Sabtu, 08 Juni 2013

Obituari, Mantan Hakim Agung dari Banyumas



Rumah Retno Sering Diguna-guna Tersangka


OBSESI ingin menjadi seperti sosok Ibu Kartini menjadikan Retno giat dalam menginspirasi para wanita. Seusai menamatkan sarjana Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI) ia langsung melanjutkan karier menjadi hakim.  Pemilik nama lengkap Retnowulan Soetantio SH ini berhasil masuk dalam deretan lima perempuan pertama yang lulus dari FH UI tahun 1956. Selain itu ia juga menjadi lima perempuan pertama di Indonesia yang menjadi hakim.

Perjuangannya untuk terus menginspirasi para wanita di sekitarnya terpaksa harus berhenti karena Retno tutup usia pada Minggu, (2/6) kemarin. Di usianya yang belum genap 85 tahun ia telah meninggalkan berbagai kenangan berupa perjuangan. Berdasarkan kisah yang disampaikan anak pertamanya, Agus Santoso yang kini sekaligus menjabat sebagai Wakil Kepala PPATK ini bahwa ibundanya ingin menginspirasi anak-anak muda terutama di Banyumas sebagai tanah kelahirannya.

“Dulu ibu saya kuliah di UI bareng anak Banyumas namanya Pak Purwoto Ganda Subrata. Beliau hanya anak pedagang tapi ingin seperti anak pejabat jadi minta kuliah di Jakarta. Ia mengagumi Ibu Kartini yang ingin mengangkat derajat wanita,” kata Agus saat ditemui SatelitPost, Senin (3/6) malam.

Almarhumah ingin berkecimpung pada benteng keadilan hingga terpilihlah ia menjadi hakim wanita yang berasal dari Banyumas. Menurut Agus ini menjadi ikon kota kelahirannya yang bisa dipercaya menjadi hakim di Jakarta. Dua dari lima perempuan dari generasinya ini menjadi profesor dan insinyur, sedangkan tiga lainnya termasuk Retno melanjutkan karier di kehakiman. Dari situ pula ia bisa mempengaruhi generasi muda dari kota keripik ini hingga terpilih pula enam orang bekerja di kehakiman yang berasal dari daerah asalnya sendiri.

Karier menjadi hakim bagi seorang wanita tentu tidaklah mudah. Namun karena wataknya yang keras dan disiplin wanita kelahiran 24 Agustus ini juga bisa melewatinya. Bahkan kebiasaannya itu juga diterapkan dalam keluarga terutama saat mendidikan keempat anaknya.

“Sifat ibu saya keras. Dulu saya sering diajak ke penjara untuk menyaksikan langsung para tersangka yang di sana. Saya disuruh tanya kenapa mereka bisa dipenjara. Ini merupakan didikan yang diajarkannya agar kami tida nakal,” ujar Agus. Didikan semacam ini sangat membekas di hati Agus, hingga setelah dewasa baru ia menyadari bahwa keluarganya ini hidup di negara hukum.

Selama menjadi hakim agung, Retno bersama keluarga sering mendapat tekanan dari para tersangka yang dijatuhi hukuman. Yang menakjubkan, kata Agus, tempat tinggalnya di Bandung sering diguna-guna oleh tersangka yang tidak terima dijatuhi hukuman.

Namun almarhumah meyakini bahwa selama ia berada di jalan yang benar maka tuhan akan tetap melindungi. Ia juga memberikan keyakinan yang sama kepada anak-anaknya. Pengalaman mendapat tekanan juga pernah terjadi pada malam hari.

Waktu itu, kata Agus ibu sedang menangani kasus Imron sang teroris. Malam hari telepon rumah berdering, dari seberang sana terdengar nada ancaman agar Retno dan keluarga waspada. Namun bagi mereka teror semacam ini sudah menjadi hal biasa. Retno yang sudah menceburkan dirinya dalam profesi hukum harus berani berhadapan langsung dengan para tersangka. Ia harus berani memutuskan hukuman terhadap suatu perkara dengan adil. Agus menceritakan, terkadang ibunya ini juga tidak tega menjatuhkan hukuman kepada seseorang.

“Meski beliau tetap menjatuhkan hukuman kepada tersangka namun ada rasa tidak tega. Kadang beliau tanya apakah tersangka ikhlas dijatuhi hukuman olehnya. Beliau minta tersangka jangan mengulangi perbuatannya lagi sehingga mereka tak akan bertemu lagi dipengadilan,” kata Agus.

Semangat Mengajar Walau Pakai Kursi Roda

Obsesi ingin menginspirasi banyak wanita bagi Retnowulan Soetantio SH tak berhenti sebatas menjadi hakim agung. Wanita asal Jalan Kombas Purwokerto ini juga nyambi menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Agus Santoso, sang anak mengatakan, almarhumah pada tahun 1959 dipercaya menjadi asisten dosen di Universitas Parahyangan mendampingi Profesor Sudiman Karto Hadi Projo dan Profesor Subekti. Tidak hanya di satu tempat saja namun dalam waktu yang bersamaan Retno juga mengajar di Universitas Padjajaran mendampingi dosen yang sama.

