Selasa, 03 Juni 2014

Melunasi Hutang Indonesia Pada Tunas Bangsa

INDONESIA menyambut pertengahan tahun 2014 dengan euforia pesta demokrasi. Berbagai harapan ditengah gelaran pesta rakyat ini terkumpul menjadi satu demi menjaring pemimpin bangsa yang kompeten untuk lima tahun mendatang. Para dedengkot politik telah menyiapkan generasi penerus demi eksistensi mereka. Mulai dari kalangan politisi, pendidik, artis, hingga masyarakat biasa. Sementara di luar sana tak sedikit tunas bangsa yang ingin merasakan sentuhan euforia itu melalui kebijakan yang memihak kepada mereka. Generasi yang masih menjadi tunas ini menunggu uluran tangan untuk membangkitkan mereka melalui program yang dinamakan pendidikan.

Pendidikan di Indonesia terbilang baik, itu benar. Hanya saja ini berlaku untuk beberapa daerah yang ada di kota atau daerah maju yang mudah dijangkau saja. Sangat jauh berbeda dengan kondisi pendidikan yang ada di pelosok negeri yang notabene tergolong daerah terpencil dan terbelakang. Baik dilihat dari kualitas maupun kuantitasnya, pendidikan di Indonesia belum merata.
Baru-baru ini mendadak bermunculan organisasi atau lembaga non profit yang diam-diam bernaung di bawah payung politik menawarkan janji pendidikan dengan manis. Tak bertahan lama usai pesta demokrasi berlangsung, tawaran itu lenyap perlahan seperti tidak ada bekasnya. Atau paling santer solusi yang ditawarkan tidak sebanding dengan permasalahan yang sudah mengakar kuat dirahim Indonesia. Pada akhirnya janji manis itu tidak terbayar lunas.
Negeri yang kata orang melimpah sumberdaya ini masih mempunyai hutang besar terhadap rakyatnya. Bukan soal uang atau kekuasaan tapi pendidikan yang menjadi pondasi keduanya. Presiden yang digadang menjadi ujung tombak kemajuan suatu bangsa seharusnya mempunyai tekad kuat untuk menuntaskan janji kemerdekaan puluhan tahun silam. Kalau saja pemegang kekuasaan fokus terhadap kualitas pendidikan mungkin kebodohan akan terhapus, meski tidak tuntas sepenuhnya. Hanya saja yang menjadi kenyataan saat ini pendidikan hanya sebatas program kerja sebagai citra golongan.
Saat ini kunci utama yang dibutuhkan untuk menguatkan pondasi pendidikan adalah dengan terlibat langsung di dalamnya. Meskipun usaha kecil namun itulah bakti untuk negeri yang apabila dikumpulkan akan mengakar, menciptakan kesejahteraan disegala bidang. Ratusan atau bahkan saat ini sudah mencapai ribuan pemuda dikirim ke pelosok negeri untuk menuntaskan janji kemerdekaan. Mereka tidak berdalih untuk blusukan atau menilik kondisi nyata di daerah setempat namun ikut serta menorehkan sejarah menuntaskan persoalan pendidikan di Indonesia. Melalui gerakan yang digagas Anies Baswedan dengan jargon Indonesia Mengajar (IM). Setiap tahun pemuda terpilih ini tergerak untuk menyentuh sendi-sendi pendidikan secara langsung dipelosok negeri.
Gerakan sosial yang digagas tahun 2010 ini mampu menyedot generasi muda dari penjuru negeri untuk bersama-sama menjadi pelaku sejarah dalam persoalan pendidikan. Aksi sosial ini bukanlah program kerja pemerintah, namun aksi kecil sekelompok pemuda terpilih yang ingin ikut berperan menyelesaikan persoalan bersama.
Gerakan ini kemudian diadopsi pemerintah dengan menggalakkan program sejenis bertajuk Sarjana Mendidik Daerah 3T (SM-3T). Dari wujud nyata IM inilah mendatangkan sebuah ide baru bagi pemerintah untuk mencoba menyelesaikan persoalan mendasar suatu bangsa, yaitu pendidikan.
Pada gelaran pesta demokrasi tahun ini, Indonesia butuh pemimpin muda macam Anies yang mampu menciptakan terobosan efektif untuk menyentuh langsung pendidikan di pelosok negeri. Terlepas dari partai atau golongan yang mengusung Anies menjadi calon presiden, tokoh ini terbukti telah menjadi pionir tercetusnya kesadaran pemuda untuk menuntaskan masalah pendidikan sebagai dasar segala persoalan negara.
Gerakan ini tidak sebatas program tahunan atau untuk mengurangi pengangguran masyarakat Indonesia saja, namun sebagai gerakan mengajar bersama masyarakat untuk ikut berperan aktif mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai upaya melunasi janji kemerdekaan.
Rektor termuda di Indonesia ini berhasil menggerakkan ribuan orang untuk mengorganisir dan mengajar di sekolah dasar. Inisiatif ini memacu orang-orang untuk memahami kondisi pendidikan di lapangan dan turun tangan langsung ambil bagian menyelesaikannya.
Dari semua ide yang digagasnya, tahun 2008 lalu rektor Universitas Paramadina ini tercatat sebagai satu Top 100 Public Intellectuals versi Majalah Foreign Policy. Tokoh yang juga sebagai Ketua Komite Etik KPK tahun 2013 ini merupakan satu-satunya figur dari Indonesia dan Asia Tenggara yang masuk dalam daftar 100 intelektual dunia. Tak ayal sosoknya digadang-gadang menjadi calon presiden yang diharapkan masyarakat.
Indonesia harus bangkit melunasi janji kemerdekaan yang belum terbayar. Dari banyaknya calon pemimpin yang menawarkan solusi untuk berbagai persoalan di Indonesia, semuanya tentu mempunyai keunggulan masing-masing. Tak ada yang tak berkompeten, hanya sedikit dari mereka yang tepat sasaran mengemban amanah bangsa. (*)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar