Rasaku padamu sesederhana awan yang menaungi
rintik hujan, sesahaja cintaku pada kenyamanan, seputih rasaku pada untaian syair, tapi
entahlah terlalu suram disekujur sepi. Bila suatu saat nanti jiwaku sepenuh
rindu, akan kunyanyikan senandung rasa yang getir. Di bawah renungan panjang bersama merpati yang kian terhanyut dalam
awan.
Yakinlah, dihening angin ada
kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat,
senyap akan segera berlalu. Sementara senja akan telanjang membasahi waktu.
Teman-teman
mengira aku ini orang atheis. Orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan.
Karena bagiku Tuhan adalah ciptaanku sendiri. Aku telah menciptakan Tuhan.
“Kau boleh
mengatakan aku orang atheis,” ujarku dalam peraduan terhadap sang guru.
Mata tajam itu
menatap penuh tanya dengan apa yang aku katakan. Anginpun mendera
sekujur tubuh, mengabadikan kenangan semalam yang hampir tak berdawai. Setiap detiknya
ia terdengar syahdu dalam keterasingan. Serupa kekelaman, musim semi mengabur
dalam samar. Aku harus melewati masa. Mencari kebenaran untuk setiap perjalanan,
meski sejatinya aku tak mampu.
Dalam hening
aku teringat pesan Buddha bahwa ketika terjadi tumbukan antara aliran air
sungai dan batu, maka aliran air selalu menang bukan karena kekuatan tetapi
karena ketekunan. Aku mencoba memahami betul kalimat itu.
Aku tekun mencari
sebuah arti tentang perjalanan yang sudah sekian lama lalui. Tentang
keberadaanku, darimana asalnya, dan untuk apa keberadaanku saat ini.
Bak jernihnya
air sungai yang mengalir, meski bermuara namun ia tetap bergerak dan tak ada
hentinya. Sama halnya denganku, meski tak kunjung menjumpai kebenaran tapi tak
henti aku tetap mencari jawabnya. Kembali lagi walau sebenarnya aku tak akan mampu.
Sekumpulan yang
dinamai umat manusia ini ternyata mempunyai batasan tentang hakikat ke’aku’an,
tentang hakikat ketuhanan, dan hal lain yang tak mampu dijangkau oleh logika.
Maka lahirlah sebuah ilmu pengetahuan. Aku mendapatkan pembelajaran ini semasa
duduk dibangku kuliah beberapa waktu lalu.
“Mengapa kau
yakin telah menciptakan Tuhanmu?” guruku bertanya dengan tegas.
Aku kelimpungan
untuk menjawabnya. Karena aku sendiri tak mampu sampaikan bahwa tuhan adalah ciptaanku
sendiri. Ia tidak akan ada jika aku tak mengakuinya.
“Keberadaan
Tuhan adalah ketika aku mengakuinya,” jawabku seraya menunduk.
Sehari-hari aku
tinggal di lingkungan orang yang mayoritas mengaku beragama. Tapi entah siapa
tuhan mereka. Kebanyakan yang aku temui bahwa mereka menjalankan perintah karena
takut siksa, karena kewajiban, karena ingin masuk surga, karena tinggal bersama
orang beragama, dan masih banyak alasan yang lain.
Tak kujumpai
satu pun diantara mereka yang menganggap bahwa tuhan memang benar-benar pantas
untuk disembah. Tuhanku memang pantas untuk akui keberadaannya, hingga Dia
benar-benar ada pada Singgasananya itu.
Angin masih saja berbisik, mengabarkan
keramaian di luar sana. Sementara aku sendiri disudut gelapku, menikmati
kesenyapan yang terlalu anyir. Segalanya mendebu, wajah-wajah mereka, senyuman
mereka, tangisan wanita tua, canda anak-anak jalanan, semuanya bersijingkat
disekitarku. Aku benar-benar tak tahu, siapa aku si pencipta tuhan.
Kalau tuhan mengerti keberadaanku,
mungkin ia akan sampaikan bahwa ia adalah ciptaanku. Aku mengakui
keberadaannya, maka ia akan ada. Kawan, tahukah kau dengan jalan pikirku?
Mencari kebenaran tentang siapa aku,
benarkah aku telah menciptakan tuhan. Ingin aku sampaikan, seandaianya kau
ingat tujuan penciptaan manusia.
“Manusia diciptakan untuk menyembah
tuhan,” kataku dalam perbincangan singkat dengan seorang kawan beberapa waktu
lalu.
Artinya bahwa kita diperintahkan untuk
mengakui keberadaan tuhan. Aku membahasakan bahwa ketika aku mengakuinya maka
akulah yang menganggap Dia ada. Seandainya aku enggan mengakui, maka tidak ada
tuhan di dunia ini.
“Aku paham dengan maksudmu kawan,”
katanya dengan nada bersahabat.
Aku merindu akan hadirnya tuhan dalam
galaunya perasaan. Dalam berlalunya tahun, aku semakin merasakan jauh dari apa
yang mereka kerjakan. Aku tak mampu menemukan mereka dalam realita. Realita
yang sesungguhnya bahwa manusia mempunyai akal untuk berfikir. Yang aku temukan
hanya apa yang mereka kerjakan tak lebih dari sebatas kewajiban tanpa tahu
alasannya.