Agus mengatakan, waktu tahun 1957-1962 Indonesia sangat kekurangan tenaga pendidik terutama untuk mengajar kuliah hukum acara perdata. Dikarenakan banyak tenaga pengajar dari Belanda dipulangkan ke daerah asal. Maka Retno ikut andil untuk menyalurkan ilmunya kepada mahasiswa di beberapa universitas.

Tercatat tidak hanya dua perguruan tinggi ini saja, namun Retno juga mengajar di Universitas Tarumanegara dan beberapa PT lain. Bahkan aktivitas mengajarnya tetap dilakukan hingga usianya 82 tahun dan dalam kondisi duduk di kursi roda. Agus pernah bertanya tentang semangat sang ibu yang terus mengajar, padahal kesehatannya sudah menurun dan usianya juga sudah lanjut. “Kata beliau, mengajar itu berarti menebar kebaikan. Keinginannya suatu saat ketika beliau meninggal dunia murid-muridnya akan datang. Beliau ingin melihat banyak karangan bunga di lorong-lorong,” kata Agus mengenang cerita ibunya.

Terbukti saat meninggal dunia karena sakit dan sudah berusia lanjut, ada ratusan karangan bunga yang berdatangan. Kiriman dari rekanan di Jakarta tempatnya dulu mengabdi, dari Bandung tempatnya tinggal dan dinas, dari mahasiswa, dan beberapa universitas serta rekanan lainnya.

Retno telah menciptakan banyak generasi yang kini telah menduduki jabatan penting baik di pemerintahan maupun perusahaan. Sebut saja Dudi Herawadi, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto yang merupakan mahasiswanya saat kuliah.

Suka ke Kantor Naik Ojek

Kenangan tentang almarhum mantan hakim agung Retnowulan Soetantio SH tak hanya terekam oleh keluarganya. Namun, anak didiknya juga memberi kesan tentang bagaimana kepribadian Retno. Dudi Herawadi, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto merupakan mahasiswanya saat kuliah.

“Sosok bu Retno itu asyik. Dulu kalau ngajar pasti banyak ketawanya. Semangatnya itu menginspirasi banyak orang. Bahkan sampai beliau duduk di kursi roda dan pernah digotong sama mahasiswanya,” kata Dudi saat melayat ke Gedung Adiguna Purwokerto, Senin (3/6).

Selain Dudi ada banyak nama yang telah sukses dibuatnya. Dari sederet karangan bunga yang terpajang di halaman gedung, satu di antaranya bertuliskan Dr Hotman Paris Hutapea SH MHum. Agus menyampaikan bahwa pengacara kondang itu juga termasuk mahasiswanya. Sederet kiriman dari beberapa orang ternama lainnya juga terpajang, bahkan ada yang mengirim ke Bandung dan tidak sempat dibawa ke Purwokerto.

Retno semasa hidupnya juga ikut andil dalam pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan Korupsi (TGPK) yang diprakarsai almarhum Abdurrahman Wahid. Tim ini merupakan cikal bakal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sampai saat ini terus berjalan. Tahun 2004 wanita dua cucu ini juga ikut andil dalam pembentukan Komisi Yudisial.

Semangatnya ini termakan usia hingga osteoporosis menggerogoti lututnya. Ia harus berjalan di kursi roda di usia 82 tahun. Namun kembali lagi masih tetap mengajar dan melakukan banyak aktivitas. Selama bekerja dan masih sehat Retno juga menunjukkan gaya hidup yang sederhana.

“Dulu ibu kalau ke kantor ngga mau pakai mobil atau saya antar jemput. Beliau lebih memilih naik angkot atau ojek sambil membawa map. Anaknya yang pada takut kalau ada apa-apa di jalan,” kata Agus.

Sepanjang kariernya wanita keturunan Tionghoa ini juga mendapat dukungan dari sang suami. Almarhum suaminya bekerja di Bank Indonesia (BI). Pernah suaminya ini mengorbankan pekerjaannya demi mendukung Retno. “Ayah waktu itu ditugaskan di AMF, Amerika tahun 1971. Namun karena ibu tugas di Jakarta beliau lebih memilih tidak jadi pergi karena mempertimbangkan tugas ibu yang tidak bisa ditinggalkan,” kata Agus.

Kegiatan sosial juga dilakoni Retno. Bahkan wanita ini juga pernah rela menyekolahkan beberapa wanita yang menjadi korbn perceraian. Hingga para wanita ini lulus kuliah dan menjadi notaris. Banyak handai taulan yang berdatangan ke persemayamannya di Gedung Adiguna sebelum Retno dikebumikan di Purwokerto, Selasa (4/6) pagi. (fitri nurhayati)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar