LEE Soo Yeon, gadis 14 tahun dalam
film I Miss You mendatangkan inspirasi bagi saya untuk sedikit memahami tentang
kebutuhan pendidikan anak yang berbeda-beda. Drama Korea yang dirilis tahun
2012 ini menceritakan kehidupan gadis remaja yang ayahnya menjadi tersangka
kasus pembunuhan. Tokoh yang diperankan Kim So Hyun ini mempunyai karakter
pendiam, dingin, tertutup, dan tidak mudah bersosialisasi. Hal ini dikarenakan
Soo Yeon selalu diejek teman sekolahnya dengan sebutan anak pembunuh.
Cerita Soo Yeon menyadarkan saya
bahwa sebenarnya anak dari latar belakang apapun tak boleh tersingkirkan.
Lingkungan baik keluarga, sekolah, maupun masyarakat seharusnya memberi
dorongan positif kepada anak demi tumbuh kembangnya. Soo Yeon hanyalah satu dari
gambaran banyak anak yang membutuhkan perhatian khusus agar ia tidak merasa
terpinggirkan. Bahkan anak-anak semacam ini seharusnya mendapat layanan
pendidikan secara khusus.
Di Indonesia masih banyak anak yang
mirip dengan Soo Yeon. Bahkan mereka memiliki banyak label di masyarakat akibat
perilaku yang sedikit berbeda dengan anak pada umumnya. Apabila hal ini terus
berlanjut maka akan mempengaruhi perkembangan anak ke depannya. Maka perlu ada
pendidikan khusus yang menawarkan solusi untuk mengatasi hal ini.
Dimandatkan Undang-undang Nomor
20 Tahun 2013 tentang Sistim Pendidikan Nasional Pasal 32, bahwa pendidikan
khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan
dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
Anak-anak semacam Lee Soo Yeon
tergolong dalam anak berkebutuhan khusus (ABK) seperti yang dikatakan psikolog,
Dr Endang Widyorini. Bahwa ABK adalah anak yang memiliki keterbatasan intelektual,
emosi, dan sosial. Bukan hanya keterbatasan fisik saja, karena ada anak yang
terbatas secara sosial tetapi tidak cacat fisik. Anak-anak ini dalam
perkembangannya mengalami hambatan, sehingga membutuhkan suatu penanganan
secara khusus.
ABK biasanya lebih suka menyendiri,
sedikit melakukan kontak mata, atau menghindar untuk bertatapan. Ia tidak
tertarik untuk bermain bersama teman atau bahkan malah menjauh. Alhasil
penyandang ABK dapat berperilaku berlebihan (hiperaktif) atau malah kekurangan (hipoaktif).
Endang mengatakan, di Indonesia dari prevalensi 2,6 juta ABK sebanyak 1,5 juta
berusia 6-15 tahun.
Kalau sudah begini kira-kira
siapa yang paling tepat menjadi pendeteksi awal. Sudah pasti orangtua adalah
pemeran utama yang menjadi pendeteksi pertama kali, karena mereka yang tahu
betul perkembangan buah hatinya. Setelah itu lingkungan sekolah sebagai
pendeteksi berikutnya atau bahkan profesional dalam hal ini psikolog
anak.
Selanjutnya pendidikan seperti
apa yang tepat bagi mereka? Menurut data Indonesian Society for Special Needs
Education (ISSE) lembaga di Indonesia yang fokus pada pendidikan ABK ada 2,6
juta lebih. Namun yang masuk ke sekolah khusus hanya 48 ribu ABK atau 1,83 %
saja. Lantas 98 persen ABK yang lain kemana?
Menyiasati keterbatasan layanan
pendidikan untuk ABK, pemerintah melalui Direktorat Pendidikan Luar Biasa (PLB)
melakukan uji coba pendidikan terpadu atau lebih dikenal dengan pendidikan
inklusi. Program ini bertujuan untuk memberikan solusi terhadap sulitnya ABK
dalam menikmati layanan pendidikan secara utuh, baik di desa-desa maupun daerah
3T (Terdepan, Terluar, dan Terpencil). Dengan bahasa yang sederhana, inklusi
ini menginginkan siswa berkebutuhan khusus dapat belajar bersama dan bersatu
dengan siswa normal.
Diselenggarakannya pendidikan inklusi
akan memberi dampak positif bagi ABK yaitu berkurangnya rasa takut dan
munculnya rasa percaya diri. Dalam pendidikan inklusi sekolah juga harus
mempunyai karakteristik sehingga anak mampu beradaptasi. Sekolah tidak boleh
melihat dari sudut kecacatan anak, namun lebih memandang pada kebutuhan mereka
untuk memperoleh perlakuan yang optimal sesuai dengan kemampuan. Sekolah juga
harus mengambil peran untuk menciptakan pembauran ABK bersama-sama anak lain
seusianya dalam sekolah reguler sehingga proses belajar lebih bersifat
kebersamaan antar siswa.
Upaya ini perlu adanya dukungan
berbagai pihak mulai dari pemerintah, masyarakat maupun sekolah. Pemerintah
berperan untuk mendesain sistim pendidikan yang memungkinkan ABK dapat
berkembang secara maksimal. Masyarakat dapat memperlakukan ABK seperti halnya
siswa-siswa lain yang normal. Sedangkan sekolah berperan untuk melaksanakan
pendidikan secara terintegrasi antara anak normal dan ABK. (*)
Harian SatelitPost Rabu, 22 Januari
2014
http://satelitnews.co/abk-butuh-pendidikan-inklusi-oleh-fitri-nurhayati-guru-sm-3t-kabupaten-ngada-ntt/