Judul buku : Mata Najwa
Mantra Layar Kaca
Penulis : Fenty
Effendy
Penerbit : Media
Indonesia Publishing
Tahun terbit : Cetakan 1,
2015
Tebal buku : 328 halaman
ISBN :
978-602-96184-7-1
Penentuan
kebijakan, kekuasaan, hingga polemik yang terjadi pada dunia politik masih menarik
untuk dibahas. Hal ini merupakan perwujudan dari transparansi pembuat kebijakan
dalam suatu negara. Politik tidak semata berurusan dengan hiruk pikuk dan
gemuruh para elite, tapi kesungguhan merumuskan kebijakan publik.
Masyarakat
awam tidak akan dapat menjangkau kebijakan elite hingga ke porosnya. Hanya
melalui media, informasi dapat
tersalurkan hingga bersentuhan langsung dengan khalayak umum. Terlebih media
televisi yang menyajikan informasi menyeluruh baik secara visual maupun
auditori. Di tengah demokrasi yang begitu bising, tantangan terbesar media
adalah mampu memilih dan memilah suara yang perlu digaungkan.
Maka
Mata Najwa hadir tidak hanya mengemas kumpulan cerita tokoh-tokoh politik
nasional, tapi juga kisah orang-orang kecil yang kehilangan akses keadilan dan
terpojok di sudut-sudut gelap kehidupan (hal.11). Menyiasati kurangnya minat
masyarakat terhadap isu politik, Mata Najwa hadir dengan kemasan berbeda
untuk tetap menyajikan pemberitaan tentang politik dengan kredo “Cara Beda
Menikmati Berita”.
Banyak
acara televisi yang bermuatan politik dikemas dengan apik. Ini menjadi
persaingan tersendiri dalam dunia pertelevisian Indonesia. Persaingan ini pula
yang berimbas pada masyarakat. Isu politik dalam waktu yang bersamaan disajikan
dalam kemasan dan informasi yang berbeda. Perbedaan ini dapat mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap media.
Jarang
pemirsa dengan setia menyaksikan berita politik hingga akhir acara. Namun akan
berbeda ketika berita yang disajikan adalah sebuah talkshow dengan
kemasan menarik. Mengulas lebih mendalam isu, wacana, polemik, atau bahkan
tokoh-tokoh berpengaruh secara lebih dekat. Talkshow tentang politik
dianggap sebagai acara yang serius dan menjemukan, maka tak sedikit orang yang
enggan menyimak.
Media
tak bisa tinggal diam membiarkan isu politik terlewat begitu saja tanpa ada
rekam jejak. Maka berita harus tetap dikemas dengan apik sebagaimana fungsi
media yaitu alat informasi, transformasi, edukasi, dan kontrol sosial. Bagi
politisi, politik hanya sekadar logika, namun bagi publik, politik adalah soal
perasaan. Menjadi tugas media mengolah perasaan pemirsanya lewat
tayangan-tayangan yang unik dan menarik.
Buku
Mata Najwa Mantra Layar Kaca mencoba merangkum talkshow yang
telah ditayangkan Mata Najwa dalam usianya yang kelima. Mulai dari show
yang dianggap paling menarik hingga berhasil meraih banyak penghargaan. Show
saja mungkin akan mudah dilupakan oleh pemirsa, namun ketika sudah dikemas
dalam buku maka akan lebih mudah untuk diingat.
Penulis
menyadari acara talkshow bermuatan politik mengandalkan seorang pemandu
yang tidak sekadar bertanya, namun juga mampu menguji pertanyaan, menunjukkan
ironi, serta menghadirkan fakta-fakta. Pemandu ini tidak mudah menghadapi
politisi yang terbiasa menyembunyikan kejelasan.
Dalam
buku ini Najwa Shihab digambarkan sebagai presenter yang serba tahu. Mampu mengorek,
bahkan ‘menyentil’ para tokoh yang dihadirkan. Seperti sentilan kepada para perampok
uang negara dalam catatan di akhir episode “Mafia Angka” (hal.77): Mafia
angka membenarkan, semua punya ‘jasa’, mempercepat atau malah menghambat proyek
dan dana, hingga jadi ‘negara dalam negara’. Lantas, apa beda Orde Baru dan Era
Reformasi? Korupsi Orde Baru berlangsung di atas, atau di bawah meja, alias
bagi-bagi. Korupsi Reformasi lebih biadab, karena mejanya diangkut sekalian
sambil berlari.
Catatan
dari 14 episode dalam buku ini memudahkan pembaca untuk terus mengikuti
perkembangan politik. Merubah talkshow ke dalam tulisan tidaklah mudah,
namun penulis mampu menyajikannya dengan rapi. Proses editing dilakukan
seperlunya saja, hanya untuk mempertahankan nilai estetika tanpa merubah substansi
pemberitaan dari layar kaca ke dalam buku. Penulis menyajikan dengan gaya
bahasa yang sederhana sehingga mudah dipahami oleh pembaca.
Meski
berlatarbelakang talkshow politik, namun tidak disangka Mata Najwa juga
mampu menghadirkan isu yang mampu menyentuh hati pemirsa. Tak lepas dari
pelaku-pelaku politik baik senior ataupun wajah-wajah baru, Najwa menggiring
para tamunya untuk bercerita tentang sisi lain para tokoh di luar perpolitikan.
Mereka yang menginspirasi dan berpengaruh bisa bercerita dengan gamblang.
Seperti saat Najwa Shihab menguak kehidupan pribadi Habibie pada episode
“Separuh Jiwaku Pergi” yang tayang pada 30 Juni 2010 lalu.
Kepada
Najwa, Habibie berbicara sebagai Habibie saja, tanpa berperan sebagai seorang
yang pernah berkuasa ataupun menteri dengan kendali penuh terhadap
industri-industri strategis Orde Baru. Malam itu ia insan biasa, namun dengan
cinta yang luar biasa (hal.234).
Buku
ini juga mencatat perjalanan Mata Najwa on Stage yang sudah melanglang
buana hampir di seluruh pulau besar di Indonesia. Tema-tema yang disajikan juga
menarik hingga mampu menyedot ribuan penonton. Seperti episode perdana di layar
kaca Dunia dalam Kotak Ajaib yang mengangkat isu skandal Bank Century, Penebar
Inspirasi, Masih Adakah Si Bung, hingga Merayakan Indonesia. Maka buku ini
layak untuk dibaca semua kalangan baik yang berkecimpung dalam dunia politik
maupun masyarakat umum. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar