Minggu, 13 September 2015

Mengapa Kami Dibedakan?

Foto ilustrasi. Pipit
Seorang direktur perusahaan nampak matching saat mengenakan kemeja dan berdasi. Ia akan lebih disegani oleh bawahannya. Lain cerita ketika yang mengenakan adalah seorang loper koran. Meski tetap serasi, namun perlakuan orang lain akan berbeda. Padahal keduanya berpakaian sama mulai dari merek, harga, warna, hingga motifnya. Ini disebabkan karena status sosial keduanya berbeda.
Analogi di atas juga berlaku bagi para tenaga pendidik atau guru. Hal itu menjadi semacam korelasi yang berbanding lurus antara status sosial dengan perlakukan orang. Para guru mempunyai cerita tersendiri yang mendeskripsikan statusnya dalam kesetaraan rekan seprofesinya. Mereka yang masih menyandang status Guru Tidak Tetap (GTT) mendapat perlakuan yang berbeda dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Meski keduanya sama-sama mendidik dan berdiri di depan kelas, sama-sama membuat perangkat pembelajaran, bergelut dengan buku, mengajarkan kebaikan dan transfer ilmu, tetapi berbeda dalam pendapatan. Perbedaan ini menjadi bentuk diskriminasi profesi yang harus diselesaikan.
Negara memberi penghargaan lebih kepada mereka yang sudah berlabel PNS dengan segala kenikmatan yang dijanjikan. Mulai dari gaji berlipat, tunjangan, asuransi, bahkan baru-baru ini pemerintah juga bekerjasama dengan perusahaan swasta untuk memperlakukan mereka dengan spesial. Lain cerita dengan guru yang menjadi tenaga honorer. Beban kerja sama namun status sosial dan perlakuan negara tidaklah sama.
Para honorer ini menggantungkan nasib kepada yayasan tempat mereka bekerja. Gaji yang mereka dapatkan biasanya diakumulasi hingga beberapa bulan. Padahal kebutuhan sehari-hari mereka tidak dapat diakumulasi. Yang ada malahan hutang menumpuk dan ketika gaji cair akan langsung mengalir untuk membayar hutang. Yayasan seharusnya menetapkan upah minimum yang diberikan kepada GTT sehingga tak lagi ada guru yang digaji Rp 200 ribu per bulan. Namun pada kenyataannya itu pun tak dapat dipenuhi karena keterbatasan dana dari masing-masing yayasan.
Menjadi polemik klasik ketika para honorer menuntut kesejahteraan kepada negara. Memang menjadi guru adalah pengabdian dan tak seharusnya orang mengabdi menuntut imbalan lebih. Namun ketika hal itu malah menjepit dirinya, maka bukan lagi pengabdian yang menjadi tujuan, tapi kesejahteraan.
Kenapa guru? lagi-lagi pahlawan tanpa tanda jasa ini yang digantungkan nasibnya. Sisa hidupnya hanya akan menjadi relawan pendidikan yang digaji ‘seadanya’. Wacana tentang kesejahteraan guru digencarkan setiap musim biasanya ketika memasuki musim CPNS. Tenaga honor di level grass root akan berlomba mengambil antrean keberuntungan, mengadu nasib di tengah ribuan orang. Kalau saja para guru bersedia keluar dari zona nyaman, masih banyak peluang di daerah terpencil yang membutuhkan tenaga-tenaga profesional di dunia pendidikan. Maka, orientasi guru tidak lagi sebatas kesejahteraan, namun meningkatkan kualitas pendidikan.

Tawaran solusi dari pemerintah lagi-lagi menjadi sebatas wacana yang pada akhirnya menguap begitu saja. Sistem pendidikan sudah seharusnya dirancang untuk membenahi diri dalam melakukan reformasi. Sebelum orde baru, guru menjadi semacam primadona yang diagungkan banyak orang. Akhirnya saat ini tenaga guru menumpuk karena dulunya terjebak pada kenikmatan semu. Pada akhirnya profesi guru tak lagi berpegang pada hiroh-nya mengabdi untuk negeri, mencerdaskan anak bangsa. Namun menjadi tempat untuk mengadu nasib mencari kesejahteraan semata. (*)