Kamis, 13 September 2012

Aku Telah Menciptakan Tuhan

Rasaku padamu sesederhana awan yang menaungi rintik hujan, sesahaja cintaku pada kenyamanan,  seputih rasaku pada untaian syair, tapi entahlah terlalu suram disekujur sepi. Bila suatu saat nanti jiwaku sepenuh rindu, akan kunyanyikan senandung rasa yang getir. Di bawah renungan panjang bersama merpati yang kian terhanyut dalam awan.
Yakinlah, dihening angin ada kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat, senyap akan segera berlalu. Sementara senja akan telanjang membasahi waktu.
Teman-teman mengira aku ini orang atheis. Orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Karena bagiku Tuhan adalah ciptaanku sendiri. Aku telah menciptakan Tuhan.
“Kau boleh mengatakan aku orang atheis,” ujarku dalam peraduan terhadap sang guru.
Mata tajam itu menatap penuh tanya dengan apa yang aku katakan. Anginpun mendera sekujur tubuh, mengabadikan kenangan semalam yang hampir tak berdawai. Setiap detiknya ia terdengar syahdu dalam keterasingan. Serupa kekelaman, musim semi mengabur dalam samar. Aku harus melewati masa. Mencari kebenaran untuk setiap perjalanan, meski sejatinya aku tak mampu.
Dalam hening aku teringat pesan Buddha bahwa ketika terjadi tumbukan antara aliran air sungai dan batu, maka aliran air selalu menang bukan karena kekuatan tetapi karena ketekunan. Aku mencoba memahami betul kalimat itu.
Aku tekun mencari sebuah arti tentang perjalanan yang sudah sekian lama lalui. Tentang keberadaanku, darimana asalnya, dan untuk apa keberadaanku saat ini.
Bak jernihnya air sungai yang mengalir, meski bermuara namun ia tetap bergerak dan tak ada hentinya. Sama halnya denganku, meski tak kunjung menjumpai kebenaran tapi tak henti aku tetap mencari jawabnya. Kembali lagi walau sebenarnya aku tak akan mampu.
Sekumpulan yang dinamai umat manusia ini ternyata mempunyai batasan tentang hakikat ke’aku’an, tentang hakikat ketuhanan, dan hal lain yang tak mampu dijangkau oleh logika. Maka lahirlah sebuah ilmu pengetahuan. Aku mendapatkan pembelajaran ini semasa duduk dibangku kuliah beberapa waktu lalu.
“Mengapa kau yakin telah menciptakan Tuhanmu?” guruku bertanya dengan tegas.
Aku kelimpungan untuk menjawabnya. Karena aku sendiri tak mampu sampaikan bahwa tuhan adalah ciptaanku sendiri. Ia tidak akan ada jika aku tak mengakuinya.
“Keberadaan Tuhan adalah ketika aku mengakuinya,” jawabku seraya menunduk.
Sehari-hari aku tinggal di lingkungan orang yang mayoritas mengaku beragama. Tapi entah siapa tuhan mereka. Kebanyakan yang aku temui bahwa mereka menjalankan perintah karena takut siksa, karena kewajiban, karena ingin masuk surga, karena tinggal bersama orang beragama, dan masih banyak alasan yang lain.
Tak kujumpai satu pun diantara mereka yang menganggap bahwa tuhan memang benar-benar pantas untuk disembah. Tuhanku memang pantas untuk akui keberadaannya, hingga Dia benar-benar ada pada Singgasananya itu.
Angin masih saja berbisik, mengabarkan keramaian di luar sana. Sementara aku sendiri disudut gelapku, menikmati kesenyapan yang terlalu anyir. Segalanya mendebu, wajah-wajah mereka, senyuman mereka, tangisan wanita tua, canda anak-anak jalanan, semuanya bersijingkat disekitarku. Aku benar-benar tak tahu, siapa aku si pencipta tuhan.  
Kalau tuhan mengerti keberadaanku, mungkin ia akan sampaikan bahwa ia adalah ciptaanku. Aku mengakui keberadaannya, maka ia akan ada. Kawan, tahukah kau dengan jalan pikirku?
Mencari kebenaran tentang siapa aku, benarkah aku telah menciptakan tuhan. Ingin aku sampaikan, seandaianya kau ingat tujuan penciptaan manusia.
“Manusia diciptakan untuk menyembah tuhan,” kataku dalam perbincangan singkat dengan seorang kawan beberapa waktu lalu.
Artinya bahwa kita diperintahkan untuk mengakui keberadaan tuhan. Aku membahasakan bahwa ketika aku mengakuinya maka akulah yang menganggap Dia ada. Seandainya aku enggan mengakui, maka tidak ada tuhan di dunia ini.
“Aku paham dengan maksudmu kawan,” katanya dengan nada bersahabat.
Aku merindu akan hadirnya tuhan dalam galaunya perasaan. Dalam berlalunya tahun, aku semakin merasakan jauh dari apa yang mereka kerjakan. Aku tak mampu menemukan mereka dalam realita. Realita yang sesungguhnya bahwa manusia mempunyai akal untuk berfikir. Yang aku temukan hanya apa yang mereka kerjakan tak lebih dari sebatas kewajiban tanpa tahu alasannya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar