Rumah Retno Sering
Diguna-guna Tersangka
OBSESI
ingin menjadi seperti sosok Ibu Kartini menjadikan Retno giat dalam
menginspirasi para wanita. Seusai menamatkan sarjana Fakultas Hukum (FH)
Universitas Indonesia (UI) ia langsung melanjutkan karier menjadi hakim. Pemilik nama lengkap Retnowulan Soetantio SH
ini berhasil masuk dalam deretan lima perempuan pertama yang lulus dari FH UI
tahun 1956. Selain itu ia juga menjadi lima perempuan pertama di Indonesia yang
menjadi hakim.
Perjuangannya
untuk terus menginspirasi para wanita di sekitarnya terpaksa harus berhenti
karena Retno tutup usia pada Minggu, (2/6) kemarin. Di usianya yang belum genap
85 tahun ia telah meninggalkan berbagai kenangan berupa perjuangan. Berdasarkan
kisah yang disampaikan anak pertamanya, Agus Santoso yang kini sekaligus menjabat
sebagai Wakil Kepala PPATK ini bahwa ibundanya ingin menginspirasi anak-anak
muda terutama di Banyumas sebagai tanah kelahirannya.
“Dulu
ibu saya kuliah di UI bareng anak Banyumas namanya Pak Purwoto Ganda Subrata.
Beliau hanya anak pedagang tapi ingin seperti anak pejabat jadi minta kuliah di
Jakarta. Ia mengagumi Ibu Kartini yang ingin mengangkat derajat wanita,” kata
Agus saat ditemui SatelitPost, Senin (3/6) malam.
Almarhumah
ingin berkecimpung pada benteng keadilan hingga terpilihlah ia menjadi hakim
wanita yang berasal dari Banyumas. Menurut Agus ini menjadi ikon kota
kelahirannya yang bisa dipercaya menjadi hakim di Jakarta. Dua dari lima
perempuan dari generasinya ini menjadi profesor dan insinyur, sedangkan tiga
lainnya termasuk Retno melanjutkan karier di kehakiman. Dari situ pula ia bisa
mempengaruhi generasi muda dari kota keripik ini hingga terpilih pula enam
orang bekerja di kehakiman yang berasal dari daerah asalnya sendiri.
Karier
menjadi hakim bagi seorang wanita tentu tidaklah mudah. Namun karena wataknya
yang keras dan disiplin wanita kelahiran 24 Agustus ini juga bisa melewatinya.
Bahkan kebiasaannya itu juga diterapkan dalam keluarga terutama saat mendidikan
keempat anaknya.
“Sifat
ibu saya keras. Dulu saya sering diajak ke penjara untuk menyaksikan langsung
para tersangka yang di sana. Saya disuruh tanya kenapa mereka bisa dipenjara.
Ini merupakan didikan yang diajarkannya agar kami tida nakal,” ujar Agus.
Didikan semacam ini sangat membekas di hati Agus, hingga setelah dewasa baru ia
menyadari bahwa keluarganya ini hidup di negara hukum.
Selama
menjadi hakim agung, Retno bersama keluarga sering mendapat tekanan dari para
tersangka yang dijatuhi hukuman. Yang menakjubkan, kata Agus, tempat tinggalnya
di Bandung sering diguna-guna oleh tersangka yang tidak terima dijatuhi
hukuman.
Namun
almarhumah meyakini bahwa selama ia berada di jalan yang benar maka tuhan akan
tetap melindungi. Ia juga memberikan keyakinan yang sama kepada anak-anaknya.
Pengalaman mendapat tekanan juga pernah terjadi pada malam hari.
Waktu
itu, kata Agus ibu sedang menangani kasus Imron sang teroris. Malam hari
telepon rumah berdering, dari seberang sana terdengar nada ancaman agar Retno
dan keluarga waspada. Namun bagi mereka teror semacam ini sudah menjadi hal
biasa. Retno yang sudah menceburkan dirinya dalam profesi hukum harus berani
berhadapan langsung dengan para tersangka. Ia harus berani memutuskan hukuman
terhadap suatu perkara dengan adil. Agus menceritakan, terkadang ibunya ini
juga tidak tega menjatuhkan hukuman kepada seseorang.
“Meski
beliau tetap menjatuhkan hukuman kepada tersangka namun ada rasa tidak tega.
Kadang beliau tanya apakah tersangka ikhlas dijatuhi hukuman olehnya. Beliau
minta tersangka jangan mengulangi perbuatannya lagi sehingga mereka tak akan
bertemu lagi dipengadilan,” kata Agus.
Semangat Mengajar
Walau Pakai Kursi Roda
Obsesi
ingin menginspirasi banyak wanita bagi Retnowulan Soetantio SH tak berhenti
sebatas menjadi hakim agung. Wanita asal Jalan Kombas Purwokerto ini juga nyambi
menjadi dosen di beberapa perguruan tinggi. Agus Santoso, sang anak
mengatakan, almarhumah pada tahun 1959 dipercaya menjadi asisten dosen di
Universitas Parahyangan mendampingi Profesor Sudiman Karto Hadi Projo dan
Profesor Subekti. Tidak hanya di satu tempat saja namun dalam waktu yang
bersamaan Retno juga mengajar di Universitas Padjajaran mendampingi dosen yang
sama.
Agus
mengatakan, waktu tahun 1957-1962 Indonesia sangat kekurangan tenaga pendidik
terutama untuk mengajar kuliah hukum acara perdata. Dikarenakan banyak tenaga
pengajar dari Belanda dipulangkan ke daerah asal. Maka Retno ikut andil untuk
menyalurkan ilmunya kepada mahasiswa di beberapa universitas.
Tercatat
tidak hanya dua perguruan tinggi ini saja, namun Retno juga mengajar di
Universitas Tarumanegara dan beberapa PT lain. Bahkan aktivitas mengajarnya
tetap dilakukan hingga usianya 82 tahun dan dalam kondisi duduk di kursi roda.
Agus pernah bertanya tentang semangat sang ibu yang terus mengajar, padahal
kesehatannya sudah menurun dan usianya juga sudah lanjut. “Kata beliau,
mengajar itu berarti menebar kebaikan. Keinginannya suatu saat ketika beliau
meninggal dunia murid-muridnya akan datang. Beliau ingin melihat banyak
karangan bunga di lorong-lorong,” kata Agus mengenang cerita ibunya.
Terbukti
saat meninggal dunia karena sakit dan sudah berusia lanjut, ada ratusan
karangan bunga yang berdatangan. Kiriman dari rekanan di Jakarta tempatnya dulu
mengabdi, dari Bandung tempatnya tinggal dan dinas, dari mahasiswa, dan
beberapa universitas serta rekanan lainnya.
Retno
telah menciptakan banyak generasi yang kini telah menduduki jabatan penting
baik di pemerintahan maupun perusahaan. Sebut saja Dudi Herawadi, Kepala
Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto yang merupakan mahasiswanya saat kuliah.
Suka ke Kantor Naik
Ojek
Kenangan
tentang almarhum mantan hakim agung Retnowulan Soetantio SH tak hanya terekam
oleh keluarganya. Namun, anak didiknya juga memberi kesan tentang bagaimana
kepribadian Retno. Dudi Herawadi, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto
merupakan mahasiswanya saat kuliah.
“Sosok
bu Retno itu asyik. Dulu kalau ngajar pasti banyak ketawanya.
Semangatnya itu menginspirasi banyak orang. Bahkan sampai beliau duduk di kursi
roda dan pernah digotong sama mahasiswanya,” kata Dudi saat melayat ke Gedung
Adiguna Purwokerto, Senin (3/6).
Selain
Dudi ada banyak nama yang telah sukses dibuatnya. Dari sederet karangan bunga
yang terpajang di halaman gedung, satu di antaranya bertuliskan Dr Hotman Paris
Hutapea SH MHum. Agus menyampaikan bahwa pengacara kondang itu juga termasuk
mahasiswanya. Sederet kiriman dari beberapa orang ternama lainnya juga
terpajang, bahkan ada yang mengirim ke Bandung dan tidak sempat dibawa ke
Purwokerto.
Retno
semasa hidupnya juga ikut andil dalam pembentukan Tim Gabungan Pemberantasan
Korupsi (TGPK) yang diprakarsai almarhum Abdurrahman Wahid. Tim ini merupakan
cikal bakal terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sampai saat
ini terus berjalan. Tahun 2004 wanita dua cucu ini juga ikut andil dalam
pembentukan Komisi Yudisial.
Semangatnya
ini termakan usia hingga osteoporosis menggerogoti lututnya. Ia harus berjalan
di kursi roda di usia 82 tahun. Namun kembali lagi masih tetap mengajar dan
melakukan banyak aktivitas. Selama bekerja dan masih sehat Retno juga
menunjukkan gaya hidup yang sederhana.
“Dulu
ibu kalau ke kantor ngga mau pakai mobil atau saya antar jemput. Beliau
lebih memilih naik angkot atau ojek sambil membawa map. Anaknya yang pada takut
kalau ada apa-apa di jalan,” kata Agus.
Sepanjang
kariernya wanita keturunan Tionghoa ini juga mendapat dukungan dari sang suami.
Almarhum suaminya bekerja di Bank Indonesia (BI). Pernah suaminya ini
mengorbankan pekerjaannya demi mendukung Retno. “Ayah waktu itu ditugaskan di
AMF, Amerika tahun 1971. Namun karena ibu tugas di Jakarta beliau lebih memilih
tidak jadi pergi karena mempertimbangkan tugas ibu yang tidak bisa
ditinggalkan,” kata Agus.
Kegiatan
sosial juga dilakoni Retno. Bahkan wanita ini juga pernah rela menyekolahkan
beberapa wanita yang menjadi korbn perceraian. Hingga para wanita ini lulus
kuliah dan menjadi notaris. Banyak handai taulan yang berdatangan ke
persemayamannya di Gedung Adiguna sebelum Retno dikebumikan di Purwokerto,
Selasa (4/6) pagi. (fitri nurhayati)