INDONESIA menyambut pertengahan tahun
2014 dengan euforia pesta demokrasi. Berbagai harapan ditengah gelaran pesta
rakyat ini terkumpul menjadi satu demi menjaring pemimpin bangsa yang kompeten untuk
lima tahun mendatang. Para dedengkot politik telah menyiapkan generasi penerus demi
eksistensi mereka. Mulai dari kalangan politisi, pendidik, artis, hingga
masyarakat biasa. Sementara di luar sana tak sedikit tunas bangsa yang ingin
merasakan sentuhan euforia itu melalui kebijakan yang memihak kepada mereka.
Generasi yang masih menjadi tunas ini menunggu uluran tangan untuk
membangkitkan mereka melalui program yang dinamakan pendidikan.
Pendidikan di Indonesia terbilang baik,
itu benar. Hanya saja ini berlaku untuk beberapa daerah yang ada di kota atau
daerah maju yang mudah dijangkau saja. Sangat jauh berbeda dengan kondisi
pendidikan yang ada di pelosok negeri yang notabene tergolong daerah terpencil
dan terbelakang. Baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya, pendidikan di
Indonesia belum merata.
Baru-baru ini mendadak bermunculan
organisasi atau lembaga non profit yang diam-diam bernaung di bawah payung
politik menawarkan janji pendidikan dengan manis. Tak bertahan lama usai pesta
demokrasi berlangsung, tawaran itu lenyap perlahan seperti tidak ada bekasnya.
Atau paling santer solusi yang ditawarkan tidak sebanding dengan permasalahan
yang sudah mengakar kuat dirahim Indonesia. Pada akhirnya janji manis itu tidak
terbayar lunas.
Negeri yang kata orang melimpah
sumberdaya ini masih mempunyai hutang besar terhadap rakyatnya. Bukan soal uang
atau kekuasaan tapi pendidikan yang menjadi pondasi keduanya. Presiden yang
digadang menjadi ujung tombak kemajuan suatu bangsa seharusnya mempunyai tekad
kuat untuk menuntaskan janji kemerdekaan puluhan tahun silam. Kalau saja
pemegang kekuasaan fokus terhadap kualitas pendidikan mungkin kebodohan akan
terhapus, meski tidak tuntas sepenuhnya. Hanya saja yang menjadi kenyataan saat
ini pendidikan hanya sebatas program kerja sebagai citra golongan.
Saat ini kunci utama yang dibutuhkan
untuk menguatkan pondasi pendidikan adalah dengan terlibat langsung di
dalamnya. Meskipun usaha kecil namun itulah bakti untuk negeri yang apabila
dikumpulkan akan mengakar, menciptakan kesejahteraan disegala bidang. Ratusan
atau bahkan saat ini sudah mencapai ribuan pemuda dikirim ke pelosok negeri
untuk menuntaskan janji kemerdekaan. Mereka tidak berdalih untuk blusukan atau
menilik kondisi nyata di daerah setempat namun ikut serta menorehkan sejarah
menuntaskan persoalan pendidikan di Indonesia. Melalui gerakan yang digagas
Anies Baswedan dengan jargon Indonesia Mengajar (IM). Setiap tahun pemuda
terpilih ini tergerak untuk menyentuh sendi-sendi pendidikan secara langsung
dipelosok negeri.
Gerakan sosial yang digagas tahun 2010 ini
mampu menyedot generasi muda dari penjuru negeri untuk bersama-sama menjadi
pelaku sejarah dalam persoalan pendidikan. Aksi sosial ini bukanlah program
kerja pemerintah, namun aksi kecil sekelompok pemuda terpilih yang ingin ikut
berperan menyelesaikan persoalan bersama.
Gerakan ini kemudian diadopsi pemerintah
dengan menggalakkan program sejenis bertajuk Sarjana Mendidik Daerah 3T
(SM-3T). Dari wujud nyata IM inilah mendatangkan sebuah ide baru bagi
pemerintah untuk mencoba menyelesaikan persoalan mendasar suatu bangsa, yaitu
pendidikan.
Pada gelaran pesta demokrasi tahun ini,
Indonesia butuh pemimpin muda macam Anies yang mampu menciptakan terobosan
efektif untuk menyentuh langsung pendidikan di pelosok negeri. Terlepas dari
partai atau golongan yang mengusung Anies menjadi calon presiden, tokoh ini
terbukti telah menjadi pionir tercetusnya kesadaran pemuda untuk menuntaskan masalah
pendidikan sebagai dasar segala persoalan negara.
Gerakan ini tidak sebatas program tahunan
atau untuk mengurangi pengangguran masyarakat Indonesia saja, namun sebagai
gerakan mengajar bersama masyarakat untuk ikut berperan aktif mencerdaskan
kehidupan bangsa sebagai upaya melunasi janji kemerdekaan.
Rektor termuda di Indonesia ini berhasil
menggerakkan ribuan orang untuk mengorganisir dan mengajar di sekolah dasar.
Inisiatif ini memacu orang-orang untuk memahami kondisi pendidikan di lapangan
dan turun tangan langsung ambil bagian menyelesaikannya.
Dari semua ide yang digagasnya, tahun
2008 lalu rektor Universitas Paramadina ini tercatat sebagai satu Top 100
Public Intellectuals versi Majalah Foreign Policy. Tokoh yang juga sebagai Ketua
Komite Etik KPK tahun 2013 ini merupakan satu-satunya figur dari Indonesia dan
Asia Tenggara yang masuk dalam daftar 100 intelektual dunia. Tak ayal sosoknya digadang-gadang
menjadi calon presiden yang diharapkan masyarakat.
Indonesia harus bangkit melunasi janji
kemerdekaan yang belum terbayar. Dari banyaknya calon pemimpin yang menawarkan
solusi untuk berbagai persoalan di Indonesia, semuanya tentu mempunyai
keunggulan masing-masing. Tak ada yang tak berkompeten, hanya sedikit dari
mereka yang tepat sasaran mengemban amanah bangsa. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar