Selasa, 15 Juli 2014

Dibuat Heran oleh Google Earth


Seorang murid sedang mencoba aplikasi Google Earth (foto doc.pribadi)

TANPA berkedip, mata lugu itu menatap ke arah layar yang tersorot dengan jelas pada tembok di samping papan tulis. Seolah mata itu berbicara tentang keheranan yang tidak pernah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Bumi dengan mudah diputar, diperbesar, atau pun diperkecil hanya dengan mengeklik atau mengarahkan mouse saja. Pembelajaran menggunakan layar LCD ini telah menghipnotis muridku kelas XII IPS 2 yang saat itu sedang mendapat materi Penginderaan Jauh mata pelajaran Geografi.
Sebagai guru yang mengampu mata pelajaran itu aku merasa ada sedikit kepuasan karena semua siswa memperhatikan. Kalau pun ada suara hanya kekaguman mereka terhadap Google Earth, aplikasi yang aku gunakan. Tiga jam pelajaran di dalam kelas sungguh rasanya sangat sebentar, apalagi melihat siswa yang mengangguk tanda memahami materi yang saya ajarkan.
“Nah mengasyikkan bukan?” tanyaku.
“Iya keren sekali ibu,” kata Rembung yang duduk di kursi paling belakang.
Muridku dibuat heran oleh google earth yang membawa mereka berselancar melihat bumi. Melalui aplikasi ini mereka bisa melihat permukaan bumi atau fenomena geosfer tanpa bersentuhan langsung dengan objek yang dikaji. Tak sedikit dari mereka yang request untuk menampilkan tempat tinggal mereka, objek wisata di Flores, dan jalan-jalan yang sering mereka lewati.
Awalnya aku hanya menampilkan lokasi sekolah yang nampak jelas pada citra dari aplikasi yang membawa kami terbang ke luar angkasa. Tanpa menjelaskan lebih panjang para siswa sudah langsung paham tentang cara kerja aplikasi ini.
Yein mencoba langsung penggunaan Google Earth untuk mencari lokasi yang dia inginkan. Awalnya terbata-bata saat menggerakkan mouse untuk melakukan pencarian lokasi. Meski begitu ia tetap melanjutkan pencarian bahkan hingga zoom yang sangat besar. Nampak jelas permukaan bumi yang ingin dicarinya.
“Wah ini Soa, ini bandaranya, ini jalannya,” ujarnya kegirangan.
Begitu juga dengan teman sekelasnya yang ikut kegirangan menyaksikan permukaan bumi dari sorot LCD pada tembok. Bahkan beberapa siswa lain pun terus meminta Yein untuk melanjutkan pencarian daerah lain yang sering mereka kunjungi.
Program globe virtual buatan Keyhole ini juga memudahkanku memberikan contoh fenomena geosfer yang aku ajarkan. Selain memahami materi, pembelajaran menggunakan Google Earth juga mengasyikkan bagi muridku.
Belajar Geografi di dalam kelas selama tiga jam biasanya membuat mereka mengantuk atau sesekali pasti ada yang izin keluar kelas. Rembung yang langganan keluar kelas saat pelajaran berlangsung kali ini betah berlama-lama duduk di bangkunya. Sangat berbeda dengan berbeda dengan hari-hari biasa.
Tanpa menunggu perintah, mereka juga mencatat materi ajar yang kusampaikan. Sebenarnya materi ini bisa dicopy, namun dengan tujuan mendapat manfaat yang berlipat, aku enggan memberikan print outnya. Dengan menulis, siswa telah melakukan aktivitas membaca, menulis, dan memahami sehingga materi yang aku ajarkan akan lebih melekat dalam ingatan mereka. Alhasil muridku sangat berantusias untuk memahami materi ini.
Terbukti pada pertemuan berikutnya mereka sudah duduk rapi di dalam kelas menungguku datang. Tidak hanya mereka yang duduk rapi namun LCD juga sudah terpasang dan siap untuk aku gunakan. Padahal sebelumnya aku tidak menginstruksikan seorang siswa pun untuk menyiapkan media elektronik ini, bahkan masuk kelas pun aku tidak membawa laptop.
“Ibu guru kemarin kan belum lihat desa saya di Google Earth, jadi sekarang kita lihat ya bu,” kata Hendra, siswa yang biasa izin keluar kelas saat pelajaran berlangsung.
Kalau sudah begini tak ada pilihan lagi selain mengikuti kemauan mereka untuk menerapkan pembelajaran elektronik.
Kegiatan belajar mengajar dengan menerapkan teknologi sangat membantuku untuk mentransfer ilmu kepada mereka. Apalagi belakang ini sedang gencar penerapan Kurikulum 2013 yang mengharuskan siswa lebih aktif dalam pembelajaran. Meski kurikulum ini belum sampai di daerah 3T (Terluar, Terdepan, dan Terpencil) tempatku mengajar, namun siswa harus dibiasakan untuk mengenal teknologi atau media pembelajaran elektronik. Apalagi untuk jenjang SMA yang tidak lama lagi akan memasuki bangku kuliah.
Sebagai guru di daerah 3T yang notabene masih belum familiar dengan teknologi, aku berusaha membiasakan diri untuk menerapkan pembelajaran elektronik kepada mereka. Tidak melulu harus dikonekkan dengan internet, namun terkadang aku hanya menampilkan gambar atau video yang berkaitan dengan materi ajar.
Beberapa sekolah di Pulau Flores ini sudah mempunyai fasilitas pembelajaran elektronik yang terbilang lengkap. Hanya saja sumber daya manusia yang masih enggan memanfaatkannya. Dengan alasan belum menguasai teknologi, waktu yang terbatas untuk menyusun bahan ajar, atau alasan lain yang sering aku dengar. Padahal pembelajaran elektronik cukup simple dan mudah, terlebih untuk pelajaran tertentu yang sering menjadi momok tersendiri bagi siswa.
Guru hendaknya meng-update perkembangan teknologi yang terus berkembang terutama untuk pembelajaran baik di dalam maupun luar kelas. Dampak kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) terhadap dunia pendidikan semakin terasa. Bahkan saat ini hampir semua aspek kehidupan manusia tidak luput dari peranan TIK. Oleh karena itu guru harus mampu menjembatani siswa dalam mengikuti perkembangan teknologi dengan memanfaatkan pembelajaran, baik sebagai alat maupun media pembelajaran. (*)

Senin, 14 Juli 2014

Selesaikan Semua Pekerjaan dengan Tulis Tangan

Foto ilustrasi (cahyadi-takariawan.web.id)

Semangat itu menular saat aku menyaksikan mama Gina sibuk dengan buku tulisnya yang tebal-tebal. Ada yang bersampul merah, hijau, biru, dan kuning, namun semuanya sudah usang dimakan usia. Ia menumpuknya rapi di meja kerjanya yang sudah penuh. Katanya biar mudah mencari sewaktu-waktu.
Buku itu dibukanya setiap musim ujian kenaikan kelas. Kadang membuka untuk mencari referensi soal atau untuk menambahkan tulisan di halaman baru berupa kumpulan soal. Aku meniliknya perlahan. Satu per satu dirangkainya dengan rapi soal-soal yang akan dikeluarkan saat ulangan. Lengkap dengan kelas, semester, mata pelajaran, dan tahun ajarnya.
Masih ada waktu dua hari yang diberikan bagian kurikulum untuk para guru mengumpulkan soal. Kali ini aku lihat kesibukan mama Gina semakin memadat. Ia mengampu dua mata pelajaran untuk semua kelas. Kelas satu waktu itu masih umum, belum penjurusan. Berbeda dengan kelas dua yang sudah terbagi jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.
Kusaksikan sesekali ia melempar tangannya ke depan. Mungkin untuk mengendurkan otot atau memberikan jeda pada tulisan yang sudah terlalu banyak. Di jarinya terselip bolpoin hitam yang tintanya hampir habis. Kalau dihitung tiap semester ia harus menyusun delapan paket soal yang berbeda, tentunya dengan tulisan tangan karena mama Gina tak dapat mengoperasikan komputer.
“Ada yang bisa saya bantu bu? Sepertinya pekerjaanya masih banyak,” tanyaku.
“Oh tidak bu terimasih. Besok saja saya minta tolong ibu ketik soal ini. Biar karyawan TU bisa langsung menggandakan,” jawabnya.
Kalau hanya sekadar mengetik soal yang sudah ada aku sangat tidak keberatan. Apalagi melihat mama Gina yang sedari tadi tidak beranjak dari mejanya. Sampai jam sekolah selesai ia masih tetap setia di depan buku yang memenuhi mejanya. Aku menemaninya dengan kesibukanku sendiri.
Ia harus menyelesaikan pekerjaan ini dalam waktu berhari-hari sedang aku hanya beberapa jam saja. Tinggal menggunakan laptop dan pekerjaan terselesaikan dengan cepat. Berbeda dengan mama Gina yang harus tulis tangan, membuka buku berlembar-lembar, mencari tiap halaman, dan memutihkan kata dengan tipeX kalau salah.
“Saya tidak bisa kerja dengan itu barang jadi lama begini bu,” katanya sambil menunjuk laptopku.
Lewat senyum tipis aku menyatakan kebanggaan padanya. Seorang guru yang tetap semangat menjalankan tugasnya yang seabreg tanpa mengenal IT. Kalau aku jadi dia mungkin sudah enggan dan memilih kabur atau menjiplak soal lama. Tapi mama Gina tetap mengupdate soal yang akan diberikan kepada anak didiknya.
Kata karyawan TU, mama Gina adalah guru paling rajin yang selalu tepat waktu menyetor soal. Meski bebannya yang paling banyak, namun ia juga yang paling disiplin. Kulihat buku-buku di depannya bukan hanya kumpulan soal saja, tapi lengkap dengan perangkat pembelajaran yang juga ditulis tangan. Katanya dari awal menjadi guru ia mengarsipkan semuanya dengan tulisan tangan. Kalau pun ada yang diketik itu pasti pemberian orang atau hanya photo copy saja.
“Ini kalau mendadak ada supervisi saya sudah siap. Semuanya ada di buku-buku ini,” ujarnya.
Mama Gina telah menjadi guru tetap yayasan yang mengajar di sekolah ini. Pengabdiannya selama bertahun-tahun melekatkan jiwa disiplin yang luar biasa pada dirinya. Apalagi di tengah gejolak kebijakan pemerintah tentang guru yang harus melek IT. Di usianya yang tak lagi muda kupikirakan akan kesulitan bagi mama Gina mengimbangi derasnya arus teknologi.
Padahal guru dituntut untuk selalu mengupdate pengetahuan baik akademik maupun non akademik. Aku jadi berfikir disinilah letak keistimewaan mama Gina. Saat yang lain sibuk dengan arus globalisasi pendidikan, ia masih tetap mempertahankan hakikat pendidikan. Menurutnya pendidikan yang terpenting adalah penanaman moral dan karakter pada anak sebagai bekal meraih ilmu pengetahuan. Pendidikan adalah sebentuk pengabdiannya kepada negeri dengan caranya sendiri. Keterbatasan mama Gina akan IT tak pernah menjadi hambatan untuk tetap mendedikasikan diri untuk dunia pendidikan. (*)

Minggu, 13 Juli 2014

Takut Laptop Bu Guru Rusak

Murid SMAKER Riung, Flores, NTT
Aku mempersilakan siapa saja yang ingin mencoba menuliskan nama dan cita-citanya Ternyata tidak ada satu pun yang berani maju di depan kelas

HAMPIR seminggu masuk sekolah aku masih belum mendapat jadwal mengajar. Ada dua kelas yang kebetulan jamnya kosong karena guru pengampu jadwalnya bentrok dengan jadwal mengajar di sekolah lain. Hal ini sudah biasa terjadi bahkan hampir di semua sekolah. Tak heran apabila siswa sering ketinggalan materi pelajaran.
Beberapa guru masih disibukkan dengan persiapan kunjungan kerja perdana Kepala Dinas PKPO Kabupaten Ngada. Maklum kunjungan ini merupakan yang pertama dilakukan oleh orang nomor satu di Dinas PKPO setelah sebulan ia menjabat. Untuk itulah butuh persiapan yang matang, terlebih kunjungan ini melibatkan seluruh sekolah baik negeri maupun swasta yang ada di Kecamatan Riung. Kebetulan sekolahku ketempatan untuk kunja perdana ini.
Waktu itu kelas 3 IPS 1 dan 2 yang kosong, seharusnya mereka belajar TIK. Dua kelas ini terpaksa digabung karena satu ruangan sedang direnovasi untuk sementara waktu.
Daripada duduk di ruang guru aku memilih masuk kelas yang kosong. Ada waktu dua jam untukku bercakap-cakap dengan mereka. Seperti di kelas lain aku selalu mengenalkan diri dan sedikit menceritakan profil singkat tentang diriku sendiri. Bukan apa-apa tujuannya hanya memberi motivasi kepada mereka untuk terus belajar. Kalau perlu sampai mereka merantau ke tanah orang dan kembali ke kampung halaman untuk membangun kampung halamannya.
TIK sebenarnya adalah pelajaran yang sangat menyenangkan, seperti pengalamanku dulu saat duduk di bangku SMP. Selain bisa mengenal teknologi aku juga tidak perlu banyak berfikir seperti halnya saat mata pelajaran yang lain. Mapel yang satu ini tinggal praktik langsung, tinggal klik dan layar akan berubah dengan seketika. Mengenal teknologi seperti komputer waktu itu memang sangat luar biasa, maklum kami orang desa yang sebelumnya tidak pernah mengenal teknologi yang terbilang canggih ini. Tak heran jika muridku saat ini merasakan hal yang sama, hanya saja persentase praktik mereka lebih sedikit ketimbang teori, bahkan nyaris tidak ada praktik sama sekali.
Bahkan KBM sudah berjalan hampir dua bulan namun guru mapel TIK sama sekali belum pernah masuk kelas. Siswa hanya diberi tugas mengerjakan soal yang ada dalam buku paket, membaca materi sendiri, dan memahaminya sendiri. Sudah salah kaprah pembelajaran semacam ini. Tapi apa mau dikata kondisi sekolah yang tidak memungkinkan.
“Kalian pernah belajar komputer?” tanyaku dalam kelas.
“Pernah bu waktu SMP tapi sudah lupa. Diajari ngetik saja,” kata seorang anak.
Dalam benakku seharusnya mereka sudah tak asing dengan komputer tapi pada kenyataannya tidak. Pelajaran ini butuh praktik sehingga siswa bisa memahami langsung apa yang mereka pelajari.
“Sekarang tutup bukunya. Kita belajar ngetik yaa,”
“Asyik...”
Kebetulan aku membawa laptop dan terpaksa aku juga meminjam netbook milik Septi yang waktu itu sedang duduk santai di ruang guru. Ia bersedia membantuku untuk mengawasi anak-anak saat belajar mengetik. Hanya ada dua laptop di dalam kelas, tak apa setidaknya mereka bisa menyentuh yang namanya komputer.
Sebelumnya kujelaskan beberapa bagian yang di dalamnya, mulai dari layar monitor, keyboard, mouse, dan coolpad yang aku bawa. Meski sebenarnya aku  juga tidak menguasai semua piranti dalam teknologi ini. Ternyata sebagian dari mereka masih ada yang ingat, ada yang menirukan suaraku saat menyebutkan beberapa perangkat keras ini.
Satu per satu aku menyuruh mereka menulis nama dan cita-cita yang ingin dicapai kelak setelah mereka dewasa. Tujuanku tidak hanya belajar saja, namun aku juga ingin membangun motivasi belajar siswa untuk meraih cita-cita.
Semua siswa kegirangan saat laptop kusiapkan di depan kelas. Aku mempersilakan siapa saja yang ingin mencoba menulis nama dan cita-citanya. Ternyata tidak ada satu pun yang berani maju ke depan kelas.
“Takut laptop bu guru rusak,” kata Maria Yein yang saat itu duduk di kursi deretan paling depan.
Aku sedikit tergelitik dengan pengakuan mereka. Lugu, jujur, tapi sebenarnya mempunyai semangat belajar yang tinggi. Sebenarnya sekolah punya beberapa unit komputer, kelihatannya ada enam komputer yang masih baru hanya saja sepertinya jarang sekali digunakan. Ini karena terbatasnya tenaga pengajar yang terbilang mumpuni di bidangnya, kalau pun ada mereka harus membagi waktu dengan kelas atau sekolah lain.
Aku memandu mereka agar semua siswa bisa mencoba mengetik di laptopku. Mulai dari Yein yang kebetulan memang duduk di kursi paling depan. Kemudian diikuti siswa lain yang duduk disampingnya. Setelah seorang siswa maju untuk praktik maka siswa lain sudah tak lagi segan untuk mencoba kegiatan yang sama.
Dua jam pelajaran terasa sangat cepat. Hasil dari tulisan mereka memberitahukan padaku bahwa sebenarnya anak-anak ini punya cita-cita yang luar biasa. Ada yang ingin menjadi guru, polisi, tentara, dokter, ahli matematika,  jadi pastor, dll.  
Di luar sana terdengar lonceng berbunyi nyaring pertanda sudah waktunya ganti pelajaran. Aku bergegas menutup pertemuan kali ini dan kukatakan suatu saat aku akan kembali ke kelas ini, kalau ada jadwal mengajar atau hanya ingin menengok mereka di kelas.
Aku bergegas mematikan laptop dan segera menuju ruang guru. Mama Sisi sudah bersiap diri untuk masuk ke ruang kelas yang sama.
“Nah begitu bu Fit anak-anak senang kalau belajar komputer apalagi praktik langsung. Sekarang gantian saya yang masuk kelas,” kata Mama Sisi sembari membawa Buku Matematika yang akan disampaikan kepada siswaku tadi. (*)

Sering Pingsan, Elsa Tetap Percaya Diri

Paras dewasa nampak dari wajahnya yang sederhana, sebanding dengan usianya yang sudah lewat 23 tahun. Biasanya gadis di usia ini sedang sibuk memikirkan dandanan atau bahkan gandengan lawan jenis yang akan diajak seriusan, namun hal itu tidak berlaku bagi Elsa. Di usia yang seharusnya sudah memasuki fase dewasa ini ia masih berperilaku  layaknya ABG yang sedang menikmati masa pubertas.
Jangan heran, karena pemilik nama Maria Felisitas T. Bei ini memang baru duduk di kelas 2 SMA. Saya mendapatinya saat menjadi guru SM-3T di SMA S Kejora Riung, Nusa Tenggara Timur. Di kelas XI Bahasa yang saat itu sedang jam kosong saya mengenal Elsa. Saat itu iseng saja mengisi kelas kosong karena guru yang bersangkutan sedang dinas luar, kebetulan pada minggu pertama penempatan di sekolah ini saya belum mendapat jadwal mengajar.
Di kelas yang saat itu dindingnya masih kasar dan jendelanya tak berkaca saya mengenalkan diri, diikuti para siswa satu per satu. Ternyata tanpa dipancing lebih mendalam beberapa siswa dengan sukarela memperkenalkan diri masing-masing termasuk Elsa. Dikatakan bahwa gadis berparas gemuk ini adalah yang usianya paling tua di kelas, diikuti siswa lain yang usianya terpaut lima sampai enam tahun lebih muda. Melihat sekilas wajah Elsa saya pikir tidak ada perbedaan yang mendasar dengan siswa lainnya. Apalagi saat mereka membaur dan melakukan aktivitas di kelas secara bersama-sama.
Ikatan rambut yang menjadi ciri khasnya ini menjadikan dandanan Elsa terpaksa masih seperti ABG. Namun tidak demikian untuk soal keberaniannya saat unjuk gigi di depan kelas. Percaya dirinya muncul tanpa benteng penghalang sedikit pun saat saya meminta mereka untuk meramaikan kelas dengan sukarela usai sesi perkenalan. Elsa adalah siswa pertama yang mengangkat tangan untuk bersedia memberikan hiburan dalam kelas. Ia menyanyi sendirian dengan membawakan lagu Air Susu Mama. Berdiri di depan kelas dengan pakaian rapi, sepatu hitam, dan senyum malu-malu sambil sesekali membuang pandangannya ke seluruh penjuru ruangan.
Sontak kelas menjadi tenang menyaksikan keberanian Elsa bernyanyi sendiri di depan kelas yang tentunya hal ini tidak pernah dilakukan siswa lain. Keberanian gadis bermata bulat ini pula yang memicu siswa lain untuk ikut unjuk keberanian di depan kelas. Mereka tak ingin kalah dengan Elsa meski siswa lainnya maju dengan membawa teman, ada yang berdua, bahkan bertiga.
Gadis yang duduk di kursi pojok kiri tepatnya nomor dua dari depan ini mendapat applause meriah saat menyudahi penampilannya. Setiap kali saya menjatuhkan pandangan padanya karena kagum, Elsa hanya tersenyum malu. Sejak itulah saya mengira kalau siswa di sekolah ini mempunyai keberanian dan rasa percaya diri yang tinggi. Namun anggapan ini saya bantah sendiri setelah menjumpai karakter siswa yang beragam bahkan penilaian untuk beberapa kelas dengan tingkatan yang berbeda pula. Sampai sekarang yang masih meninggalkan kesan percaya diri  luar biasa adalah Elsa.
Keesokan harinya usai apel pagi seorang guru menghampiri saya di kantor, Maria Selviana Koka Owa namanya. Guru pengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia ini juga dipercaya menjadi wali kelas Elsa. “Ibu kemarin masuk kelas Bahasa? Bagaimana pertama masuk kelas itu bu?” tanya dia.
