Kamis, 27 September 2012

Lapak Tua

Betapa romantisnya saat kita menikmati kopi hangat di lapak tua yang beratap daun tirai
Ini sangat sederhana namun mendalam maknanya
Mungkin karena ketidakmampuan kita duduk di sofa empuk yang penuh dengan rongrongan
Meski begitu malam tetap hangat dengan canda yang terlepas bebas
Ini terlalu rasional untuk kita gambarkan karena bukan sekedar situasi bersama
Ini adalah bagian dari tindakan atas na
ma rasa,
hanya sebatas akal sehat, namun tetap mengasyikkan
Antara rasa dan rasio beradu dalam kemelut rindu
Kedua unsur ini harus seimbang, saat rasio menjauh namun rasa kian mendekat
Hingga lusa kita tetap bisa menikmati malam yang berganti tempat
Kita akan memilih gubung renta berdinding bambu
Disana angin seolah mati, diam dalam ruang yang tak berdaya.

Pembuktian Cinta

Manisku....
Pembuktian tentang cintaNya tak perlu diragukan lagi
Dia menahan diri untuk tetap melindungi masing-masing dari kita
Agar semua orang melihat kita dengan sempurna
Betapa tidak, kita tetap putih walau dari serpihan aib yang beterbangan
Ia kumpulkan menjadi satu bagian yang utuh
Lantas semua itu tak diumbar dengan percuma
Karena Maha Baiknya, Ia juga menyimpan dengan rapi, 
seolah kita memang sebenar-benar putih
Manisku...
Ia tak pernah menggali setiap warna yang pernah kita torehkan
Meski sejatinya telah melemahkan syukur yang seharusnya kita panjatkan
Ia tetap menahan diri untuk tidak murka, 
untuk tetap berpegang pada Maha BaikNya, 
dan Ia menghendaki agar kita memperbaiki setiap sudut yang pernah rapuh
Seandainya murka tak tertahan, aib tak terbelenggu, dan Ia membiarkan begitu saja
Mungkin tak ada lagi kesempatan untuk episode yang selalu bersambung
Tak ada lagi nikmat karena sepenggal syukur yang selalu kita sia-siakan
Manisku...
Tapi Ia tetap baik, agar kita dapat mengulang skenario, 
setidaknya dengan tambal sulam untuk melangkah dengan bijak.

Bicara Tentangmu

Engkau bicara tentang dirimu
Pejuang yang mencari peruntungan tanpa bekal
Bukan jiwa tak mampu, tapi keberanian yang menggejolak
Menggandeng tangan kecil untuk ikut menengadah di setiap bibir jalan utama
Rela beradu dengan terik matahari meski sebenarnya kalian ingin berteduh
Langkah ini bukan salahmu, 
namun karena pengetahuan tanpa batas yang tak bisa kau rengkuh
Banyak orang berkata, bahwa ini a
dalah salah penguasa
Tak menapakimu dengan penghargaan untuk sebuah pengakuan
Engkau lebih lama mengenali hidup di setiap persimpangan
Engkau lebih paham tentang dirimu,
 namun tak sadar bahwa kau sedang menjadi objek perhatian mereka yang berdasi
Karenamu sanjungan akan mereka dapat, hanya dengan dalih menghilangkan
Pasti engkau tahu apapun tentang kehilangan yang kumaksudkan.

Rabu, 19 September 2012

Kado Untuk Pasutri

Antologi Cerpen Pertamaku bersama para kontributor ASK-ers.

Judul: Kado untuk Pasutri

Penulis: Norma Juliandi, dkk
Editor: Norma Juliandi dan Berry Juliandi
Desain Sampul: Leo Sastra Candra Winata
Penerbit: Pena Nusantara
ISBN: 978-602-18878-0-6
Cetakan: pertama
Jumlah Halaman: x + 240 halaman
Harga: Rp. 40.000 (Indonesia), 600 yen (Jepang).

Sinopsis:
"The success of marriage comes not in finding the 'right' person, but in the ability of both partners to adjust to the real person they ineveitably realize they married" (John Fischer).

Mengisahkan 46 kisah nyata inspiratif dari para kontributor ASK-ers tentang suka dan duka dalam pernikahan.
Buku ini sangat cocok dibaca oleh pasangan suami istri, calon pengantin, ataupun pasangan yang telah berpisah.

Kisah-kisah dengan problematika umum dalam rumah tangga yang diangkat, sangat mewakili isi hati para pasutri di masyarakat. Tangis, tawa, haru, dan semangat mewarnai kisah-kisah perjuangan cinta mereka.

