UN di SMA Regina Pacis, NTT |
Entah menjadi angin
segar atau malah menjadi bumerang bagi dunia pendidikan di Indonesia, pada penyelenggaraan
Ujian Nasional (UN) tahun ini, setiap sekolah diberi kebebasan untuk menentukan
kelulusan para siswanya sendiri. UN tidak lagi menjadi syarat utama atau syarat
mutlak kelulusan siswa pada jenjang pendidikan tertentu (SD, SMP, dan SMA).
Berdasarkan Permendikbud
No. 5 Tahun 2015 Pasal 4 ayat 1 tentang kelulusan peserta didik, kriteria
kelulusan siswa untuk semua mata pelajaran diperoleh dari gabungan rata-rata
nilai UN dan nilai rapor dengan rasio 30 berbanding 70 persen. Artinya, sekolah
diberi keleluasan lebih untuk mengevaluasi hasil belajar siswanya sendiri.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Anies Baswedan, pernah menyampaikan
bahwa kebijakan UN yang dibuat kali ini lebih menekankan pada nilai kejujuran,
bukan semata pada tingkat kelulusan siswa saja.
Apa yang disampaikam Mendikdasmen
tadi juga disampaikan oleh Muhammad Nursa’ban, M.Pd dosen Pendidikan Geografi Universitas
Negeri Yogyakarta (UNY). Beliau mengatakan bahwa kelulusan siswa ditetapkan
oleh satuan pendidikan yang bersangkutan dalam rapat dewan guru. “Ketentuannya
sudah ada dalam peraturan menteri yang baru,” kata dia.
Kebijakan ini dirasa logical mengingat guru adalah sosok yang
paling mengetahui bagaimana perkembangan seorang peserta didik selama mengikuti
proses belajar di sekolah. Oleh sebab itu, guru lah yang mestinya paling berhak
menentukan kelulusan siswa.
Akan tetapi, kebijakan seperti
ini tidak serta merta efektif karena sangat dekat dengan berbagai praktik kecurangan.
Proses pembelajaran pun sering terabaikan karena sekolah justru lebih
mementingkan nilai akhir yang merupakan hasil ‘dongkrak’ sana-sini.
Drs. Indra Suwarna (guru
SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta-red)
menambahkan bahwa beliau tidak setuju dengan kebijakan yang menyatakan bahwa nilai
UN SMA hanya akan digunakan sebagai pertimbangan masuk Perguruan Tinggi Negeri
(PTN). Padahal, tidak semua siswa SMA ingin masuk PTN. Bisa jadi mereka berencana
melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang mereka inginkan. Oleh
sebab itu, nilai UN seharusnya tidak menjadi bahan pertimbangan masuk PTN meski
siswa yang bersangkutan memperoleh nilai UN yang tinggi.
Pada praktiknya,
sekolah-sekolah tetap melakukan persiapan untuk menghadapi UN, salah satunya
SMA Muhammadiyah 2 Yogyakarta. “Sekolah kami masih melakukan pendalaman materi
mapel UN, seperti tahun-tahun sebelumnya. Kami menerapkan metode belajar yang
menyenangkan. Guru hanya sebatas menemani siswa belajar,” ujarnya. Pembelajaran
yang terlalu kaku dan serius malah bisa menjadi bumerang bagi siswa. Pada saat UN,
otak mereka malah bisa overload dengan
soal-soal akibat akumulasi belajar yang terus-menerus.
Seperti halnya SMA
Muhammadiyah 2 Yogyakarta, MAN Ende Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT)
juga melakukan persiapan dengan memfokuskan mapel UN pada kegiatan belajar pagi
hari, diteruskan dengan tambahan jam belajar di sore hari. Persiapan mental pun
dilaksanakan melalui muhasabah
bersama. Selain itu, sekolah juga memberikan try-out secara berkala untuk mengetahui kesiapan siswa dalam
menghadapi UN.
Seorang siswi MAN Ende,
Putri, mempunyai tanggapan sendiri tentang UN. Menurutnya, kebijakan baru di
atas sebetulnya menjadi satu kesempatan emas baginya untuk lulus dari jenjang SMA.
Namun, ia juga berujar bahwa standar penentuan kelulusan berdasarkan nilai UN
tahun lalu sangatlah tidak adil.
Tim redaksi Buletin Pioneer berhasil menelusuri curahan hati
Putri. Menurutnya, para gurulah yang seharusnya menentukan kelulusan siswa
karena mereka yang setiap hari berinteraksi langsung dengan para siswa selama
di sekolah. Guru lebih mengetahui perkembangan siswa di sekolah. Tidaklah adil jika
kelulusan siswa ditentukan hanya dalam kurun waktu tiga hari. Apalagi soal-soal
yang dijadikan standar kelulusan berupa pilihan ganda, jadi masih ada faktor
keberuntungan di dalamnya. (Pipit, Fitri)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar