Kamis, 31 Januari 2013

Musiknya Enak Didengar Jadi Pengin Ikut Nyanyi

Revanisa Bre Palupi Sekar Pembayun, penyanyi keroncong berusia sembilan tahun_Foto:Fikri, SatelitPost

JEMARI yang lihai nampak sibuk memetik senar gitar hingga menghasilkan suara nyaring. Bunyinya terdengar padu dengan iringan biola, cuk, cak, cello, biola, dan bass. Semua pasang mata yang ada di Kedai Telapak malam itu nampak terhibur dengan penampilan sekelompok grup keroncong ini.
Mereka membawakan lagu yang mengingatkan kita pada puluhan tahun lalu tentang keroncong. Lagu yang terkenal adalah Bengawan Solo yang banyak dibawakan oleh penyanyi senior hingga diikuti generasi berikutnya sampai saat ini.
Menjadi hal biasa apabila personel didalamnya merupakan generasi terdahulu yang ingin music ini tetap eksis. Namun ada satu hal yang membuat melongo para penonton dengan kehadiran Revanisa Bre Palupi Sekar Pembayun.
Gadis berusia Sembilan tahun ini menyanyikan lagu keroncong dengan apik, seolah telah puluhan tahun ia mengenalnya. Penampilan gadis ini menarik aplous dari penonton yang hadir dalam acara yang sekaligus merupakan malam inagurasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Persiapan Purwokerto, Sabtu (27/1).
Bocah kecil yang akrab disapa Reva ini sering manggung dibeberapa tempat untuk menyanyi keroncong. Meski banyak orang yang menganggap music ini sudah tidak zaman, namun Reva tetap membawakan dengan apik. Bahkan penampilannya seolah mengalahkan hiburan lain yang ada di tempat ini.
Reva telah berlatih menyanyi keroncong sejak usianya masih tiga tahun. Awalnya ia mempunyai ketertarikan setelah sang ayah membawakan keroncong. Meski tak banyak menguasai lagu aslinya, namun keinginannya untuk terus belajar mendapat dukungan dari sang ayah.
Biasanya, kata Reva lagu yang dibawakannya adalah yang beraliran pop namun dikeroncongkan. Sehingga dirinya tidak banyak menjumpai kesulitan untuk menekuninya. Selain musiknya enak, juga tak lagi banyak yang membawakan lagu ini.
“Musiknya enak didengar jadi pengin ikut nyanyi. Lagu yang paling suka Bengawan Solo tapi biasanya nyanyi lagu pop yang dibuat keroncong,” kata Reva.
Aliran musik ini mengantarkannya untuk tampil di beberapa tempat bersama grupnya, Biar Ngeroncong. Bersama teman seusianya yang tinggal satu komplek, Reva menirukan hobi sang ayah. Hingga banyak tawaran untuk ikut manggung, karena suaranya yang empuk dengan iringan alat music yang mendukungnya.
Gadis cilik yang masih duduk di kelas lima SD telah bergabung dengan grup music keroncong bersama sang ayah. Keasyikannya menyanyi membuatnya betah berlama-lama melek hingga larut malam untuk tampil di depan audien. Meski begitu, Reva mengaku sekolahnya tidak tertanggu karena kebiasan ini dilakoninya dengan senang hati.
Kepiawaian Reva seolah merupakan turunan dari sang ayah, Arif Darmawan yang telah bertahun-tahun berkecimpung di dalamnya. Bahkan sang ayah telah mendapat kesempatan untuk menjadi pengajar music keroncong di Malaysia.
“Harapannya dengan bermain keroncong ya agar tidak diakui oleh Malaysia. Ini kan music asli Indonesia, sehingga kami berusaha untuk terus melestarikannya,” kata Arif Darmawan.Pada 23 Mei 2013 lalu Arif beserta pecinta music keroncong lainnya meresmikan berdirinya Grup Biar Ngroncong Purwokerto. (fitri nurhayati)

Kamis, 17 Januari 2013

Heri Terisak Mengucap Syahadat

Heri saat mengucap Syahadat
SUASANA hening seketika hadir di tengah-tengah puluhan jamaah salat dzuhur di Masjid Agung Baitussalam Purwokerto, Selasa (15/1). Seusai salat mereka tidak langsung membubarkan diri, karena ada yang berdzikir dan menunaikan salat sunat.

Namun satu hal yang tidak biasa mereka lakukan adalah menyaksikan ikrar seorang muallaf asal Tanjungpinang. Adalah Heri Sugiarto (31) beserta istri, Diana Setyosari (26) yang menggendong buah hatinya.

Dari arah belakang jamaah, pasangan ini berjalan pelan. Langkahnya terhenti di saff paling belakang. Keduanya terlihat canggung mengingat ini adalah pengalaman pertama mereka masuk masjid. Apalagi di kota yang belum pernah disinggahinya sama sekali. Disinilah sejarah keislaman sepasang suami istri keturunan Cina asal Batam dimulai.

Heri yang waktu itu mengenakan peci warna hitam, baju koko lengan panjang warna putih dan bersarung kotak coklat variasi merah. Sedangkan sang istri mengenakan kerudung dan gamis berwarna putih sambil membopong anak pertamanya yang baru berusia 8 bulan yang masih tertidur.

Keduanya kemudian dipersilakan maju, duduk di sebelah imam masjid yang menghadap puluhan orang. Seketika suasana menjadi hening sampai sang imam membuka salam dan menyampaikan maksud kehadiran mereka.

"Pada siang ini akan ada dua orang yang berikrar masuk Islam," kata imam Safin Santarwin SPd I. Mendengar pernyataan itu, sejumlah jamaah bergumam lirih "Alhamdulillah".

Sang imam kemudian memberi ceramah untuk menguatkan niatan Heri dan istrinya. Ceramah disampaikan sekitar 15 menit. Heri, sang mualaf duduk bersila. Matanya sering terpejam dan tertunduk menyiratkan sedang mencamkan tausiah sang kyai.

Selesai ceramah, posisi duduk Heri bergeser. Ia diminta duduk berhadapan dengan Imam Safin. Posisi duduk Heri membelakangi puluhan jemaat yang menyimak prosesi ikrar. Sebagian lagi mengabadikan prosesi dengan ponsel maupun kamera.

"Ashaduallaillaha Illalloh, wa Ashhadu anna Muhammadarrousllulloh, (Aku bersaksi tiada Tuhan selain Alloh dan Muhammad sebagai utusan Alloh) " kata Heri dengan terisak menirukan ucapan Imam Safin.

Saat berikrar, kedua tangan Safin dan Heri saling menjabat. Ikrar diulang hingga dua kali. Heri terdengar lantang meski nampak bergetar saat berikrar mengesakan nama Alloh SWT dan menyakini Nabi Muhammad sebagai nabi akhir zaman.

Begitu juga dengan ikrar yang diucapkan sang istri yang dilakukan secara terpisah di depan jamaah perempuan. Usai pengikraran, bapak satu anak ini mengaku lega.

Sang Muallaf yang kesehariannya bekerja sebagai tukang servis ponsel dan pendingin udara ini mengaku masuk Islam setelah mendapat mukjizat. Ia sembuh dari sakit tanpa operasi setelah pada tengah malam bermimpi mendengar adzan.

Ia mengingat peristiwa yang menimpanya hingga dilarikan ke rumah sakit, Minggu (23/12) lalu. Luka parah di tempurung kaki kirinya lantaran terjatuh ketika menyervis AC. Kemudian Senin (24/12) dinihari ia harus dirawat di Rumah Sakit Awalbros Batam.

Itu adalah malam pertama Heri menderita luka memar hingga dokter menyarankan harus menjalankan operasi tempurung karena tulangnya yang bergeser. Namun entah dari mana datangnya, pukul 02.00 dini hari ia mendapati mimpi mendengar adzan.

"Seketika itu setelah mendengar adzan suami saya langsung reflek turun dari ranjang. Kemudian ia langsung bisa jalan, padahal dokter sudah memvonis harus melakukan operasi untuk penyembuhan," kata Diana, masih sambil membopong sang buah hati yang tertidur lelap.

Menyadari lukanya sembuh secara misterius, Heri dan istri merasa takjub. Perubahan itu kemudian diceritakan pada sang dokter yang kemudian melakukan foto rontagen hingga tiga kali.

"Menurut saya ini merupakan petunjuk agar saya masuk islam. Kemudian saya mengajak istri namun kami bingung karena tidak tahu bagaimana caranya," ujar Heri.

Dari kebingungan itulah, mereka menjadi korban penipuan ustaz palsu. Saat hendak pergi ke Jakarta menggunakan kapal untuk belajar agama, Heri bertemu seorang asing di musala pelabuhan Tanjung Priuk.

Seketika ia percaya saja saat dimintai uang Rp 2 juta dengan alasan untuk biaya sertifikat masuk Islam dan menikahkan ulang keduanya. Bahkan Heri juga membelikan tiket kereta untuk pergi bersama ke Purwokerto.

Mereka sampai di Stasiun Purwokerto, Selasa (15/1) pukul 04.00 WIB. Kemudian sang ustaz gadungan berpamit untuk mencarikan taksi yang menuju ke rumah keluarganya. Satu jam tak muncul ternyata memang ustaz tidak kembali dengan membawa kabur tas berisi kamera Canon D90 dan Samsung Galaxy Tab miliknya.

Atas saran petugas KAI, Heri beserta keluarga menuju ke masjid. Mieke Utami, seorang pengurus masjid, mengatakan mereka tiba di masjid pukul 10.00 WIB dengan menampakkan wajah kebingungan. Setelah mendengar cerita dari keluarga yang tersesat ini kemudian Mieke mencarikan baju, peci, serta mengajaknya makan dan mencarikan sumbangan.

Seusai menyaksikan ikrar sang muallaf kemudian jamaah dengan sukarela mengumpulkan sodakoh hingga terkumpul Rp 1,1 juta. Rencananya, keluarga yang baru masuk islam ini akan pergi ke rumah sang paman di Pekanbaru yang sebelumnya sudah masuk islam terlebih dahulu. (fitri nurhayati)

Senin, 14 Januari 2013

Bunga Masa Depan



Jalan mendaki memang berat tapi mulia dan dimuliakan
Tak banyak yang mampu bertahan, bahkan sebagian dari mereka berhenti di tengah jalan
Sebenarnya disinilah letak nikmatannya
Karena sebentar lagi akan dijumpai langit yang indah setelah mencapai puncaknya.
Kepada bunga-bunga masa depan
Berhias dirilah dengan sederhana, agar tak melunturkan keanggunan pada setiap rantingnya
Meski kumbang datang menawarkan racun yang memabukkan
Niscaya keindahanmu akan tetap melekat andai engkau siap menjaganya
Berhias dirilah dengan sederhana
Seperti embun yang tak lupa menghias pagi agar tetap menyejukkan
Seperti hujan yang menghias langit, saat memerangi panasnya matahari
Dan seperti bintang yang melekat di atap bumi agar tetap gemerlap di malam hari
Sungguh sederhanamu adalah mahkota luar biasa yang memancarkan kejayaan di taman cinta.

Pipit Nurhayati

Kamis, 03 Januari 2013

Tinggalkan Jejak Berupa Prestasi

Norma Handayani_Foto: Fikri, SatelitPost

HARI ini akan menjadi sejarah untuk dikenang esok. Sekiranya kejadian apa yang mengesankan dan layak untuk dibuat catatan sebagai bahan refreksi akhir tahun. Tentu ini akan menjadi memori tersendiri agar dapat dilengkapi tahun depan yang tak lama lagi menghampiri.

Refleksi di penghujung tahun juga dilakukan wanita cantik, Norma Handayani. Setiap hari, ada saja kejadian yang ingin diabadikannya sebagai bahan perenungan. Maklum, ia harus selalu berinteraksi dengan banyak orang.

Baginya, yang terpenting dalam setiap perjalanan sebisa mungkin meninggalkan satu jejak berupa prestasi yang pantas untuk dikenang. Seperti pengalaman jalan-jalannya ke Singapura sebagai reward yang diberikan perusahaan lantaran hasil kinerjanya memuaskan.

Wanita yang akrab disapa Norma ini berkesempatan meraih Best Customer Service 2012 untuk area Jawa Tengah dan DIY. Pengalaman ini tentu tak akan terlupakan meski bertandang ke negeri tetangga sudah menjadi kegiatan yang tak asing lagi baginya.

Norma tak pernah menyangka, reward ini akan menghampiri. Pasalnya, dalam kesehariannya, ia memilih seperti air, tenang dan mengalir. Artinya ia berusaha menjadi dirinya sendiri dengan kapasitas kemampuan yang dimiliki.

"Saya nggak pernah begini-begitu untuk meraih sesuatu, yang terpenting adalah do your best aja. Karena prestasi akan mengikuti di belakangnya. Itu menjadi hadiah dari hasil usaha kita," kata Norma.

Selain tampil apa adanya, wanita kelahiran Kudus ini juga berusaha selalu terbuka dengan semua orang. Baik kepada atasan maupun rekan kerja yang jabatannya ada di bawahnya. Dengan begitu, kata Norma, dirinya bisa berbagi pengetahuan atau bahkan saling melengkapi demi kemajuan bersama. (nurhayatipipit@gmail.com) 


BioFile:
Nama   : Norma Handayani
Alamat  : Villa Aster II Semarang
TTL       : Kudus, 24 Juli
Jabatan : Head of Shop Telkomsel Purwokerto Section
Suami    : Wibi Sarastomo

Tak Ada Lagi Bahasa Perlawanan


Pipit Nurhayati, Kamis (3/1) 
Jejaring sosial menjadi sarana empuk yang dapat menyalurkan ide baik berupa tulisan, gambar, maupun animasi. Media ini seolah menjadi wadah yang paling efektif untuk mempublikasikan karya seseorang. Disinilah gudangnya karya yang secara instan dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Hampir semua kalangan mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa tak pernah absen membuka jaringan ini. Mereka juga tak pernah absen meninggalkan jejak setelah membuka sebuah situs tertentu. Ada saja yang patut untuk dikomentari atau bahkan hanya sebatas tanda baca sekalipun. Media ini menghubungkan komunikasi antar pengguna yang jaraknya tidak dekat namun seolah keduanya saling berhadapan langsung.
Tentunya banyak manfaat yang dapat diambil dalam penggunaan jejaring sosial ini. Namun karena dimanjakan dengan teknologi yang terus berkembang, seolah daya kritis masyarakat terhadap kondisi sosial malah menurun. Kecuali pada media masa elektronik yang memang memunyai fungsi sebagai kontrol sosial dan pemberi informasi kepada khalayak umum.
Sebagaimana empat fungsi media yang bertindak sebagai pemberi informasi, edukasi, transformasi, dan kontrol sosial. Hendaknya memang selalu meng-update karya jurnalistik melalui jejaring sosial sehingga tetap eksis mengkritisi kondisi sosial di masyarakat. 
Berbicara tentang sebuah karya baik berupa tulisan maupun gambar  tentu berasal dari hasil daya pikir dan imajinasi seorang kreator. Karya ini tak akan terlepas dari adanya penjelasan berupa kata yang tertata rapi menjadi kalimat dan pada akhirnya mampu mewakili pesan yang ingin disampaikan. Bisa  berupa karya visual maupun auditori.
Tulisan tentu akan mewakilkan ide bahkan yang bersifat general sekalipun. Dalam lirik-liriknya tentu ada sebuah pesan dari hasil olah pikir sang penulis dengan perpaduan emosi sebagai bumbunya. Emosi dalam hal ini tidak sebatas mencaci-maki atau perasaaan lain yang negatif karena pada hakikatnya emosi adalah luapan perasaan seseorang. Hendaknya tulisan ini memang tak jauh panggang dari api untuk mengkritisi kondisi sosial yang sedang terjadi.
Wadah yang bernama jejaring sosial ini bisa kita imajikan sebagai ruangan kecil yang di dalamnya dapat menampung ide apapun. Namun masih jarang yang memanfaatkan media ini sebagai wadah yang seharusnya digunakan untuk menganalisis kondisi di masyarakat.
Yang disayangkan adalah banyak dijumpai lirik-lirik manis yang tertuang di media maya tidak bersifat general sehingga tidak dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pada dasarnya lirik semacam ini hendaknya tidak perlu diketahui publik karena karena hanya menjadi ruang pengaduan masalah atau konflik yang sedang dialami pribadi  penulisnya.
Ketika bait yang disampaikan hanyalah sebuah pengaduan semata tentu tidak akan memberi kebermanfaatan terhadap para penikmat media ini. Bisa dipastikan tulisan yang ada di jejaring sosial ini berupa lirik kegalauan dari personal penulisnya. Sedangkan kegalauan terhadap kondisi sosial di masyarakat porsinya terbilang kecil bila dibandingkan dengan emosi pribadi yang dituangkan.
Setiap karya tentu berasal dari keringat yang menguras pikiran dari penulisnya, bahkan dengan menguras emosi hingga hadir sebuah karya yang apik. Adanya kebebasan terhadap daya pikir inilah yang menjadikan seorang penulis seolah enggan untuk menguras ide dalam mengkritisi kondisi sosial. Mereka lebih nyaman ketika tulisannya dihadapkan dengan konflik pribadi yang dialami.
Kegalauan secara personal yang dituangkan dalam sebuah tulisan mendapat porsi lebih banyak karena hal ini memang menjadi hak dari penulisnya. Terlihat jelas apabila dibandingkan antara kemurungan kolektif masyarakat yang tidak dapat mengakses media maya dengan nasib pribadi yang emosinya selalu berganti.
Padahal konflik dimasyarakat terbilang massif dan hampir dijumpai diseluruh lapisan, namun tak terjamah oleh mereka kalangan pembaharu yang mampu mengakses media maya. Agaknya jarang kita jumpai kemurungan kolektif yang disampaikan melalui sebuah tulisan seperti yang pernah dituliskan oleh W.S. Rendra dengan sajak-sajak perlawanannya.