Dengan menggunakan gaya bahasa yang sangat sederhana, mudah dipahami, dan mengalir apa adanya, buku ini dapat dibaca di saat santai ataupun di sela-sela kesibukan. Dengan desain buku yang sangat unik menyerupai kado, buku ini juga sangat cocok digunakan sebagai kado pernikahan ataupun kado untuk pasangan Anda. (*)



Kamis, 13 September 2012

Belajar Jurnalistik

Belajar jurnalistik @SMP N 8 Purwokerto, Rabu (5/9)

Yudisium

Pipit Yudisium

Yudisium

Pipit  Yudisium 

Yudisium

Yudisium

Yudisium

Yudisium Geografi 2008, Universitas Muhammadiyah Purwokerto

Aku Telah Menciptakan Tuhan

Rasaku padamu sesederhana awan yang menaungi rintik hujan, sesahaja cintaku pada kenyamanan,  seputih rasaku pada untaian syair, tapi entahlah terlalu suram disekujur sepi. Bila suatu saat nanti jiwaku sepenuh rindu, akan kunyanyikan senandung rasa yang getir. Di bawah renungan panjang bersama merpati yang kian terhanyut dalam awan.
Yakinlah, dihening angin ada kristal-kristal kenangan berdenting. Ketika seribu cinta pecah menyemburat, senyap akan segera berlalu. Sementara senja akan telanjang membasahi waktu.
Teman-teman mengira aku ini orang atheis. Orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Karena bagiku Tuhan adalah ciptaanku sendiri. Aku telah menciptakan Tuhan.
“Kau boleh mengatakan aku orang atheis,” ujarku dalam peraduan terhadap sang guru.
Mata tajam itu menatap penuh tanya dengan apa yang aku katakan. Anginpun mendera sekujur tubuh, mengabadikan kenangan semalam yang hampir tak berdawai. Setiap detiknya ia terdengar syahdu dalam keterasingan. Serupa kekelaman, musim semi mengabur dalam samar. Aku harus melewati masa. Mencari kebenaran untuk setiap perjalanan, meski sejatinya aku tak mampu.
Dalam hening aku teringat pesan Buddha bahwa ketika terjadi tumbukan antara aliran air sungai dan batu, maka aliran air selalu menang bukan karena kekuatan tetapi karena ketekunan. Aku mencoba memahami betul kalimat itu.
Aku tekun mencari sebuah arti tentang perjalanan yang sudah sekian lama lalui. Tentang keberadaanku, darimana asalnya, dan untuk apa keberadaanku saat ini.
Bak jernihnya air sungai yang mengalir, meski bermuara namun ia tetap bergerak dan tak ada hentinya. Sama halnya denganku, meski tak kunjung menjumpai kebenaran tapi tak henti aku tetap mencari jawabnya. Kembali lagi walau sebenarnya aku tak akan mampu.
Sekumpulan yang dinamai umat manusia ini ternyata mempunyai batasan tentang hakikat ke’aku’an, tentang hakikat ketuhanan, dan hal lain yang tak mampu dijangkau oleh logika. Maka lahirlah sebuah ilmu pengetahuan. Aku mendapatkan pembelajaran ini semasa duduk dibangku kuliah beberapa waktu lalu.
“Mengapa kau yakin telah menciptakan Tuhanmu?” guruku bertanya dengan tegas.
Aku kelimpungan untuk menjawabnya. Karena aku sendiri tak mampu sampaikan bahwa tuhan adalah ciptaanku sendiri. Ia tidak akan ada jika aku tak mengakuinya.
“Keberadaan Tuhan adalah ketika aku mengakuinya,” jawabku seraya menunduk.
Sehari-hari aku tinggal di lingkungan orang yang mayoritas mengaku beragama. Tapi entah siapa tuhan mereka. Kebanyakan yang aku temui bahwa mereka menjalankan perintah karena takut siksa, karena kewajiban, karena ingin masuk surga, karena tinggal bersama orang beragama, dan masih banyak alasan yang lain.
Tak kujumpai satu pun diantara mereka yang menganggap bahwa tuhan memang benar-benar pantas untuk disembah. Tuhanku memang pantas untuk akui keberadaannya, hingga Dia benar-benar ada pada Singgasananya itu.
Angin masih saja berbisik, mengabarkan keramaian di luar sana. Sementara aku sendiri disudut gelapku, menikmati kesenyapan yang terlalu anyir. Segalanya mendebu, wajah-wajah mereka, senyuman mereka, tangisan wanita tua, canda anak-anak jalanan, semuanya bersijingkat disekitarku. Aku benar-benar tak tahu, siapa aku si pencipta tuhan.  
Kalau tuhan mengerti keberadaanku, mungkin ia akan sampaikan bahwa ia adalah ciptaanku. Aku mengakui keberadaannya, maka ia akan ada. Kawan, tahukah kau dengan jalan pikirku?
Mencari kebenaran tentang siapa aku, benarkah aku telah menciptakan tuhan. Ingin aku sampaikan, seandaianya kau ingat tujuan penciptaan manusia.
“Manusia diciptakan untuk menyembah tuhan,” kataku dalam perbincangan singkat dengan seorang kawan beberapa waktu lalu.
Artinya bahwa kita diperintahkan untuk mengakui keberadaan tuhan. Aku membahasakan bahwa ketika aku mengakuinya maka akulah yang menganggap Dia ada. Seandainya aku enggan mengakui, maka tidak ada tuhan di dunia ini.
“Aku paham dengan maksudmu kawan,” katanya dengan nada bersahabat.
Aku merindu akan hadirnya tuhan dalam galaunya perasaan. Dalam berlalunya tahun, aku semakin merasakan jauh dari apa yang mereka kerjakan. Aku tak mampu menemukan mereka dalam realita. Realita yang sesungguhnya bahwa manusia mempunyai akal untuk berfikir. Yang aku temukan hanya apa yang mereka kerjakan tak lebih dari sebatas kewajiban tanpa tahu alasannya.