Kamis, 22 November 2012

Lelaki Pertama

Rambutnya ikal, kasar, hitam, dan kaku. Matanya tajam tetapi menenteramkan. Senyumnya menampakkan lesung pipit yang membuat setiap orang ingin mencibirnya. Sikapnya tegas, pendiriannya pun membaja. Kesetiaan tak pernah lekang bagai karang. Kejujuran menjadi modal, dan kecerdasan menjadi perisai hidupnya.
“Lelaki pertama yang aku kagumi.Demikian pujianku setiap merayunya.
Suara lelaki itu akan mengguntur bila ia berang, namun akan terdengar bagai lagu penawar rindu bila ia senang. Dalam dirinya mengalir kebijaksanaan dan ketulusan. Pada seisi gubug ini mengalir keringat sucinya. Dari dalam dada ia mengemban seribu amanah, aku, Si Mbok, dan Syarif.
Sudah dua tahun lelaki itu tak pernah lagi mengunjungi gubug kami. Gubug tua yang mengenalkan aku tentang hidup dan kehidupan. Dari dalam gubug ini aku mendengar pertengkaran Si Mbok dengan lelaki ini, hampir setiap malam. Aku selalu mengintip bersama angin malam dari lubang pagar bambu yang sudah usang. Permasalahan tentang kebutuhan keluarga yang tidak pernah tercukupi. Sebenarnya hal itu adalah permasalahan klasik dalam setiap rumah tangga.
***
Sabtu pagi, lelaki itu berpamitan akan pergi ke Jakarta untuk bekerja agar dapat mencukupi kebutuhan kami sekeluarga. “Agar Si Mbok tidak ngomel lagi, katanya. Pagi itu sungguh menambah ketidakberdayaan hari kemarin.
Sebulan sekali lelaki itu pulang dengan menenteng satu kilogram apel merah kesukaanku. Bekerja di Jakarta cukup menambah pemasukan keluarga kami sehingga kehidupan kami terasa lebih harmonis dari sebelumnya. Bahkan aku tidak lagi mendengar perselisihan di sudut ruangan pada malam hari. Karena pertemuan kami untuk berkumpul memang sangat terbatas. Begitu juga dengan Si Mbok, ia terlihat sangat menikmati kebersamaan ini.
            “Kelak  kau akan menjadi orang sukses nak,” gumamnya sambil membelai rambutku dengan mesra. Belaian lelaki pertama yang aku kagumi yang jarang sekali aku rasakan. Sungguh pertemuan yang membuatku tak ingin mengakhirinya.
Namun memasuki tahun pertama bekerja di Jakarta, intensitas kepulangan lelaki itu mulai jarang. Si Mbok mulai cemas dengan kondisi ini. Betapa tidak, lelaki lain yang satu kampung dengan kami sudah pulang, bahkan sudah berangkat lagi. Kian hari lelaki itu sama sekali tak memunculkan tubuh perkasanya lagi. Kami kelimpungan harus mencari ke Jakarta. Jakarta sangat luas, tempat kerjanya pun tidak menetap.
Aku ingat, lelaki itu pernah bercerita tentang pekerjaanya menjadi penjahit borongan. Penghasilannya akan lebih banyak apabila mendapat orderan yang banyak pula. Biasanya ia menjahit pakaian seragam dari perusahaan atau instansi tertentu, jadi penghasilannya tidak menentu.
Karena kecemasan Si Mbok yang sudah tidak karuan, aku beranikan diri untuk menyusul lelaki itu ke Jakarta. Kepergianku itu, disusul kecemasan Si Mbok dan Syarif yang sangat besar. Seorang gadis yang belum pernah pergi ke kota metropolitan sendirian, memberanikan diri pergi hanya berbekal alamat yang pernah lelaki itu tinggalkan di gubug kami.
***
Inikah Kota Jakarta yang pernah ia ceritakan, kota yang kata orang sesak oleh para pendatang untuk mencari pekerjaan. Jalan Kembang Sepatu, Pasar Senin Jakarta Pusat. Di depan perusahaan konveksi berplang “Indira” aku melihat lelaki itu turun dari Mobil Avanza menggandeng wanita hamil usia paruh baya.
Kami beradu pandang kemudian aku tersenyum dan menyapanya berulang-ulang. Namun sayang, ia tidak mengenaliku lagi, gadis yang dulu pernah dibelainya. Lelaki pertama yang kukagumi, ternyata pandai mengobral janji. Bapak rela mengkhianati dan meninggalkan Si Mbok, aku, dan Syarif demi kesuksesannya dan wanita lain.
            “Maaf, Bapak. Kini aku - anakmu - tidak mengagumimu lagi.”


*Cerpen ini dimuat di Buku Kado untuk Pasutri

2 komentar:

  1. ada sedih yg sulit terungkap disitu,..kamu hebat,kamu kuat,semangat..jdilah wanita yg beda,.jadikan smua mslah hidup adalah motivasimu..aku yakin kamu bisa karena aku mengenalmu

    BalasHapus