Everyone has the right to education. Education shall be free, at least in the elementary and fundamental stages. Elementary education shall be compulsory, technical and profesional education shall be made generally available higher education shall be equally accessible to all on the basis of merit… (Artikel 26 (1) Universitas Declaration of Human Rights)
Pendidikan Dalam Ruang Lingkup Sosial
Pendidikan menjadi tiang peradaban manusia saat ini. Ia memegang peranan penting dalam mentransfer sejarah perkembangan masyarakat. Bagaimana pendidikan diperjuangkan sejak zaman penjajahan Belanda. Dalam lingkup sosial hendaknya pendidikan mampu membangun peradaban manusia yang lebih baik. Mampu mentransfer ilmu pengetahuan yang ditemukan sepanjang sejarah maupun nilai-nilai universal. Tanpa ada pendidikan transfer tersebut akan sulit dilakukan. Oleh karena itu hendaknya ia dapat diakses oleh semua kalangan agar dapat menuju peradaban yang lebih baik, paling tidak dapat dirasakan oleh sebanyak-banyaknya orang.
Pendidikan kita tidak boleh apriori terhadap trend yang dibawa oleh proses globalisasi. Kita harus tetap tegar memegang karakteristik hakikat pendidikan. Bahwa pada dasarnya ia memanusiakan manusia. Globalisasi dan universalisasi sangat mempengaruhi dunia pendidikan yang timbul melalui tangan para pemegang kebijakan suatu bangsa. Globalisasi memaksa mereka saling meniru, mentransfer serta memadukan kebijakan pendidikan yang mereka buat.
Proses globalisasi menjadi pertimbangan saat ini dalam memprioritaskan kebijakan riil tanpa melakukan infiltrasi terhadap nilai-nilai pendidikan di negara lain. Satuan pendidikan merupakan institusi yang memiliki sumberdaya dalam berbagai bidang keahlian yang sangat menunjang peradaban manusia. Pada institusi inilah masyarakat dididik membentuk pola pikir bahwa pendidikan penting dan mempunyai nilai jual.
Pendidikan menjadi hak warga negara tanpa ada diskriminasi dalam memperoleh hak tersebut. Sesuai amanat Undang-undang Dasar 1945 (UUD ‘45) pasal 31 ayat 1, menyatakan bahwa “Setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan,” dan diperkuat dengan ayat 4 bahwa “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20 %) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi penyelenggaran pendidikan nasional.”
Hakikatnya Sudah Menjadi Komoditas
Pendidikan saat ini menjadi komoditas yang laku di pasaran. Ia menduduki posisi penting dihati masyarakat karena mampu mengangkat status sosial seseorang, namun tidak untuk kalangan bawah. Masyarakat yang tidak mampu meraih pendidikan menjadi kelaparan akan ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi haknya untuk dapat bertahan hidup. Meskipun pendidikan bukanlah satu-satunya alat untuk mempertahankan hidup, namun label itu akan menjadi ukuran masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.
Komoditas yang layaknya dapat dinikmati kini tak lain hanya sebatas cita-cita bagi kaum miskin. Status komoditas yang sedang hangat diperbincangkan harus dikaji ulang. Mengingat harapan untuk mencerdaskan anak bangsa telah gagal diembankan kepadanya. Yang terjadi justru munculnya kesulitan yang memiliki implikasi signifikan terhadap masyarakat.
Berbicara tentang komoditas tentu akan mengarah pada kepentingan pihak yang mengelola komoditi. Mereka lebih mempertimbangkan keuntungan komersil dari proses yang dijalani. Parry (1989), menjelaskan dalam proses pertukaran komoditas yang terpenting adalah keuntungan dan bisa terwujudnya akumulasi modal yang cepat.
Kenyataan sekarang hakikat pendidikan sudah menjadi komoditas sehingga yang terjadi adalah lunturnya nilai-nilai luhur pendidikan diganti dengan nilai-nilai pasar yang bersifat mekanik. Sebuah lembaga satuan pendidikan yang seharusnya mampu mendorong perubahan sosial kini tak lain menjadi bisnis komersil.
Masyarakat sudah menanamkan pola pikir bahwa untuk meraih pendidikan haruslah dengan biaya mahal. Begitu juga dengan penentu kebijakan yang telah menanamkan mindset bahwa pendidikan dengan taraf internasional menjadi parameter peningkatan kualitas pendidikan. Padahal semua itu hanyalah pencitraan sebuah bangsa agar terlihat mengalami kemajuan pesat dalam mengelola pendidikan.
Contoh riil yang ada di sekitar kita adalah penggolongan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI). Masyarakat berbondong-bondong bahkan mengantri untuk dapat menyekolahkan anaknya di sekolah SBI. Sekolah yang kata orang berstandar Internasional. Padahal dilihat dari pengajar dan fasilitas yang disediakanpun masih tidak beda dengan sekolah standar Indonesia tulen.