Saya menceritakan keasyikan saat berada di kelasnya selama dua jam pelajaran, termasuk kesan pertama saya pada Elsa. Ibu Selvi bercerita tentang Elsa menjadikan saya semakin yakin bahwa siswa yang satu ini memang menjadi perhatian banyak kalangan, entah karena percaya dirinya, usianya, atau faktor lain yang belum saya ketahui dengan detail.
Dikatakan bahwa Elsa kecil dulunya pernah jatuh dari tempat tidur hingga mengakibatkan benturan di kepala. Saat itu memang tidak parah namun dokter mengatakan kejadian ini mungkin dampaknya akan terasa saat si gadis memasuki usia remaja atau dewasa. Seharusnya sekarang ia sudah duduk di bangku kuliah  atau bahkan sudah lulus sarjana. Tak salah dugaanku, bahwa anak ini istimewa dan membutuhkan perhatian khusus dalam perkembangan belajarnya.
Kejadian masa kecil itu pula, kata Selvi yang membuat gadis ini sering sakit di sekolah. Bisa sampai pingsan atau kejang seperti orang ayan. Penyebabnya sederhana, hanya karena kelelahan, pikiran stress, atau suasana hati yang tidak menyenangkan. Apalagi duduk di kelas dua SMA tentu ia harus menjumpai materi pelajaran yang tingkat kesulitannya mulai tinggi. “Makanya dia tidak boleh kelelahan dan pikirannya juga tidak boleh stress,” ujarnya Selvi.
Sering orangtua Elsa datang ke sekolah untuk menjemput anak pertamanya ini. Selvi mengakui si bungsu dari tiga bersaudara ini memang rajin dan ulet meski secara kepandaian ia terbilang lambat apabila dibandingkan siswa lain di kelasnya. Beruntung siswa lain mempunyai sifat terbuka dan memahami kondisi Elsa. Keterlambatan Elsa dalam memahami pelajaran atau bersosialisasi juga dimungkinkan akibat kecelakaan semasa kecil.
“Semangat belajarnya tinggi, biarpun pemahamannya terbilang lambat. Tapi kita harus terus memberi semangat pada Elsa,”ujarnya.
Rajin yang dimaksud Selviana saya buktikan tidak hanya saat berada di kelas mengerjakan soal ujian sampai waktu habis saja, namun saya juga melihat keuletannya saat ia menenteng keranjang cukup besar berisikan mangga aromanis. Setiap musim panen ia membawanya ke sekolah untuk dijual kepada guru atau teman-temannya. Dijualnya seharga Rp 10 ribu untuk satu plastik berisi empat sampai lima lima mangga tergantung besarnya.
“Buat bantu orangtua bu,” kata Elsa saat ditanya kenapa menjual mangga. Hal yang dilakukan Elsa ini belum tentu dengan mudah dilakukan siswa lain di sekolahnya. Rasa percaya diri gadis Flores yang satu ini seharusnya dapat menginspirasi siswa lain setidaknya saat berada di dalam kelas. 

Sabtu, 12 Juli 2014

Liburan di Pulau Komodo

Masih di Aimere, bersiap liburan ke Pulau Komodo

Mampir dipenempatan temen2 UM, Cancar, Manggarai

Istirahat buka puasa. Sampai di Flores yang dicari tetep RM Jawa

Di ujung kapal menuju Pulau Komodo

Bukit Sulfur di Pulau Komodo

Foto bareng Komodo

Komodo bukanlah Komedi apalagi Komedo

Menuju Pink Beach

Di belakang ada rusa-rusa liar

Di hutan asam, Pulau Komodo

Dengan Yanti di Bukit Sulfur

Pulau Komodo

Sssttt jangan berisik Komodonya mau tidur

Komodo National Park

Spot bagus banget disini

Bukit Sulfur, Pulau Komodo