Penikmat media maya agaknya lebih memilih bergulat dengan kegalauan personal yang diakibatkan karena kerinduan, cinta, pencarian jati diri, bahkan sampai hubungan dengan tuhannya. Ini sebenarnya menjadi masalah personal yang seharusnya telah selesai dalam pribadi masing-masing tanpa harus dipublikasikan. Setidaknya sekiranya akan dipublikasikan pun tidak menggeser daya analisis terhadap permasalahan kolektif di masyarakat.
Bahasa yang disampaikan mencoba memainkan peran untuk mewakilkan tingkat emosi yang sedang dialami penulisnya. Ia menjumpai kondisi sosial yang bergejolak di masyarakat hingga mampu menggelitik emosi untuk dituangkan dalam kritik yang disampaikan dalam sebuah tulisan. Karya ini akan bisa dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara massif karena hampir seluruh penikmatnya merasakan langsung kondisi sosial yang tidak stabil.
Berbeda dengan hasil karya yang kita jumpai saat ini. Bahasanya cenderung memainkan peran dalam menuangkan ide pribadi yang disampaikan untuk pribadi pula. Jarang hadir bahasa dalam sebuah karya yang disampaikan untuk menghantam pelanggaran yang menimbulkan kesenjangan sosial.
Memang tak dapat dipungkiri bahwa media maya membawa kebermanfaatan, hanya saja penikmatnya jarang sekali yang memadukan untuk menganalisis tatanan sosial kemasyarakatan. Entah karena ketidaktahuan mereka atau tidak adanya daya kritis terhadap kesenjangan sosial yang terjadi.
Padahal disamping konflik pribadi, secara personal makhluk sosial tak dapat terlepas dari kehidupan bermasyarakat yang masih mengalami disharmoni. Masih banyak dibutuhkan kritik bersifat membangun untuk menganalisa kondisi yang terjadi. Baik persoalan antar masyarakat maupun dengan lingkungannya. Kritik ini bisa disampaikan berupa tulisan dengan bahasa yang menggairahkan emosi untuk membangkitkan semangat perlawanan demi perubahan yang progesif.
Entah sebab apa ide yang muncul tidak berakar dari fenomena sosial yang sedang terjadi. Bisa jadi sebagian dari mereka memang benar-benar tidak tahu, tidak mau tahu, atau bahkan menganggap kondisi ini sudah berada di zona nyaman. Atau bisa jadi fenomena dimasyarakat tak lagi dianggap penting karena menjadi tanggung jawab negara dan kalangan tertentu saja yang berkaitan langsung.
Lebih parahnya ketika sebagian dari mereka tidak menemukan kemurungan di masyarakat sehingga membuatnya tetap nyaman dengan kondisi saat ini. Pada akhirnya ide mereka alihkan untuk menguasai emosi pribadi dengan sebatas pengaduan, curahan hati, dan pengharapan terhadap tuhan.
Apabila sudah terjadi hal semacam ini maka siapa lagi yang akan menguras emosi untuk kepentingan masyarakat secara kolektif dengan berbagai ide liar untuk mengkritisi polemik di masyarakat.
Hal ini dapat kita ketahui bahwa kepiawaian mereka membahasakan ide berupa tulisan bukanlah untuk analisa sosial secara kritis, namun merupakan bakat yang jatuh dari langit sebagai kebiasaan semata. Dimana media maya ini menjadi ruang tanpa batas untuk menulis, mengolah pikiran, menuangkan emosi pribadi yang tidak lebih menjadi sebatas rutinitas tidak penting.
Sebenarnya ada hal menarik yang sepatutnya dikaji kembali dalam era klik seperti saat ini. Sebab secara nyata masih banyak tangan-tangan yang belum pandai mengoperasikan jejaring sosial untuk menyampaikan ide yang bersifat massif. Ide disini dapat disampaikan secepat kilat untuk diketahui khalayak umum dan menjadi bahan kajian dalam kehidupan bermasyarakat. Bisa ditarik asumsi sederhana bahwa jejaring sosial buatan manusia ini mampu meringankan kerja mereka, bermanfaat untuk mendekatkan yang jauh, dan yang mampu menampung ide tanpa batas telah mampu melakukan seleksi sosial dimasyarakat dengan tingkat analisis dan daya kritis yang rendah.
Sejak dini individu dapat melatih diri mengemukakan gagasan yang logis dengan mentradisikan kebiasaan bernalar dengan pertimbangan emosi pribadi. Tak ada lagi bahasa sebagai pedang untuk memerangi konflik dimasyarakat, kesenjangan sosial, atau permasalahan massif lainnya. Padahal melalui tulisan yang tersebar di media maya sangatlah efektif untuk sampai dihampir seluruh kalangan. Tulisan seharusnya mampu mewakilkan ide yang tak sampai saat digulirkan melalui ucapan dan tindakan. (Pipit Nurhayati)