Tidak sampai disitu saja lulusan SBI juga dihitung sama atau sejajar dengan sekolah bertaraf nasional bahkan lokal. Lalu apa yang membedakan standar sekolah tersebut? Jawabannya adalah prestice yang lebih berkelas karena konsumennya mampu membayar dengan biaya yang ditawarkan.
Sekolah Bertarif Internasional (SBI)
Satuan pendidikan ini menjadi iming-iming bagi konsumen pendidikan yang mengharapkan lulusannya mampu mendorong perubahan sosial dalam masyarakat.
Seperti tanggapan menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh terhadap uji materi Pasal 50 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 terkait Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) yang diajukan oleh Koalisi Antikomersialisasi Pendidikan patut dicermati. Nuh mengatakan bahwa RSBI merupakan wadah atau layanan khusus untuk anak-anak pintar (kompas, 30/12/2011).
Padahal untuk dapat masuk Perguruan Tinggi (PT) tidak menjadi pengaruh besar bagi siswa yang berasal dari SBI atau sekolah regular. Yang menjadi pertimbangan sekarang adalah berapa besar sumbangan yang dapat diberikan kepada PT. Bahkan seleksi nasional masuk perguruan tinggi ada yang melalui jalur undangan. Program undangan hanya diikuti siswa dari sekolah dalam basis data panitia. Sekolah yang belum masuk daftar bisa mengikutsertakan siswa dengan mengajukan permohonan secepatnya.
Seperti yang dilansir Harian Kompas, Kamis (26/1) Ketua Umum Seleksi Nasional Mahasiswa Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN), Akhmaloka mengatakan sekolah-sekolah yang masuk daftar sesuai data tahun sebelumnya. Seleksi terbuka untuk sekolah yang memenuhi syarat.
Kuota siswa yang boleh diajukan sekolah untuk ikut SNMPTN jalur undangan disesuaikan akreditasi sekolah. Syarat siswa yang dapat masuk perguruan tinggi adalah sekolah dengan akreditasi A dengan peluang kuota pendaftar 50 % siswa terbaiknya, yang berakreditasi B sebanyak 30 %, dan berakreditasi C sebanyak 15 %, dan sekolah baru yang belum terakreditasi dapat mengirimkan sebanyak 5 % dari siswa terbaiknya.
Anak-anak dari kaum yang mapan secara ekonomis dengan gampang dapat melenggang masuk ke universitas-universitas bergengsi seperti Harvard University, sedangkan anak-anak dari keluarga miskin hanya bisa bermimpi di siang hari untuk dapat melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. Rupanya sejarah berulang, hanya kali ini yang mengulangi adalah negara dan bangsa kita tercinta ini. Pendidikan kita mulai dari jenjang sekolah taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, sampai perguruan tinggi menjadi semakin mahal, kian komersial, dan memberatkan sebagian besar rakyat kita yang masih sengsara.
Prof Sofian Effendi selaku Ketua Dewan Pembina Forum Rektor Indonesia dengan keras mengecam diterbitkannya Peraturan Presiden No.77/2007 yang dinilainya telah menjungkirbalikkan paradigma pendidikan nasional karena tampak sekali kuatnya motivasi dan kepentingan ekonomi di dalamnya. Padahal, dunia pendidikan seyogyanya memang tidak dikategorikan sebagai komoditas ekonomi yang sarat kepentingan mencari keuntungan finansial, apalagi yang berorientasi jangka pendek.
Amanat Undang-Undang Dasar (UUD) yang menyatakan pendidikan mesti dialokasikan dana 20% dari APBN maupun APBD, sampai saat ini masih jauh panggang dari api. Akibatnya mudah ditebak, para rektor dan kepala sekolah mesti mencari terobosan dan kiat-kiat baru untuk mencari tambahan sumber dana dengan berbagai cara.
Tak heran bila beberapa waktu belakangan ini kita mendengar tudingan intellectual and professional prostitution di tanah air kita tercinta. Ilmuwan dan cendekiawan yang mestinya menjadi sumber kekuatan moral dan intelektual, malah melacurkan ilmu dan profesinya hanya demi kekuasaan dan kesejahteraan pribadi atau kelompoknya sendiri.
Aliran filsafat pendidikan
Progressivisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa manusia itu mempunyai kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi masalah yang menekan atau mengecam adanya manusia. Aliran progressivisme mengakui dan berusaha mengembangakan asas progressivisme dalam semua realitas, terutama dalam kehidupan adalah tetap survive terhadap semua tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi kegunaannya. Berhubungan dengan itu progressivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang.
Pendidikan yang bercorak otoriter ini dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan-kemampuan tersebut dalam proses pendidikan. Pada hal semuanya itu ibaratkan motor penggerak manusia dalam usahanya untuk mengalami kemajuan atau progres.
Oleh Fitri Nurhayati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar