Foto ilustrasi. Pipit |
Analogi
di atas juga berlaku bagi para tenaga pendidik atau guru. Hal itu menjadi
semacam korelasi yang berbanding lurus antara status sosial dengan perlakukan
orang. Para guru mempunyai cerita tersendiri yang mendeskripsikan statusnya
dalam kesetaraan rekan seprofesinya. Mereka yang masih menyandang status Guru
Tidak Tetap (GTT) mendapat perlakuan yang berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Meski keduanya sama-sama mendidik dan berdiri di depan kelas, sama-sama
membuat perangkat pembelajaran, bergelut dengan buku, mengajarkan kebaikan dan
transfer ilmu, tetapi berbeda dalam pendapatan. Perbedaan ini menjadi bentuk
diskriminasi profesi yang harus diselesaikan.
Negara
memberi penghargaan lebih kepada mereka yang sudah berlabel PNS dengan segala
kenikmatan yang dijanjikan. Mulai dari gaji berlipat, tunjangan, asuransi,
bahkan baru-baru ini pemerintah juga bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk
memperlakukan mereka dengan spesial. Lain cerita dengan guru yang menjadi tenaga
honorer. Beban kerja sama namun status sosial dan perlakuan negara tidaklah
sama.
Para
honorer ini menggantungkan nasib kepada yayasan tempat mereka bekerja. Gaji yang
mereka dapatkan biasanya diakumulasi hingga beberapa bulan. Padahal kebutuhan
sehari-hari mereka tidak dapat diakumulasi. Yang ada malahan hutang menumpuk
dan ketika gaji cair akan langsung mengalir untuk membayar hutang. Yayasan
seharusnya menetapkan upah minimum yang diberikan kepada GTT sehingga tak lagi
ada guru yang digaji Rp 200 ribu per bulan. Namun pada kenyataannya itu pun tak
dapat dipenuhi karena keterbatasan dana dari masing-masing yayasan.
Menjadi
polemik klasik ketika para honorer menuntut kesejahteraan kepada negara. Memang
menjadi guru adalah pengabdian dan tak seharusnya orang mengabdi menuntut
imbalan lebih. Namun ketika hal itu malah menjepit dirinya, maka bukan lagi
pengabdian yang menjadi tujuan, tapi kesejahteraan.
Kenapa
guru? lagi-lagi pahlawan tanpa tanda jasa ini yang digantungkan nasibnya. Sisa hidupnya
hanya akan menjadi relawan pendidikan yang digaji ‘seadanya’. Wacana tentang kesejahteraan
guru digencarkan setiap musim biasanya ketika memasuki musim CPNS. Tenaga honor
di level grass root akan berlomba mengambil antrean keberuntungan,
mengadu nasib di tengah ribuan orang. Kalau saja para guru bersedia keluar dari
zona nyaman, masih banyak peluang di daerah terpencil yang membutuhkan
tenaga-tenaga profesional di dunia pendidikan. Maka, orientasi guru tidak lagi
sebatas kesejahteraan, namun meningkatkan kualitas pendidikan.
Tawaran
solusi dari pemerintah lagi-lagi menjadi sebatas wacana yang pada akhirnya
menguap begitu saja. Sistem pendidikan sudah seharusnya dirancang untuk
membenahi diri dalam melakukan reformasi. Sebelum orde baru, guru menjadi
semacam primadona yang diagungkan banyak orang. Akhirnya saat ini tenaga guru menumpuk
karena dulunya terjebak pada kenikmatan semu. Pada akhirnya profesi guru tak
lagi berpegang pada hiroh-nya mengabdi untuk negeri, mencerdaskan anak
bangsa. Namun menjadi tempat untuk mengadu nasib mencari kesejahteraan semata.
(*)
Wah-wah.. Luar biasa. Sistematis dan mengalir rapi. Mirip tulisan doktor :D
BalasHapusah terlalu berlebihan ini Adi Esmawan :)
Hapusbu guru, keren....
BalasHapusTerimakasih Nisha... kamu juga keren deh :)
HapusBentar lagi jadi pns ini u pit...
BalasHapusAamiin mas Anas, doakan saja :)
Hapus