Tahun 2015 UN diselenggarakan
dengan wajah yang berbeda. Pertama, UN tidak lagi menjadi penentu kelulusan,
namun hanya digunakan untuk pemetaan mutu pendidikan. Kedua, penyelenggaraan UN
daring/online (dalam jaringan) dengan berbasis komputer .
Harian Kompas (Selasa,
14 April 2015) menyajikan headline tentang UN Generasi Z. Generasi Z
adalah mereka yang akrab dengan dunia digital. Tercatat ada 515 sekolah
menengah atas sederajat telah menjalani UN berbasis komputer. Itu artinya era
digital mulai menghampiri dunia pendidikan. Hal ini hendaknya menjadi satu
langkah progresif untuk kemajuan pendidikan di Indonesia.
Melalui media digital, beberapa
masalah klasik dalam penyelenggaraan UN dapat diminimalisir. Seperti halnya masalah
pendistribusian soal. Juataan naskah dengan rantai distribusi yang panjang akan
di-cut sehingga dapat digantikan dengan sinkronisasi data dalam hitungan
menit saja. Dengan begitu media digital dapat menghemat waktu, tenaga, maupun
biaya.
Berbicara soal biaya, dalam
UN kali ini media digial sudah mampu menghemat anggaran hingga 20 persen atau
sekitar 70 miliar. Hasil penghematan ini seharusnya dapat dialihkan untuk
pengembangan beberapa sekolah yang belum menerapkan UN berbasis komputer.
Menurut data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tahun pertama
penyelenggaraan UN berbasis komputer ada 160.947 murid yang mengikuti UN
berbasis komputer di 29 provinsi. Angka ini masih tergolong kecil apabila
dibandingkan dengan jumlah peserta UN yang setidaknya mencapai 2,8 juta siswa.
Selain menghemat biaya, UN daring
pun akan memberi kemudahan kepada siswa dalam mengerjakan soal. Keamanan juga akan
lebih terjaga karena proses pengoreksian dilakukan oleh sistem. Seharusnya hal ini dapat memperkecil kecurangan yang
sering terjadi.
Perubahan cara lama menuju
era digital tentu tidaklah mudah. Apalagi masih ada banyak sekolah yang
menyelenggarakan UN dengan cara lama. Harus ada persiapan yang matang baik dari
guru, siswa, maupun sekolah. Siswa yang saat ini sudah terbiasa mengerjakan
soal menggunakan LJK, tentu membutuhkan adaptasi untuk beralih mengerjakan soal
di depan komputer. Memang siswa saat ini sudah memasuki generasi Z yang melek
IT, namun selama ini penggunaannya tidak dikhususnya untuk evaluasi pendidikan
dalam satu jenjang. Maka mereka harus melakukan kesiapan tidak hanya secara
mental saja, namun juga teknik pelaksaan.
Sama halnya dengan siswa, sekolah
pun harus benar-benar siap memberikan fasilitas yang memadai. Khususnya perangkat
keras, jaringan internet, dan ketersediaan listrik yang lancar saat pelaksanaan
UN.
Memang banyak manfaat yang
terkandung dalam sistem baru ini, namun kendalanya juga tidak sedikit. Bagi
sekolah yang kondisi geografisnya tidak memadai penyelenggaraan UN berbasis
komputer tentu menjadi kesulitan. Bayangkan saja, sekolah yang berada di daerah
pedalaman. Untuk mendapat aliran listrik pun sulit, apalagi menghadirkan UN
daring yang membutuhkan jaringan internet dengan lancar. Ini menjadi PR besar
bagi Kemendikbud pada tahun-tahun mendatang. Pemerintah tak boleh menutup mata
karena masih banyak sekolah yang belum bisa melaksanakan UN berbasis komputer.
Teknologi memang menjanjikan
kemudahan dan penghematan, namun konsekuensinya pun tidak mudah. Apalagi
kualitas pendidikan masing-masing daerah pun berbeda-beda. Pemerintah hendaknya
mempersiapkan sistem, piranti keras, dan tenaga teknis yang matang agar peserta
didik tidak dirugikan.
UN 2015 bisa dijadikan
percontohan penerapan media komputer dalam dunia pendidikan. Seharusnya
penggunaan media ini tidak hanya saat UN saja, namun diterapkan juga dalam proses
pembelajaran sehari-hari. Baik guru maupun siswa akan lebih terbiasa dengan
teknologi yang semakin canggih. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar