah hidup adalah motivasimu..aku yakin kamu bisa karena aku mengenalmu
BalasHapusTerimakasih... :)
Hapus